KEKAYAAN
TRADISI PADA SUKU DAYAK
Banyaknya
tradisi dan kesenian yang dimiliki suku Dayak, tidak terlepas dari banyaknya
sub-sub suku Dayak. Pahlawan masyarakat Dayak yang menjadi gubernur pertama
Propinsi Kalimantan Tengah dan namanya diabadikan menjadi Bandar udara di
Palangkaraya, Tjilik Riwut, membagi suku Dayak menjadi 403-450 suku kecil.
Rinciannya
yang disampaikan tahun 1959 tersebut sebagai berikut:
1. Dayak Ngaju Grup terbagi empat suku besar
a. Ngaju, terdiri atas 53 suku kecil
b. Maanyan,
terdiri atas 8 suku kecil
c. Lawangan,
terdiri atas 21 suku kecil
d. Dusun, terdiri atas 8 suku kecil
2. Dayak Apau Kayan Grup terbagi atas tiga
suku besar
a.
Kenyah, terdiri
atas 53 suku kecil
b. Kayan, terdiri atas 10 suku kecil
c.
Bahau, terdiri
atas 26 suku kecil
3. Dayak Iban Grup, terdiri atas sebelas suku
kecil
4. Dayak Kalimantan, terdiri dari dua suku
besar
a.
Klemantan, terdiri atas 47 suku kecil
b.
Ketungau, terdiri atas 39 suku kecil
5. Dayak Murut Grup, terbagi atas tiga suku
besar
a. Idaan, terdiri atas 6 suku kecil
b.
Tidung,
terdiri atas 10 suku kecil
c.
Murut,
terdiri atas 28 suku kecil
6. Dayak Punan Grup, terdiri atas tiga suku
besar
a. Basap, terdiri atas20 suku kecil
b.
Punan,
terdiri atas 24 suku kecil
c. At, terdiri atas 5 suku kecil
7. Ot Danum, terdiri dari 61 suku kecil
KESAMAAN
KARAKTERISTIK SUKU DAYAK DI KALIMANTAN
Meski
tradisi suku Dayak sangat beragam, menurut Fridolin Ukur, ada beberapa kesamaan
tradisi yang dipegang teguh masyarakat Dayak, yakni:
1. Rumah
Panjang, kecuali suku Dayak Punan, semua pada mulanya hidup secara komunal di
rumah panjang yang disebut ou, lamin,
betang dan ada pula yang menyebut lewu
hante.
2. Senjata
khas suku Dayak adalah sumpit dan Mandau
3. Anyaman-anyaman
rotan merupakan kerajinan yang terdapat hamper pada semua suku Dayak
4. Tembikar,
meski tak begitu jelas asal-usulnya, namun tembikar seperti bejana, tempayan
atau belang menjadi bagian dari tradisi suku Dayak di Kalimantan.
5. Pertanian
dengan sistem perladangan hamper dimiliki semua suku Dayak di Kalimantan
6. Kedudukan
perempuan dalam masyarakat, sistem genelologis dalam masyarakat Dayak adalah
parental dimana garis keturunan ayah dan ibu dianggap sama
7. Hampir
semua suku Dayak di Kalimantan memiliki ciri seni tarian yang khas.
Telinga Panjang, Tradisi Khas Suku Dayak
Menyebut
seni tato, banyak suku bangsa di Nusantara yang memiliki tradisi ini seperti
suku Dayak, Mentawai, dan Papua. Namun, tradisi telinga panjang, hanya suku
Dayak di Kalimantan yang memiliki tradisi unik dan khas ini. Itupun tidak semua
suku Dayak, tetapi hanya beberapa subsuku Dayak tertentu.
Meski
menjadi salah satu cirri khas atau identitas yang sangat menonjol sebagai
penduduk asli Kalimantan, namun tradisi ini sekarang justru semakin
ditinggalkan. Kalaupun ada yang bertahan, hanya sebagian kecil golongan
generasi tua Dayak yang berumur diatas 60 tahun.
Selain
jumlahnya sangat sedikit, mereka yang asalnya bertelinga panjang secara sengaja
memotong ujung daun telinga mereka. Alasan yang sering dikemukakan, takut
dianggap ketinggalan zaman atau khawatir anak-anak mereka merasa malu.
Menurut
antropolog Mering Ngo, yang juga berasal dari suku Dayak, jika tato tradisional
Dayak kini berkembang menjadi seni tato modern, tradisi telinga panjang justru
semakin tenggelam dan ditinggalkan. Tidak ada generasi muda sekarang yang
meneruskan tradisi ini, bahkan dipedalaman Kalimantan sekalipun, dengan beragam
alasan.
“Cukup
saya saja yang yang telinganya dibuat panjang.Ketujuh anak saya, satu pun tidak
ada yang telinganya dibuat panjang,” tutur Pejung (82), warga suku Dayak Kayan
yang telinganya dibuat panjang hingga sekitar 15 sentimeter.
“Saya
kasihan jika anak-anak saya nantinya malu dan menjadi bahan ejekan. Padahal,
telinga panjang harus mulai dilakukan sejak masih bayi,” tambah Pejung.
Menurut
Mering Ngo, selain tidak ada penerus untuk melestarikan tradisi telinga
panjang, juga tidak semua kelompok atau subsuku Dayak di Kalimantan memiliki
tradisi telinga panjang ini. Di Kalimantan Barat, misalnya, tradisi telinga
panjang hanya dikenal antara lain di kalangan masyarakat Dayak Iban, Kayan,
Taman, dan Dayak Punan. Tradisi ini pun kebanyakan hanya berlaku di daerah
pedalaman seperti di Kabupaten Kapuas Hulu.
Pembuatan
telinga panjang tidak hanya dilakukan pada perempuan, tetapi juga pada
laki-laki. Pembuatan telinga panjang biasanya dilakukan sejak masih bayi.
Adapun tujuannya, menurut Mering Ngo, dikaitkan dengan penggolongan strata
social seseorang di dalam masyarakat.
Di
Dayak Kayan, misalnya, pembuatan telinga panjang menunjukkan orang tersebut
berasal dari kalangan bangsawan.
Adapun
pembuatan telinga panjang pada perempuan menunjukkan dia seorang bangsawan
sekaligus untuk membedakan dengan perempuan yang dijadikan budak karena kalah
perang atau tidak mampu membayar utang.
Lain
lagi dengan desa-desa di hulu sungai Mahakam. Telinga panjang digunakan sebagai
identitas untuk menunjukkan umur seseorang. Begitu bayi lahir, ujung telinga
diberi manik-manik yang cukup berat. Setiap tahun, jumlah manik-manik yang
menempel ditelinga bertambah satu.
“Karena
itu, kalau ingin mengetahui umur seseorang, bisa dilihat dari jumlah
manic-manik yang menempel di telinga. Jika jumlahnya 60, maka usianya pasti 60
tahun karena pemasangan manik-manik tidak bisa dilakukan sembarangan, Cuma
setahun sekali,” ungkap Jacobus Bayau Lung, Ketua II Persekutuan Dayak
Kalimantan Timur.
Tujuan
pembuatan telinga panjang pun bukan untuk menunjukkan status kebangsawanan,
tetapi justru untuk melatih kesabaran. “Bayangkan saja, betapa beratnya manik-manik
yang tergantung di telinga. Tetapi, karena dipakai setiap hari, kesabaran dan
rasa penderitaan mereka menjadi terlatih,” ujar Bayau Lung.
Sementara
itu, di kalangan masyarakat Dayak Kayan, agar daun telinga menjadi panjang,
biasanya daun telinga diberi pemberat berupa logam berbentuk lingkaran gelang
atau berbentuk gasing ukuran kecil. Dengan pemberat ini daun telinga akan terus
memanjang hingga beberapa sentimeter.
Sementara
pada Dayak Iban, tidak diberi pemberat demikian, tetapi hanya dibiarkan terlihat
seperti lubang besar seperti kalau kita membuat angka nol dengan menyatukan
ujung ibu jari dengan ujung jari telunjuk.
Di
Dusun Sungai Utik, Desa Apan, Kecamatan Embaloh Hulu, Kabupaten Kapuas Hulu,
misalnya, ditemukan seorang Dayak Iban bernama Tuba.
Orang
tua berumur sekitar 68 tahun tersebut memanjangkan telinganya sekitar tahun
60-an saat merantau ke Serawak dan Brunei Darussalam. Di sana dirinya selain
memanjangkan telinga juga membuat tato di bagian leher, lengan dan paha.
Guru
Besar Hukum Adat Universitas Tanjungpura Prof Dr Yohanes Cyprianus Thambun
Anyang menyatakan, tradisi telinga panjang Dayak Iban hamper sama dengan Dayak
Taman yang tidak member pemberat.
“Pada
Dayak Taman, tradisi telinga panjang itu tidak terkait dengan strata social
tertentu. Tradisi ini khususnya untuk perempuan hanya sebagai identitas
keperempuannya,” papar pakar hukum adat ini.
Tetapi,
kata Thambun, tradisi ini sudah ditinggalkan masyarakat Dayak Taman. “Ibu saya
saja justru begitu datang ke Pontianak waktu itu meminta dipotong ujung daun
telinganya karena khawatir nanti anak-anaknya malu”, ungkapnya.
Menurut Thambun, memanjangkan telinga hanyalah salah
satu tradisi menghias tubuh. Tradisi suku Dayak lainnya adalah membuat tato dan
memasang gigi emas, Namun, dari ketiga tradisi menghias tubuh tersebut, hanya
tato yang masih bertahan walaupun semakin kehilangan makna spiritualnya.
Sedangkan membuat telinga panjang dan memasang gigi emas sudah ditinggalkan.
“Tradisi
memasang gigi emas bagi Dayak Taman untuk menunjukkan yang bersangkutan sudah
merantau jauh, sebab gigi emas yang bagus cuma ada di Serawak dan Brunei
Darussalam,” tuturnya.
Mulai
kapan tradisi telinga panjang ini ditinggalkan?
Menurut
Mering, ini tidak diketahui persis, namun diperkirakan sama dengan tradisi tato
ketika mulai masuknya para misionaris ke daerah pedalaman di perkampungan Dayak
pada zaman colonial Belanda dulu.
Tradisi
ini pun semakin terkikis habis ketika terjadi konfrontasi antara Indonesia dan
Malaysia di daerah perbatasan Kalimantan. Saat ini berkembang stigma di
masyarakat, mereka yang berdaun telinga panjang dan tinggal di rumah-rumah
panjang, yang dihuni beberapa keluarga, merupakan kelompok masyarakat yang
tidak modern. Tidak tahan terhadap pandangan seperti itu, akhirnya beberapa
warga memotong telinga panjangnya.
Stigma
semacam ini terus berlangsung hingga sekarang. Kalangan generasi muda Dayak
tidak mau lagi membuat telinga panjang karena takut dianggap ketinggalan zaman
dan tidak modern.
Hanya
sebagian kecil masyarakat Dayak yang masih memegang teguh tradisi berdaun
telinga panjang, dan itupun jumlahnya sangat minim.
(M
Syaifullah/Try Harijono)
Makna Tato bagi Masyarakat Dayak
Jangan
kaget jika masuk ke perkampungan masyarakat Dayak dan berjumpa dengan
orang-orang tua yang dihiasi berbagai macam tato indah di beberapa bagian
tubuh. Tato yang menghiasi tubuh mereka itu bukan sekadar hiasan, apalagi
supaya dianggap jagoan. Tetapi, Tato bagi masyarakat Dayak memiliki makna yang
sangat mendalam.
Tato
bagi sebagian masyarakat etnis Dayak merupakan bagian dari tradisi, religi,
status social seseorang dalam masyarakat, serta bias pula sebagai bentuk
penghargaan suku terhadap kemampuan seseorang. Karena itu, tato tidak bias
dibuat sembarangan. Ada aturan-aturan tertentu dalam pembuatan tato atau
parung, baik pilihan gambarnya, struktur social orang yang di tato maupun
penempatan tatonya. Meski demikian, secara religi tato memiliki makna sama
dalam masyarakat Dayak, yakni sebagai “obor” dalam perjalanan seseorang menuju
alam keabadian, setelah kematian.
Karena
itu, semakin banyak tato, “obor” akan semakin terang dan jalan menuju alam
keabadian semakin lapang. Meski demikian, tetap saja pembuatan tato tidak bias
dibuat sebanyak-banyaknya secara sembarangan, karena harus mematuhi
aturan-aturan adat.
Setiap
sub-suku Dayak memiliki aturan yang berbeda dalam pembuatan tato. Bahkan ada
pula sub-suku Dayak yang tidak mengenal tradisi tato,” ungkap Mering Ngo, warga
suku dayak yang juga antropolog lulusan universitas Indonesia.
Bagi
suku Dayak yang bermukim di perbatasan Kalimantan dan Sarawak Malaysia,
misalnya, tato disekitar jari tangan menunjukkan orang tersebut suku yang suka
menolong seperti ahli pengobatan. Semakin banyak tato di tangannya, menunjukkan
orang itu semakin banyak menolong dan semakin ahli dalam pengobatan.
Bagi
masyarakat Dayak Kenyah dan Dayak Kayan di Kalimantan Timur, banyaknya tato
menggambarkan orang tersebut sudah sering mengembara. Karena setiap kampong
memiliki motif tato yang berbeda, banyaknya tato menandakan pemiliknya sudah
mengunjungi banyak kampong.
Jangan
bayangkan kampong tersebut hanya berjarak beberapa kilometer. Di Kalimantan,
jarak antar kampong bias ratusan bahkan ribuan kilometer, dan harus ditempuh
menggunakan perahu menyusuri sungai lebih dari satu bulan!
Karena
itu, penghargaan pada perantau diberikan dalam bentuk tato,”tutur ketua II
Persekutuan Dayak Kalimantan Timur (PDKT), Yacobus Bayau Lung.
Bisa
pula tato diberikan kepada para bangsawan. Dikalangan masyarakat Dayak Kenyah,
motif yang lazim untuk kalangan bangsawan (paren) adalah burung enggang yakni
burung endemic Kalimantan yang dikeramatkan.
Adapun
bagi Dayak Iban, kepala suku beserta keturunannya ditato dengan motif “dunia
atas” atau sesuatu yang hidup diangkasa. Selain motifnya terpilih, cara
pengerjaan tato untuk kaum bangsawan biasanya lebih halus dan detail
dibandingkan tato untuk golongan menengah (panyen).
Bagi
subsuku lainnya, pemberian tato dikaitkan dengan tradisi mengayau atau
memenggal kepala musuh dalam suatu peperangan. Tradisi ini sudah puluhan tahun
tidak dilakukan lagi, namun dulunya semakin banyak mengayau, motif tatonya pun
semakin khas dan istimewa.
Tato
untuk sang pemberani di medan perang ini, biasanya ditempatkan dipundak kanan.
Namun pada subsuku lainnya, ditempatkan di lengan kiri jika keberaniannya
“biasa”, dan dilengan kanan jika keberanian dan keperkasaannya di medan
pertempuran sangat luar biasa. “Pemberian tato yang dikaitkan dengan mengayau
ini, dulunya sebagai bentuk penghargaan dan penghormatan suku kepada
orang-orang yang perkasa dan banyak berjasa,” tutur Simon Devung, seorang ahli
Dayak dan Central for Social Foresty (CSF) Universitas Mulawarman Samarinda.
TATO
atau parung atau betik tidak hanya dilakukan bagi kaum laki-laki, tetapi juga kaum perempuan.
Untuk laki-laki, tato bisa dibuat dibagian manapun pada tubuhnya, sedangkan
pada perempuan biasanya hanya pada kaki dan tangan.
Jika
pada laki-laki pemberian tato dikaitkan dengan penghargaan atau penghormatan,
pada perempuan pembuatan tato lebih bermotif religius.
“Pembuatan
tato pada tangan dan kaki dipercaya bias terhindar dari pengaruh roh-roh jahat
dan selalu berada dalam lindungan Yang Maha Kuasa,”ujar Yacobus Bayau Lung.
Pada
subsuku tertentu, pembuatan tato juga terkait dengan harga diri perempuan,
sehingga dikenal istilah tedak kayaan,
yang berarti perempuan tak bertato dianggap lebih rendah derajatnya disbanding
dengan yang bertato. Meski demikian, pandangan seperti ini hanya berlaku
disebagian kecil subsuku Dayak.
Pada
suku Dayak Kayan, ada tiga macam tato yang biasanya disandang perempuan, antara
lain tedak kassa, yakni meliputi
seluruh kaki dan dipakai setelah dewasa. Tedak
usuu, tato yang dibuat pada seluruh tangan dan tedak hapii pada seluruh paha.
Sementara
di suku Dayak Kenyah, pembuatan tato pada perempuan dimulai pada umur 16 tahun
atau setelah haid pertama. Untuk pembuatan tato bagi perempuan, dilakukan
dengan upacara adat di sebuah rumah khusus. Selama pembuatan tato, semua pria
tidak boleh keluar rumah. Selain itu seluruh keluarga juga diwajibkan menjalani
berbagai pantangan untuk menghindari bencana bagi wanita yang sedang ditato
maupun keluarganya.
Motif
tato bagi perempuan lebih terbatas seperti gambar paku hitam yang berada
disekitar ruas jari disebut song irang
atau tunas bamboo. Adapun yang melintang dibelakang buku jari disebut ikor. Tato dipergelangan tangan
bergambar wajah macan disebut silong
lejau.
Adapula
tato yang dibuat dibagian paha. Bagi perempuan Dayak memiliki dibagian paha
status sosialnya sangat tinggi dan biasanya dilengkapi gelang dibagian bawah
betis.
Motif
tato dibagian paha biasanya juga menyerupai silong
jelau. Perbedaannya dengan tato di tangan, ada garis melintang pada betis
yang dinamakan nang klinge.
Tato
sangat jarang ditemukan dibagian lutut. Meski demikian ada juga tato dibagian
lutut pada lelaki dan perempuan yang biasanya dibuat pada bagian akhir
pembuatan tato di badan. Tato yang dibuat di atas lutut dan melingkar hingga ke
betis menyerupai ular, sebenarnya anjing jadi-jadian atau disebut tuang buvong asu.
Baik
tato pada laki-laki maupun perempuan, secara tradisional dibuat menggunakan
duri buah jeruk yang panjang dan lambat-laun kemudian menggunakan beberapa buah
jarum sekaligus. Yang tidak berubah adalah bahan pembuatan tato yang biasanya
menggunakan jelaga dari periuk yang berwarna hitam.
“Karena
itu, tato yang dibuat warna warni, ada hijau, kuning dan merah, pastilah bukan
tato tradisional yang mengandung makna filosofis yang tinggi,” ucap Yacobus
Bayau Lung.
Tato
warna warni yang dibuat kalangan pemuda kini, hanyalah tato hiasan yang tidak
memiliki makna apa-apa. Gambar dan penempatan dilakukan sembarangan dan
asal-asalan. Tato seperti itu sama sekali tidak memiliki nilai religious dan
penghargaan, tetapi Cuma sekadar untuk keindahan, dan bahkan ada yang ingin
dianggap sebagai jagoan.
(M.
Syaifullah/Try Harijono)
Tato, Tradisi yang Mulai Ditinggalkan
Tradisi
membuat tato bagi sebagian masyarakat Dayak kini mulai ditinggalkan. Kalaupun
ada kalangan generasi muda Dayak yang membuat tato itu lebih disebabkan factor
keindahan. Padahal, dulu, tradisi ini sangat erat kaitannya dengan religi dan
tidak bias dilakukan sembarangan. Diperlukan upacara ritual sebelum melakukan
tato. Motif dan penempatan tato pun tidak bias dilakukan sembarangan, tetapi
harus mematuhi peraturan adat.
Kini
aturan-aturan baku tersebut mulai ditinggalkan. Tidak diketahui persis sejak
kapan tradisi membuat tato secara perlahan mulai ditinggalkan masyarakat.
Menurut antropologi Mering Ngo, yang juga berasal dari suku Dayak, tradisi
membuat tato tidak terlepas dari tradisi mengayau atau memenggal kepala musuh
yang dulu sering dilakukan. Namun, sejak dilakukan Pertemuan Tumbanganoi yang
dihadiri para pimpinan suku pada zaman colonial Belanda awal tahun 1900-an,
tradisi mengayau tidak lagi dilakukan.
Datangnya
agama semit pada masa penjajahan Belanda, ikut mendorong ditinggalkannya
tradisi mengayau sehingga terdisi membuat tato pun perlahan-lahan tersisihkan.
Sekitar 1930, tardisi mengayau tidak lagi dilakukan sehingga pembuatan tato pun
semakin ditinggalkan. Karena itu, hanya orang-orang tua yang sudah uzur yang
kini tubuhnya masih dihiasi tato-tato tradisional.
“Tato
yang menghiasi generasi muda sekarang, bukan tato tradisional yang sarat makna,
tetapi Cuma tato hiasan,” ungkap Simon Devung, ahli Dayak dari Central for
Social Forestry Universitas Mulawarman, Samarinda.
Ketua
II Persatuan Dayak Kalimantan Timur (PDKT) Jacobus Bayau Lung menyebutkan,
ditinggalkannya tradisi tato erat kaitannya dengan masalah social. Ditengah
masyarakat sekarang berkembang persepsi, mereka yang ditato adalah jagoan dan
bahkan seorang preman. Karena anggapan seperti ini, mereka yang ditato sulit
mendapatkan pekerjaan. “Khawatir sulit mendapatkan pekerjaan, laki-laki yang sudah
dewasa akhirnya tidak mau menjalankan tradisi tato,” ujar Jacobus Bayau Lung.
Edi
V Petebang, salah seorang pemuda Dayak yang memimpin Redaksi Majalah Kalimantan
Review, di Pontianak, menyebutkan, pemuda Dayak yang ditato sekarang ini tidak
tahu makna dan lokasi pembuatan tatonya. Mereka membuat tato secara sembarangan
kerena hanya untuk keindahan dan tidak ada kaitannya dengan tradisi. Hanya di
kalangan orang-orang tua Dayak berumur dia atas 50 tahun, tradisi tato ini
masih tetap lestari dan makna ritualnya masih tetap bias dinikmati.
Sumber:
KOMPAS, Jumat 22 Oktober 2004 (Tanah Air)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar