KISAH ASAL-USUL
TERJADINYA PESUT
Konon khabarnya dahulu kala disalah satu rantauan
sungai Mahakam, terdapat sebuah dusun yang didiami oleh beberapa pasang
keluarga tani. Kehidupan mereka, disamping berladang, juga membuat kebun dan
ada pula yang berusaha sebagai nelayan.
Setiap tahun sehabis musim panen, ramailah penduduk dusun itu mengadakan pesta
upacara adat memelas tahun, yang diisi dengan berbagai pertunjukan keahlian
dan kesenian yang mereka miliki. Pihak lelaki mengadu kepandaian dengan cara
mereka sendiri, seperti main pencak silat,
adu bintih, adu besut, adu gasing dan logo. Pihak perempuan pun tidak mau
ketinggalan. Disamping turut menari secara adat, ada pula yang turut dalam
pertandingan-pertandingan yang sifatnya ringan. Sudah barang tentu dalam hal
ini yang merupakan acara pokok adalah memelas tahun, yang dilaksanakan oleh
seorang dukun beserta orang-orang tua berpengalaman. Biasanya upacara iini
berlangsung sampai berbulan-bulan lamanya. Disaat inilah kesempatan bagi para
muda mudi untuk saling mengenal dan memilih jodoh. Tidaklah mengherankan bila
upacara adat ini selesai, disana sini menyusul pula upacara-upacara perkawinan
serba sederhana.
Ditengah
masyarakat yang tinggal didusun itu, terdapatlah suatu keluarga terdiri dari
suami isteri bersama anaknya dua orang, lelaki dan perempuan. Mereka hidup
rukun dan damai dalam sebuah pondok. Dikiri kanannya ditanami bermacam-macam
tanaman seperti ubi jalar, ubi kayu, lombok, pepaya dan pisang, sehingga untuk
keperluan sehari-hari tidaklah terlalu susah mendapatkannya. Nampaknya mereka
ini hidup lebih sempurna daripada tetangga atau anggota masyarakat lainnya
didusun itu. Segala kesulitan ditanggulangi dan diatasi mereka sekeluarga
dengan cara yang bijaksana mungkin. Begitulah mereka beberapa tahun dapat hidup
rukun dan damai, sehingga tetangga sekitarnya ada juga yang iri hati
melihatnya.
Pada suatu
saat terjadi peristiwa yang sangat menyedihkan bagi keluarga ini. Entah
disebabkan oleh apa, sang istri jatuh sakit. Walaupun telah diusahakan
pengobatan secara tawar menawar dari para dukun, namun penyakitnya tidak juga
berkurang. Usaha yang terakhir yang harus dilakukan adalah pengobatan dengan
cara besar-besaran, yakni belian, yang dilakukan oleh seorang dukun.
Dilaksanakanlah pengobatan itu selama tiga malam berturut-turut. Untuk itu
keluarga yang lainnya tidak boleh keluar, demikian pula para tamu tidak
diperkenankan masuk rumah selama tiga hari, menandakan bahwa pengobatan
dilakukan secara besar-besaran, pengobatan menurut adat yang disebut belian, karena keadaan penyakit yang parah
sekali.
Malang tak dapat ditolak,
untung tak dapat diraih, istrinya bukan menjadi sembuh, malah penyakitnya
bertambah parah. Seminggu kemudian meninggallah istri yang sangat dikasihi itu,
padahal ia semasa hidupnya sangatlah bijaksana dalam mengatur rumah tangga
serta dalam mendidik kedua orang anaknya, yang pada waktu itu telah berumur
masing-masing lelaki 12 tahun dan perempuan 8 tahun. Demikianlah keadaannya
hingga sanga suami hampir lupa apa kewajiban yang harus dilaksanakan saat itu.
Terlebih-lebih bila ia melihat kedua anaknya yang tak henti-hentinya menangisi
sang ibu, yang telah sampai hati meninggalkan serta memutuskan kasih sayang
terhadap mereka berdua.
Mendengar
keadaan demikian itu, berdatanganlah para tetangga untuk mengetahui apa gerangan
yang telah terjadi. Setelah masuk rumah barulah mereka mengetahui, bahwa ibu dari kedua anak itu telah meninggal
dunia. Akhirnya oleh para warga dusun, diatur dan dirawatlah jenazah itu, untuk
selanjutnya dimakamkan secara adat. Selama hampir sehari penuh, selesailah
upacara pemakaman itu dan para warga dusun pun kembalilah kerumahnya
masing-masing. Tinggallah sang ayah bersama kedua anaknya di pondok itu dengan
perasaan sedih, berbeda sekali dengan keadaan sebelum peristiwa kematian itu.
Akhirnya sang
ayah menjadi pemurung dan pendiam, sedangkan kedua anaknya selalu diliputi oleh
rasa bingung, tak tahu apa yang harus mereka lakukan sepeninggal sang ibu.
Keadaan rumah tangga tak terurus lagi, sejadi-jadinya. Terkadang makan hanya
sekali sehari, terlebih-lebih pekerjaan di ladang dan dikebun sudah tidak
terpikirkan lagi. Ungtunglah sekali-sekali para tetangga terutama tetua-tetua
dusun datang memberikan nasehat seperlunya kepada sang ayah yang kelihatannya
hampir putus asa. Namun nampaknya cara ini tidak dapat mengobati dan
menghilangkan perasaan duka cita yang telah menimpa keluarga itu. Keadaan ini
jadi berlarut-larut sampai berbulan-bulan sampai bertahun-tahun lamanya.
Suatu
ketika di dusun itu diadakan keramaian dengan berbagai pertunjukan dan hiburan,
yang sengaja diundang dari dusun lain, untuk selama dua minggu sebagai petanda,
bahwa dalam tahun ini usaha perladangan dan perkebunan mereka mendapat hasil
yang berlebih-lebihan.
Diantara
rombongan kesenian yang diundang itu, terdapatlah seorang pemain gadis yang
mempesona. Agaknya dia mempunyai kelebihan dan keistimewaan dari pada
teman-teman gadis lainnya. Terbukti apabila tiba saatnya pertunjukan dimana si
gadis bergaya dihadapan para pengunjung, maka ramailah sorak sorai anak muda
yang menyaksikan permainan itu. Para orang
tuapun terpukau dibuatnya. Tidak sedikit diantara pengunjung mencoba
menggodanya atau mengadu nasib kalau-kalau beruntung dapat mempersunting gadisa
itu.
Mendengar
berita yang demikian itu, tergugah jua hati sang ayah hendak turut menyaksikan,
bagaimana kehebatan pertunjukan yang telah dibangga-banggakan oleh para warga
dusun, hingga banyak pemuda yang tergila-gila dibuatnya.
Malam itu
adalah malam ketujuh dari acara keramaian yang dilangsungkan. Nampak
samar-samar dari jauh sang ayah berjalan mendekati tempat pertunjukan dimana
gadis itu akan bermain. Sengaja dipilhnya tempat yang lebih dekat, agar dapat
menyaksikan sejelas-jelasnya bagaimana kehebatan permaianan serta rupa sang
gadis itu.
Saat yang
dinanti-nantikan itupun tibalah. Masing-masing penonton berusaha memilih tempat
yang lebih tepat agar dapat menyaksikan lebih jelas. Berbeda dengan penonton
lainnya sang ayah tidak banyak turut tertaw3a geli atau memuji-muji gadis yang
beraksi iru meskipun sekali-sekali ada jua ia tersenyum kecil. Kadang kala
karena kelincahan dan kecelian mata gadis itu membuang senyum kesana kemari
kepada para penonton, bertemu jua pandangan si gadis dengan sang ayah. Kejadian
ini berulang beberapa kali. Tidaklah diperkirakan sama sekali, kiranya terjalin
rasa cinta antara si gadis dengan sang ayah, yakni ayah dari dua orang anak
yang telah ditinggalkan ibu kandungnya beberapa waktu yang lalu. Demikianlah
keadaannya, hingga dengan persetujuan kedua belah pihak serta direstui oleh
warga dusun, berlangsunglah perkawinan dan jadilah mereka suami istri. Rupanya
telah menjadi suratan, dengan berakhirnya upacara adat itu, berakhir pulalah
kemurungan serta kemuraman kehidupan keluarga yang ditimpa duka nestapa itu.
Mulailah mereka menyusun kehidupan baru.
Penari yang
telah menjadi ibu tiri dari dua orang anak itu sangat mengharapkan agar tidak
seorangpun berniat mencari-cari asal-usul dan keturunannya. Ketua rombongan
yang membawanyapun pernah menerangkan, bahwa penari itu dijumpai dan diterima
menjadi anggota rombongan ketika sedang berada ditengah rantauan yang sunyi,
tatkala rombongan melihat ia melambaikan tangannya. Pada waktu itu diperkirakan
ia sedang mendapat bahaya, namun setelah didekati ternyata ia memohon agar
diterima dan diturut-sertakan dalam
rombongan serta bersedia disuruh mengerjakan apa saja. Mendengar permohonannya
itu ketua rombongan pun merasa iba hatinya, lalu menerimanya untuk turut
bersama yang lain mengadakan pertunjukan. Siapa nyana bila si gadis penari itu,
kini telah menjadi istri seorang lelaki yang telah mempunyai dua orang anak.
Dan kini ia telah menjadi seorang ibu tiri.
Demikianlah
mereka pun mulai mengerjakan segala pekerjaan yang dahulunya tidak mereka
usahakan lagi. Sang ayah setiap pagi setelah serapan, pergi ke hutan membuat
perladangan baru. Kedua orang anaknya turut pula bekerja, membantu mana yang
dapat mereka kerjakan. Sang ibu tinggal di rumah menyiapkan makanan bagi si
suami dan kedua anak tirinya sepulangnya dari bekerja di hutan. Begitulah
seterusnya sampai berbulan-bulan lamanya, hingga kehidupan mereka menjadi cerah
kembali.
Dalam
keadaan yang demikian tidaklah diduga samasekali, bila sang ibu lama kelamaan
mempunyai sifat yang kurang baik terhadap kedua anak tirinya. Mereka baru
diberi makan setelah ada sisa makanan dari ayahnya. Sang ayah maklum akan hal
ini. Namun apa daya, sedih dihati baru mulai sembuh, karena itu perlu dipupuk
dengan mencurahkan kasih sayang kepada istri yang baru.
Lama
kelamaan timbullah sifat serakah sang ibu, sedangkan sang ayah tidak dapat
menguasai keadaan ini. Seluruh rumah tangga diatur dan berada ditangan istrinya
yang muda lagi serakah itu. Kedua orang anaknya senantiasa disuruh bekerja
setiap hari tanpa mengenal lelah bahkan kadang-kadang tidak wajar dikerjakan
oleh mereka.
Suatu
Ketika, kedua anaknya disuruh mencari kayu api sebanyak-banyaknya dan harus
yang kering. Untuk memenuhi itu terpaksa kedua anak tersebut berhari-hari.
Setibanya dirumah, bukanlah makanan yang didapat, melainkan hanya amarah dari
sang ibu tiri, karena dituduh terlalu lama mencari kayu. Kedua anak itu terdiam
tak dapat bersuara memikirkan bagaimana kesudahannya nasib mereka. Anak yang
paling tua sudah berpikir nekad hendak menjawab dan lalu kemudian lari dari
rumah itu, namun anak yang muda, perempuan mempunyai jiwa dan perasaan lebih
halus, segera memberi saran-saran antara lain katanya: “Kak kita harus indat!
Kita bukanlah diperintah oleh ibu tiri, tapi diperintah oleh ayah kita sendiri.
Kemana lagi kita harus berpegang, ibu sudah tiada, satu-satunya tinggal ayah
yang dapat kita harapkan untuk membimbing kita”.
Kakaknya
menyahut agak penasaran: “Tapi dik, ayah kelihatannya sudah terpengaruh ibu
tiri kita yang serakah. Segala barang peninggalan ibu habis diwarisinya”.
“Biarlah
kak semua itu, apabila kita masih hidup dan sehat-sehat saja dapat bekerja dan
berusaha, kitapun akhirnya dapat memiliki barang-barang seperti itu”, bujuk
sanga adik kepada kakaknya.
Dilain
pihak, ibu tiri mereka rupanya sudah menyusun suatu rencana yang cukup matang .
Pada suatu hari sang ibu menyuruh kedua orang anak tirinya itu mencari kayu api
lagi : “ kalian berdua hari ini harus pergi mencari kayu api lagi , jumlahnya
tiga kali lebih banyak dari kayu yang sudah kalian dapat kemarin .
Dan ………. Ingatlah ! kalau tidak cukup banyak kayu seperti yang ku minta
, biar beberapa hari , janganlah kalian pulang dulu. Apa bila kalian pulang dengan kayu yang tidak
cukup , kalian akan menerima pukulan . Berangkatlah pagi ini juga .”
Mendengar
perintah ini , anak lelaki segera menjawab : “ untuk apa kayu sebanyak itu ?
kayu yang ini saja masih banyak . Nanti setelah hampir habis barulah kami
carikan lagi!”
Mendengar
jawaban anak tirinya yang tertua
demikian itu, ibunya segera berkata : “Apa ? kalian membantah ? Nanti kuberitahukan
kepada ayahmu bahwa kalian pemalas ! Ayo, kalian harus berangkat hari ini juga ! Bisa kembali , tetapi harus membawa
kayu sebanyak yang kuperlukan!”
Anak
tirinya yang perempuan sadar akan hal ini , lalu ia menarik kakaknya untuk
pergi . Ia tahu ,bahwa ayahnya sudah di pengaruhi oleh ibu tirinya itu. Sia-sia
saja bertahan membela diri , karena tetap akan dipersalahkan jua.
Demikianlah
setelah menyiapkan alat-lat untuk mencari kayu , berangkatlah mereka menuju
hutan. Hingga lewat tengah hari banyaklah kayu yang telah terkumpul
bertumpuk-tumpuk disana sini , namunlah belum cukup memenuhi permintaan sang
ibu tiri .Ketika itu mereka sudah merasa lapar , karena mereka berdua tidak
sarapan sedikit juapun dan tidak dibekali makanan seperti biasanya. Guna
menghilangkan rasa lapar terpaksa mereka
memasuki semak belukar , mencari buah-buahan pap saja yang dapat di makan.
Untunglah mereka menemui pohon jambu biji yang berbuah lebat sekali dan segera
meraka makan dengan lahapnya.
Setelah
terasa agak kenyang mereka pun mulai mengumpulkan kayu api lagi untuk menambah
yang sudah ada. Sampai senja barulah mereka berhenti, namun untuk pulang mereka
tidak berani, karena kayu –kayu itu belumlah mencukupi . Terpaksalah mereka
bemalam di tengah belukar dalam sebuah tempat bekas pondok huma seseorang.
Mereka berdua hampir tak dapat tidur , karena
diganggu perasaan sedih bercampur takut . Yang lebih hebat lagi adalah
gangguan dari perut yang sampai saat itu belum diisi dengan nasi, sedangkan
besok harus bekerja lebih giat lagi untuk mengumpulkan dan mengansur kayu-kayu
itu sampai ke rumah. Larut malam barulah mereka dapat tidur , kemudian hanyut
di bawa oleh mimpi tak menentu.
Esoknya pagi-pagi benar, mereka mulai
mengumpulkan kayu. Menjelang tengah hari rasa lapar pun tak tertahan lagi. Hingga akhirnya mereka
tergeletak di tanah beberapa saat. Diluar dugaan sementara hendak duduk,
berdirilah di sisi mereka seorang kakek seraya bertanya : “ Mengapa kalian
sampai berada di sini ? Apa kerja kalian di tengah hutan yang jauh dari manusia
ini ?”
Adiknya
yang perempuan segera menceritakan mengapa mereka sampai berada di situ.
Diceritakan pula tentang tingkah laku ibu tiri mereka serta tugas berat yang
harus mereka laksanakan. Ditambahkan , bahwa mereka sejak kemarin belum makan
nasi , hingga rasanya sudah tidak sanggup lagi melanjutkan pekerjaan.
Mendegar
tuturan itu sang kakek merasa iba hatinya lalu berkata : “Kalian memerlukan
pertolongan dan akan kutolong supaya
kalian dapat melanjutkan tugas hingga selesai. Cobalah kalian pergi berjalan
kesana tidak jauh dari sini. Disana akan kalian jumpai beberapa pohon yang
sedang berbuah. Petik dan makanlah buah-buah itu sepuas-puasnya hingga
kenyang.Hanya harus diingat,janganlah dicari lagi pada esok harinya karena
pekerjaan itu akan sia-sia saja. Pergilah ke tempat itu saat ini juga”.
Sambil
mengucapkan terima kasih,segeralah kakak beradik itu berjalan menuju tempat
termaksud. Setelah tiba, ternyata apa yang diucapkan kakek tadi adalah benar
Diaitu diketemukan bermacam-macam pohon buah-buahan. Buahnya sangat lebat,
Pisang dan Pepaya masak berjatuhan demikian pula buah-buah yang lainnya. Karena
lapar, merekapun segera memetik buah-buah itu lalu dimakan sepuas-puasnya
ditempat itu juga sesuai pesan sang kakek. Dengan memakan buah-buah itu perut
mereka terasa kenyang sedangkan badan teras segar kembali hingga mampu
melanjutkan pekerjaan.
Menjelang
sore hari, kayu pun telah selesai diangsur kerumah, kemudian langsung disusun
sesuai permintaan sang ibu tiri, tanpa memperhatikan keadaan rumah mereka.
Sampai senja barulah mereka selesai menyusun kayu-kayu itu. Mereka ingin naik
kerumah hendak melapor kepada ibu tiri mereka, tetapi alangkah terkejut mereka
setelah menyaksikan keadaan didalam rumah itu sudah kosomg sama sekali.
Ternyata
ayahnya sudah pergi bersama ibu tirinya meninggalkan rumah itu. Segala isi
rumah habis dibawa serta, merupakan tanda mereka tidak akan kembali lagi. Kedua
saudara itupun kebingungan, tak tahu apa yang harus dilakukan, lalu menangis
sejadi-jadinya mengenangkan nsib diri. Mereka terkenang pada ibu tercinta telah
tiada, kemudian teringat pula ibu tiri
yang sedemikian kejam. Akhirnya teringat pada ayah tanpa tahu kemana arah
tujuannya.
Ini sudah
tentu adalah kekejaman sang ibu tiri yang amat serakah itu. Bersama suaminya ia
berpindah ke lain tempat secara sembunyi-sembunyi supaya tidak diketahui dan
tidak dapat disusul oleh kedua anaknya.
Mendengar
tangis kedua saudara itu,berdatanglah tetangga sekitarnya ingin mengetahui apa
gerangan yang terjadi, Mereka terkejut setelah mengetahui bahwa ayah dan ibu
tiri anak itu telah pindah secara diam-diam. Meskipun tangis belum reda dan
sedih masih terasa, namun pada malamnya makan hasil pemberian tetangga, kedua
anak itu tertidurlah.
Esok
harinya kedua anak itu berusaha hendak menyusul orang tuanya. Rencana itu
mereka ceritakan kepada ketetangga terdekat. Bagaimanapun juga mereka harus
mengetahui keadaan ayah mereka, apakah masih hidup ataukah sudah mati akibat
kekejaman ibu tirinya. Sekedar untuk sangu dan bekal makanan dalam perjalanan,
warga dusun sepakat untuk menukari kayu hasil carian mereka dengan bahan
makanan yang dapat mereka bawa. Sudah dua hari dalam perjalanan dan perbekalan
sudah habis, namun orang tua mereka belum dijumpai.
Pada hari
ketiga setelah seharian penuh tidak makan, sampailah mereka disuatu daerah
ketinggian dan dari situ terlihatlah asap api mengepul dikejauhan. Segeralah
mereka menuju ketempat itu, setidak-tidaknya agar dapat bertanya kepada
penghuninya barangkali mengetahui atu melihat orang tuanya. Setibanya di tempat
itu , mereka segera memberi hormat kepada penghuni seorang kakek yang sedang
duduk acuh tak acuh. Kakek itu tenang-tenang saja mndapat penghormatan , lama
baru ia membalasnya.
Sambil
terkekeh dan batuk-batuk kecil si kakek bertanya : “Kalian dari mana ? Apa
maksud kalian datang ketempat saya jauh terpencil ini ?”
Segeralah
keua anak itu menjelaskan sebab-sebab mereka sampai ke tempat itu, sedang si
kakek mengangguk-angguk seolah-olah sudah maklum keadaan anak itu. Kemudian orang tua itu berkata : “Beberapa
hari yang lalu memang ada lewat disini seorang lelaki dengan seorang perempuan . Kelihatanya sangat banyak membawa barang-barang. Mereka
meminjam perahuku untuk menyebrangi sungai. Menurut pengakuannya, mereka hendak
tinggal menetap disebrang sana
dengan membuat pondok dan perkebunan baru. Mungkin mereka itulah yang kalian
cari”.
Si kakek
tak sabar lagi lalu bertanya : “ Kalau demikian kisahnya memang tidak salah
lagi, itu adalah orang tua yang kami cari-cari sampai kini. Bisakah kakek
membantu kami mengantarkan ke sebrang ?”
Kakek itu tersenyum seraya berkata: “ Kakek
ini sudah tua benar,tak kuat lagi mendayung.Kalau kalian ingin jua menyusul, pakailah perahu kakek yang ada di
sungai itu .”
Kakak-beradik
itupun memberanikan diri untuk membawa perahu itu . Setelah mengucapkan terima
kasih mereka pun pergi hendak menyebrangi sungai.
Di tengah
sungai yang deras arusnya, beberapa kali
perahu mereka terputar-putar, karena tak tahu bagaimana harus mengemudikannya.
Setelah larut beberapa rantauan akhirnya sampai jualah mereka ke sebrang.
Perahu segera ditambatkan di dalam sebuah anak sungai. Kemudian mulai lah
mereka mencari sambil mengingat petunjuk
yang telah di berikan oleh kakek tadi. Kira-kira dua hari lamanya berjalan dengan perut kosong
, barulah mereka menemui ujung dari sebuah dusun yang penduduknya amat jarang
sekali .
Di tempat
yang agak terpencil pasda bagian ujung dusun itu terlihatlah sebuah pondok yang
baru di bangun. Perlahan-lahan mereka mendekati pondok itu sambil memperhatikan
keadaan kalau-kalau terlihat tanda yang yang menunjukan bahwa pondok itu adalah
tempat orang tua mereka. Dengan perasaan cemas dan ragu si kakak mulai menaiki
tangga pondok sambil memanggil-manggil kalau-kalau ada penghuninya. Mereka sudah memutuskan seandainya pomdok itu
bukan kepunyaan orang tuanya, mereka akan memohon bermalam di situ di samping
minta dikasihi kiranya dapat diberi sia-sia makanan untuk pengisi perut mereka.
Sementara
si kakak menaiki tangga, maka adiknya memperhatikan keadaan di sekitar pondok
itu di antaranya pakaian yang sedang berjemur.
Iapun
teringat pada baju ayahnya yang pernah di jahitnya karena robek terkait diri.
Untuk mendapatkan kepastiaan di dekatinya lah jemuran baju itu dan akhirnya ia
pun yakin , bahwa itu memang baju ayahnya yang dulu juga. Segeralah hal itu di
beritaukan kepada kakaknya yang sedang kebingungan karena tidak mendapat
jawaban dari penghuni pondok. Mendengar
suara adiknya itu tanpa berpikir panjang lagi ia segera menyerbu pintu langsung
masuk ke dalam. Kemudian disusul oleh adiknya sambil membawa baju jemuran tadi.
Mereka menjadi lebih yakin seelah menyaksikan alat-alat kerja , perkakas tidur
serta alat-alat lainnya yang terdapat didalam pondok itu. Karena didorong oleh
rasa lapar yang tak terhingga di
kakakpun memberanikan diri mencari sisa-sisa makanan di pondok itu .
Rupanya
orang tua mereka terburu-buru pergi, sehingga yang tinggal di pondok itu
hanyalah sebuah periuk tembaga kecil ( periuk lepo ) diatas pedapuran , sedang
apinya terus menyala. Airnya kelihatan sengaja di perbanyak dari ukuran biasa,
guna dapat di tinggalkan pergi. Namun isinya tidak lagi berbentuk nasi biasa
tetapi sudah menjadi bubur . Tanpa pikir panajng lagi ia segera melahap nsi
bubur yang panas sepuas-puasnya .Adiknya didalam agak curiga kepada si kakak
lalun segera menyusul ke ruang dapur. Melihat itu rasa laparpun tak tertahankan
lagi maka tanpa komentar ia mendekat. Melihat isi periuk hampir habis dan takut
kalau-kalau tidak kebagian , nasi bubur itupun di sambarnya lalu dengan
periuknya sekaligus , disaksikan kakaknya sambil ternganga keheranan-heranan
tak dapat marah. Apa hendak dikata kini, karena bubur yang panas itu
menyebabkan panas seluruh badan mereka naik tak terhingga. Dalam keadaan tak
karuan demikian , keduanya egera lari kesana-kemari hendak mencari sungai.
Setiap pohon pisang yang mereka temui dikiri kanan jalan menuju sungai,
berganti-ganti di peluk mereka. Pohon-pohon pisang itu pun menjadi layu .
Ketika mereka dapat menemukan sungai , maka mereka pun terjun ke dalamnya .
Hampir bersamaan dengan itu, penghuni pondok yang ternyata memang benar orang
tua mereka sendiri , datang dan terkejut melihat pohon – pohon pisang didepan
pondok menjadi hangus dan layu .
Sebenarnya
orang tua mereka itu baru pulang dari tempat tetangga yang saat itu mendapat
kecelakaan, sehingga kepergiannya sangat tergesah-gesah. Sang istri lupa pada
periuk tembaga yang masih di atas pedapuran berisi nai bubur permintaan
suaminya. Orang tua mereka karena itu,
terperanjat tatkala naik ke pondok di mana terdapat bungkusan dan dua
buah mandau, yang setelah diteliti ternyata adalah milik kedua anaknya sendiri
. Sang istri terus memeriksa keadaan pondok hingga pedapuran . Di lihatnya
periuk lepo yang di tinggalkan diatas
api sudah hilang, lalu di beritahukan kepada suaminya. Karena itu mereka segera
turun dari pondok terus mengikuti jalan menuju sungai. Tanaman pisang dikiri
kanan jalan pun pada hangus dan layu.
Setelah
sampai di tepi sungai terlihatlah oleh mereka dua benda bergerak kesana kemari
sambil menyemburkan air dan di atas penahan batang tertinggal kumpulan rambut
manusia. Pikiran sang suami teringat pada rentetan kejadian yang mungkin sekali
ada hubungannya dengan keluarga. Ia lebih terperanjat karena tiba-tiba istrinya
sudah tidak berada di sisinya lagi. Rupanya menghilang secara menggaib.
Kini
sadarlah sang suami bahwa istrinya bukanlah ketururan manusia biasa. Semenjak
perkawinan mereka dahulu,memang istrinya tidak mau diketahui asal usul keturunannya.
Tak lama
berselang orang-orang pun berdatangan hendak menyaksikan benda hidup yang
bergerak kian kemari ditengah sungai sambil sekali-sekali muncul menyemburkan
air keatas. Semenjak itulah masyarakat yang berada disekitar tempat itu
memperkirakan, Bahwa air semburan itu panas, Sehingga ikan yang terkena akan
mati dibuatnya.Demikianlah akhirnya benda yang menyembur-nyemburkan itu disebut
dewasa ini oleh banyak orang ikan pasut dan ikan pesut oleh suku kutai atau
ikan bawoi oleh suku pedalaman Mahakam.
Ikan ini
menpunyai pernapasan melalui paru-paru, mengembangkan keturunan dengan cara
beranak (melahirkan) mempunyai mulut lengkap dengan gigi , lidah , lobang
hidung , lobang telinga dan mata , kemudian mempunyai alat kelamin seperti
manusia , baik yang jantan maupun yang betina.Sebagai kaki adalah sirip ekor
yang bentuknya sedemikian rupa, sedang sebagai pengganti tangan adalah sirip
dadanya.
Adapun
manfaat yang dapat diambil oleh penduduk dewasa ini khususnya para nelayan
ialah antara lain :
1. Dibeberapa
daerah pedalaman Mahakam,daging ikan pasut ini dapat dimanfaatkan untuk
dijadikan umpan dari sejenis alat penangkap ikan, yaitu alat sodok. Biasanya
ikan yang didapat dengan menggunakan daging ini akan lebih banyak dari pada
menggunakan bahan lainnya;
2. Sebagai
petunjuk, Bahwa apabila disuatu perairan banyak terdapat ikan pasur, menandakan
disitu banyak ikannya. Perairan itu sendiri pasti agak dalam, Sehingga ikan
yang berada disitu menjadi liar dan sulit ditangkap.
Justru itu para nelayan dapat dicegah
mengalihkan arah perahunya berusaha kelain tempat;
3. Sebagai
petunjuk apabila ikan pesut di sungai mahakam mudik sambil sekali-kali
menyemburkan air keatas, itu menandakan air akan naik pasang dan menjadi dalam
4. Ada pula yang memanfaatkan hati ikan
pasut sebagai obat penyakit kusta.
Disamping
manfaat seperti tersebut diatas , maka berdasarkan kepercayaan terdapat pula
akibat-akibat antara lian :
1. Bila
terkena semburan ikan pesut dapat menyebabkan penyakit kulit terkelupas,
Misalnya penyakit kurap;
2. Barang
siapa membunuh ataupun mengganggu ikan pasut, orang itu akan mendapat sial
dalam beberapa tahun lamanya;
3. Ikan
pasut umumnya menjadi penghuni daerah muara sungai atau tempat bertulak
(pusaran air).Hal ini disebabkan,Sewaktu belum menjadi pasut, ketika meminjam
perahu, Sang kakek telah berpesan, bahwa perahunya harus dikembalikan jangan
sampi hilang. Namun dengan tidak disengaja perahu itu telah hanyut dibawa arus
entah kemana. Itulah sebabnya setelah menjadi pasut ia sering mendiami daerah
muara atau tempat pusaran air dengan maksud mencari perahu tersebut kalau-kalau
berada disitu.
4. Kepala
ikan pasut itu licin, tidak berambut seperti manusia , ini disebabkan karena
sewaktu dahulu akan tejun keair rambut-rambut mereka yang panjang tertinggal
dipenahan (Baji) batang yang ada disitu.
Demikianlah
hingga saat ini pasut yang sering timbul disungai mahakam itu, oleh masyarakat
daerah kabupaten kutai dikenal berasal dari dua orang bersaudara lelaki dan
perempuan yang setelah memeluk batang pisang kemudian terjun keair akibat makan
nasi bubur yang panas sekali didalam priuk llepo.
****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar