Asal-usul terjadinya
GUNUNG KOMBENG
menurut cerita rakyat
Alkisah
pada zaman dahulu kala, pada dataran rendah ditepi sebuah danau besar ,
berdirilah sebuah lamin megah yang didiami oleh seorang raja. Pada suatu hari
dilamin itu diadakan upacara adat besar (erau) selama empat puluh hari
empatpuluh malam. Suara gong dan tabuh panjang tiada henti-hentinya setiap hari
dipalu dan pada waktu itu pula dikerjakan bermacam-macam upacara adat menurut
kepercayaan yang mereka anut.
Tersebutlah
dalam ceritera seorang yang sangat miskin, hidup dua laki isteri disebuah
kampung suku Pantun. Dari pada miskinnya kehidupan orang tadi, hingga hanya
memiliki selembar kain yang sudah usang. Dengan demikian, kedua suami-isteri
itu tidak dapat pergi bersama-sama menghadiri upacara adat yang sedang
berlangsung tadi, karena kain yang satu-satunya mereka miliki terpaksa dipakai
secara bergiliran.
Pada
waktu sang suami pergi kehutan untuk berburu, maka isterinya pergi menebang
batang bambu muda. Batang-batang bambu itu dibelah kecil-kecil sehingga
merupakan tali, kemudian dianyam dijadikan sebagai pengganti kain untuk sekedar
menutupi kemaluannya saja, setelah itu bersama-sama dengan tetangganya pergilah
ia ketempat upacara adat berlangsung.
Sekembalinya
dari berburu, suaminya terkejut karena isterinya tidak berada dipondok. Dia
yakin isterinya pergi ketempat diadakannya erau itu, iapun menyusul isterinya
dan dilihatnya isterinya itu menjadi buah tertawaan orang banyak, karena kain
yang dipakainya. Melihat keadaan demikian ia menjadi malu dan kembali lagi
kepondoknya. Diambilnya sumpitan dan terus pergi berburu mencari binatang bekantan
(kera yang berbulu merah dan berhidung panjang). Setelah binatang itu ditemukan
dan mati disumpitnya, maka buntut kera itu dipotongnya lalu dibawa ketempat
upacara erau. Pada waktu itu, semua penduduk baik lelaki maupun perempuan
datang menghadiri. Isterinya masih
berada disitu turut serta menari riang gembira bersama-sama dengan tamu-tamu
lain, meskipun menjadi buah tertawaan orang banyak. Waktu menjelang fajar para
tamu sudah letih dan sebagaian duduk tertidur.
Pada
kesempatan inilah dipergunakan oleh sang suami untuk membalas dendam.
Dihampirinya sebuah tabuh panjang yang berada disitu dan ditabuhnya dengan
buntut kera bekatan yang dibawahnya itu. Dengan serta merta fajar pagi
menghilang, langit menjadi gelap gulita kilat sabung-menyambung, suara
halilintar laksana membelah bumi. Turunlah angin ribut yang sangat keras
menggoncang-goncang lamin tempat upacara adat erau dilaksanakan. Orang-orang
berlari keluar lamin dengan berdesak-desakan. Tiba-tiba lamin itu berubah
menjadi batu, demikian pula orang-orang yang tidak sempat keluar. Lamin yang
menjadi batu itu ialah Gunung Kombeng, sedang orang-orang yang didalamnya ialah
arca-arca yang banyak terdapat didalam goha gunung itu.
Adapun
danau disekitar lamin itu, sekarang menjadi rawa besar dan luas karena hujan
turun tidak henti-hentinya. Rawa ini berhubungan dengan anak sungai yang
muaranya terletak di Muara Kaman. Di suatu tempat yang bernama Puan Cepak
ditepi sungai itu, pernah diketemukan oleh beberapa orang nelayan,
beratus-ratus keramik tua, berukuran besar dan kecil serta banyak dalam keadaan
pecah.
2. Disuatu tempat lain yang bernama Berubus,
Seberang Muara Kaman, terletak sebuah bukit yang menurut kepercayaan penduduk
setempat, dahulunya adalah bekas istana. Kerajaan mulawarman dengan
perbentengannya yang telah tenggelam. Mungkin ditempat itu atau disekitarnya
ditemukannya 4 (empat) buah tiang batu bertuliskan huruf Pallawa, yang disebut dengan prasasti yupa.
Pada salah satu prasasti Yupa itu tertera pemberitaan bahwa sang Mulawarman,
Raja yang mulia dan terkemuka, telah memberi hadiah 20.000 ekor sapi kepada
Brahmana yang seperti api, (bertempat) didalam tanah yang sangat suci bernama
Waprakecavara. Buat peringatan akan kebaikan budi sang raja itu, tugu pemujaan
ini telah dibikin oleh para Brahmana yang datang ditempat ini.
Pada Prasasti lainnya diberikan bahwa raja
tersohor kudungga berputera Acwawarman yang termansyur, penegak keturunan raja
dan seorang puteranya yaitu raja Mulawarman memberikan pujaan berupa emas yang
banyak sekali, serta untuk itu didirikan tugu pemujaan oleh orang-orang yang
terpenting dari mereka yang lahir dua kali.
Empat prasasti Yupa atau prasasti
Mulawarman itu juga sudah dibawa untuk koleksi Museum Jakarta.
Akhir-akhir ini diketemukan pula oleh
penduduk yang menggali sumur disekitar berubus itu 77 buah patung perunggu.
Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi daerah Tingkat I
Kalimantan Timur merencanakan untuk mengadakan penggalian didaerah bekas
Kerajaan Mulawarman itu untuk mencari bekas-bekas candi ataupun sisa-sisa dari
tempat kediamamn Raja.
CAGAR BUDAYA GUNUNG KOMBENG
Gunung Kombeng terdapat dikecamatan Muara Wahau,
di sungai Pantun anak
sungai Kedang Kepala
(disebut juga sungai Telen)
Gunung ini terletak hampir
perbatasan Kecamatan Muara Wahau dengan
Kecamatan Bontang. Letaknya didaratan, dimana
tidak ada lagi gunung atau
pegunungan lain yang mengelilinginya.
Untuk berjalan kaki mengelilingi
gunung Kombeng diperlukan waktu lebih
kurang 2 (dua) jam.
Goha-Goha yang terdapat dalam gunung
Kombeng ini banyak sekali.
Pintu-pintu Goha ini ada yang terletak dikaki gunung
dan ada pula yang
terletak agak tinggi keatas, seperti pintu Goha dimana
terdapat 7 (tujuh)
buah Arca (patung) sekarang ini.
Tinggi gunung Kombeng diperkirakan
150 m. Disekitarnya ditumbuhi hutan
lebat.Didalam Goha-Goha dihiasi dengan batu-batu Stalektit dan Stalekmit.
Batu-batu ini ada yang berupa lampu,
karena bergantung dilangit-langit goha
dan ada pula yang merupakan menahan
langit-langit goha, agar jangan runtuh.
Arca-arca didalam gunung Kombeng
dapat dibagi didalam 2 golongan yaitu:
a.
Arca
dari kelompok Ciwa seperti misalnya
Maha Dewa Guru, Ganeca, Kertikeva, Mahakala, Nandicwara, Nandin, dan kepala
Brahma.
b. Arca Budha
Dua dari Arca yang menghiasi Museum
Mulawarman di Tenggarong merupakan
contoh bentuk Arca yang masih ada digunung
Kombeng itu.
Kemungkinan Arca-Arca ini berasal
dari kerajaan Mulawarman yang dibawakan
oleh sisa-sisa penganut Agama Hindu
kegoha-goha gunung Kombeng untuk
diamankan, akibat masuknya dan menyebarnya
agama Islam dalam kerajaan
ini pada kira-kira tahun 1600.
Pada ke abad ke-18 datang ekspidisi
yang dipimpin oleh seorang bangsawan
Cina, bernama Lou Kong Beng. Ekspidisi ini
gagal, karena perahu Wangkang
yang dipergunakan olehnya pecah dan tenggelam
disekitar gunung itu,
disebabkan gempa bumi yang terjadi pada waktu itu.
Sebagian dari dari
pengikut Ekspidisi ini tewas, sedang yang masih hidup
meneruskan perjalanan
kedaerah itu. Kemungkinan berasal dari nama pimpinan
ekspidisi itulah
gunung yang terdapat di Kecamatan Muara Wahau itu mulai nama Kong
Beng
yang kini berubah dengan sebutan kombeng.
Begitu pula nam-nama penduduk suku
bahau yang mendiami daerah sekitar
gunung itu, hampir menyerupai nama-nama cina
umpama saja: Wang pek,
Wang li, Ding Li, Biang, Koek, Ja Lung dan lain-lain,
Karena peserta ekspedisi
yang tidak kembali lagi ketanah leluhurnya, diperlukan
menetap disana dan
hidup bercampur-baurdengan penduduk setempat.
Cara mereka menahan mayatpun hampir
menyerupai apa yang dilakukan oleh
orang Cina. Mereka menyediakan
bermacam-macam makanan diatas
perkuburan menurut kegemaran si mati semasa
hidupnya.
Untuk itu si mati itu mereka juga
membuat rumah-rumhan kecil lengkap
dengan segala peralatannya yang serba kecil
pula. Untuk si mati dibekali juga
beras , padi, dimasukkan dalam
karung-karungan kecil yang mereka taruh
begitu saja diatas kuburan si mati itu.
Hanya saja bedanya, Kalau orang cina,
rumah-rumahan beserta segala
perlengkapannya dibakar, maka pada suku
Bahau ini barang-barang digantungkan
pada sebuah tonggak dari akar kayu
yang ditancapakan miring diatas perkuburan
itu . tentang maksud dan
tujuannya tidak berbeda yaitu untuk keperluan si mati
dialam baqa.
Berita pertama tentang arca-arca di
Gunung Kombeng itu berasal dari Letnan
Laut klas 2 J.A van der Star dalam
suratnya kepada direksi dari Bataviaasch
Genootschap.
Dalam kunjungannya pada
Sultan Kutai tahun 1895, tertarik perhatiannya pada
tiga buah patung-patung budha yang diperlihatkan
sultan kepadanya. Menurut
Sultan, Patung-patung tersebut berasal dari sebuah
goha, yang didalamnya
mungkin terdapat kamar-kamar. Sebahagian dari ruangan itu
diukir dan
dihiasi dengan banyak patung patung budha serta terdapat beberapa
perlengkapan dari batu, misalnya meja-meja batu.
Patung-patung tersebut atas
permintaan Direksi Bataviaasch Genootschap
diserahkan untuk disimpan di Museum Jakarta. Salah satu dari
arca tersebut
menurut Dr.Krom adalah Wajrapani.
Seorang insinyur pertambangan
bernama H. Witkamp adalah orang eropa yang
pertama yang mengadakan perjalanan
ke Kombeng dalam bulan november
1912. Dia membuat laporan yang lengkap disertai lampiran denah goha arca
itu dan membuat belasan sketsa mengenai arca-arca yang terdapat
didalamnya. Dikatakannya dalam laporan itu antara lain, Bahwa bukan tidak
mungkin didalam Gunung Kombeng masih terdapat ruangan-ruangan lain yang
berisikan arca-arca, akan tetapi oleh
orang-orang Dayak dirahasiakan. Tidak
seorang Dayakpun, dapat memberikan
penjelasan kepada Ir.Witkamp
mengenai asal usul arca-arca itu. Mereka hanya
mengatakan, Bahwa arca-arca
itu sejak dahulu kala sudah berada disana.
Patung lain yang berada di museum jakarta ialah yng berasal
dari daerah Kota
Bangun, Patung ini pertama kali diketahui dari Buku Harian
Tahun 1846-1847
kepunyaan Von Dewall. Dia menyebutkan patung tersebut sebagai
arca batu
yang bernama Gendawa-Gie, Dimiliki oleh seorang keluarga islam yang
tinggal
ditepi anak sungai keham, sebuah sungai yang mengalir ke danau Uwis,
terletak ditepi kanan Mahakam antara muara muntai dan kota bangun.
Carl Bock mengunjungi juga tempat
dalam perjalanan diKalimantan selatan
dan timur pada tahun 1879-1880. Ia
kemudian mengetahui, bahwa patung
tersebut tidak sebagaimana yang diceritakan
oleh Von Dewall. Pemilik patung
itu adalah
seorang Dayak dan mengatakan, Bahwa patung bukan terbuat dari
batu,
melainkan dari perunggu.
salam hormat,
BalasHapussaya ingin menanyakan apakah legenda gunung kongbeng yang ditulis valid? karena saya pernah membaca legenda terbentuknya danau Aco dan Danau Beluq di Kutai Barat, legendanya sangat mirip, hanya berbeda bagian subjeknya. terima kasih.
Halo Edelweis, info ini saya kutip dari buku
BalasHapus