Persidangan Sinode Tahunan (PST) GPIB 2024

Persidangan Sinode Tahunan (PST) GPIB 2024 akan dilaksanakan di Musyawarah Pelayanan Kalimantan Timur II sebagai tuan rumah

Senin, Juni 22, 2009

Silsilah Raja-Raja KUTAI


“Meski dinasti MUlawarman Kerajaan Kutai Martapura telah runtuh sejak abad ke-17, cita-cita dan kebesarannya terus dilanjutkan oleh Kutai Kartanegara sebagai pewaris kerajaan tertua di Indonesia”

Ketika mendengar kata Kutai yang disebutkan, maka serentak muncul dalam pikiran ialah sebuah kerajaan hindu tertua di Indonesia. Meski kini,sejak otonomi kutai mengalami pemekaran menjadi beberapa wilayah termasuk diantaranya Kutai Timur, Kutai Barat dan Kutai Kertangara, nama yang terakhir kerap dianggap sebagai sentral kerajaan karena hingga kini masih kokoh berdirinya kesultanan Kutai Kartanegara.

Kerajaan Kutai Martapura yang kerap dikenal dengan sebutan Kutai Mulawarman karena kepemimpinan dinasti Mulawarman berdiri pada sekitar abad ke-5 di wilayah Muara Kaman yang secara geografis masuk dalam wilayah Kabupaten Kutai Kertanegara.

Salah satu bukti sejarah pendukung keberadaan kerajaan ini ialah prasasti Yupa (tiang batu) yang ditemukan pada tahun 1879 dan 1940 di sekitar desa Muara Kaman tepatnya di pertemuan sungai Mahakam dan Kedang Kepala. Berdasarkan analisa sejarah termasuk antara lain Usman Ahmad, disinilah dulunya kerajaan Kutai Martadipura berpusat.

Prasasti tersebut berdasarkan paleografinya berbahasa sangsekerta dengan huruf pallawa berasal dari abad ke-5, dalam isi tulisan tersebut terungkap bahwa Kutai dipimpin oleh Raja Mulawarman yang merupakan putra raja Aswawarman dan cucu Maharaja Kudungga.

Apa kaitannya dengan Kerajaan Kutai Kertanegara yang sesungguhnya baru pada abad ke-13 itu?, keterkaitannya terletak saat Kutai Kartanegara menaklukkan Kutai Mulawarman dalam sebuah peperangan pada abad ke-17. Akibat dari perang itu Dinasti Mulawarman yang menjadi penanda keberadaan Kutai Martapura runtuh, setelah berdiri selama sekitar 14 abad.

Dalam catatan sejarah, keruntuhannya disebabkan oleh peperangan yang terjadi pada abad ke-17 antara Kerajaan Kukar dengan Kutai Martadipura yang dimenangkan oleh Kukar. Dan sebagai penanda beralihnya kekuasaan Kutai Martapura kepada Kukar, maka dicantumkanlah tambahan Ing Martapura pada nama saat itum, Aji Pangeran Sinom Panji Nendapa Ing Martapura.

Pencantuman ini berlangsung hingga masa pemerintahan Aji Pangeran Dipati Anom Mendapa Ing Martapura pada tahun 1730-1732. Setelah itu karena pengaruh islam yang dibawa oleh para ulama dari kawasan Persia, penyertaan label Ing Martapura tidak lagi dicantumkan setelah raja selanjutnya, Aji Sultan Muhammad Idris memeluk islam. Ada dua versi sebenarnya mengenai masuknya islam ke Kutai Kertanegara yaitu langsung dari daratan Persia atau dibawa oleh para ulama lewat Makassar, kata Usman Ahmad.
Salah satu penanda keberadaan islam di Kutai Kertanegara ialah berdirinya Masjid Jami Hasanuddin yang berada dikawasan kedaton kerajaan. Masjid ini dibangun pada tahu 1985 saat masa pemerintahan Sultan Aji Muhammad Sulaiman.

Dicirikan terbuat dari kayu dengan kubah Joglo beraksitektur Melayu, Mesjid ini merupakan pengganti dari mesjid yang sebelumya di baker oleh Belanda dalam perang Kutai-Belanda tahun 1844.

Kerajaan Kutai Kertanegara sendiri berdiri pada abad ke-13 atau sekitar tujuh abad setelah Kutai Mulawarman, di Tepian Batu atau kini dikenal dengan Kutai Lama yang berada di kawasan Muara Subgai Mahakam. Raja pertama sast itu ialah Aji Batara Agubg Dewa Sakti.

Sebagai sebuah kerajaan, Kutia Kertanegara berkembang pesat dan dikenal sebagai pemerintahan yang punya hubungan luas termasuk antara lain dengan Majapahit, Brunei, Campa, dan Cina serta Rusia. Setidaknya berbagai koleksi keramik dari Cina, kursi tanduk binatang pemberian Rusia menyiratkan hal tersebut. Koleksi tersebut kini berada di Museum Mulawarman.

Di Kalimantan Timur kerajaan tak hanya Kutai Kertanegara atau Kutai Martapura, beberapa diantaranya yaitu Kerajaan Pasir dan Bulungan. Bahkan pada tahun 1400 berdir kerajaan Berau yang pada abad ke-19 pecah menjadi dua kerajaan yaityu Gunung Tabur dab Sambailung.
Masa colonial Belanda dan Inggris.
Pada masa ini, peran dan sikap Kutai Kertanegara sebagai pewaris kejayaan Kutai Mulawarman terhadap Belanda dan Inggris cukup menarik untuk ditelusuri.

Persinggungan Kutai Kertanegara diawali saat pusat pemerintahan masih berada di Kutai Lama pada tahun 1634. Ketika itu misi perdagangan Belanda dibawah kepemimpinan Gerrit Thomassen Pool brtemu dengan Sultan Sinom Panji Mendapa Ing Martapura. Pertemuan ini kemudian dilanjutkan kembali pada tahun 1667, 1747 dan hingga bubarnya VOC pada tahun 1799, namun saat itu tujuan Belanda untuk mendapatkan hak monopoli perdagangan tidak kunjung mendapatkan hasil.

Dalam sejarah, pihak Belanda maupun Inggris kerap menggunakan tujuan penelitian ilmiah dan petualangan, lewat medium tersebut secara perlahan mulai mempengaruhi pihak kerajaan.

Paling tidak terjadi beberapa perang besar antara Kerajaan Kutai dengan bangsa Eropa, diantaranya Perang Tembak Maris pada tahun 1844 antara Kutai dengan Inggris. Perang yang dikomandani Awang Long ini berhasil menang melawan Inggris. Perang yang lain juga terjadi pada tahun 1844, yang mengakibatkan kekalahan Kutai Kertanegara sekaligus gugurnya Awang Long pada sebuah perang di dekat istana kesultanan Tenggarong. Kekalahan ini menyebabkan jatuhnya Tenggarong ke tangan Belanda dan mengakibatkan dibakarnya lebih dari 600 rumah, Istana Sultan dan Masjid Jami serta diharuskannya Sultan menandatangani perjanjian Tepian Pandan pada 29 April 1843, yang isinya mengakui Gubernur Hindia Belanda sebagai penguasa tertinggi diseluruh kepulauan Hindia Belanda. Kerajaan lainnya secara beruntun yaitu Pasir tahun 1885, Berau tahun 1837 dan Bulungan pada tahun 1950.

Bayang-bayang imperialisme Belanda terus mengikuti Kutai Kartanegara dan kerap kali menciptakan masa – masa suram kesultanan. Bahkan pada tahun 1960, Kerajaan Kutai Kertanegara di hapus oleh Pemerintah RI dengan raja terakhir ketika itu Sultan Aji Muhamad Parikesit.

Kini sejak tahun 2001, Kerajaan Kutai Kertanegara kembali dihidupkan oleh Bupati Kutai Kertanegara, Syaukani, dengan menobatkan H. Adji Pangeran Prabu Anom Adiningrat sebagai Sultan Kutai Kertanegara Ing Martapura XX dengan gelar H. Adji Muhammad Salehuddin II.

Dengan dihidupkan kembali Kesultanan Kutai Kertanegara, maka kompleks Kedaton seluas 3,5 ha yang dibangun dengan biaya Rp.6 milyar akan semakin marak dan pihak kerajaan berhak atas biaya pengelolaan lembaga Kesultanan dari Pemkab Kukar sebesar Rp.3,5 milyar pertahun. Semoga kejayaan Kutai Kertanegara sebagai pewaris kerajaan tertua akan terulang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar