ETNOGRAFI DAYAK DI KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA
KALIMANTAN TIMUR
I. ASAL MASYARAKAT
DAYAK di KUTAI KARTANEGARA
A. Asal Masyarakat Dayak di Kalimantan
Dayak atau Daya
adalah suku-suku asli yang mendiami Pulau Kalimantan, lebih tepat lagi adalah
yang memmiliki budaya terrestrial (daratan, bukan budaya maritime). Sebutan ini
adalah sebutan umum karena orang Daya terdiri dari beragam budaya dan bahasa.
Dalam arti sempit, Dayak hanya mengacu kepada suku Ngaju (rumpun Ot Danum) di
Kalimantan Tengah, sedangkan arti yang luas suku Dayak terdiri dari atas 6
rumpun suku. Suku Bukit di Kalimantan Selatan dan Rumpun Iban diperkirakan
merupakan suku Dayak yang menyeberang dari pulau Sumatera. Sedangkan suku Maloh
di Kalimantan Barat diperkirakan merupakan suku Dayak yang datang dari pulau Sulawesi.
Ada banyak pendapat
tentang asal-usul orang Dayak. Sejauh ini belum ada yang sungguh memuaskan.
Pendapat umumnya menempatkan orang dayak sebagai salah satu kelompok suku asli
terbesar dan tertua yang mendiami pulau Kalimantan.
Gagasan (penduduk asli) ini didasarkan pada teori migrasi penduduk ke Kalimantan. Bertolak dari pendapat itu, diduga nenek
moyang orang Dayak berasal dari beberapa gelombang migrasi. Gelombang pertama
terjadi kira-kira 1 juta tahun yang lalu tepatnya pada periode
Interglasial-Pleistosen. Kelompok ini terdiri dari ras Australoid (ras manusia
prehistoris yang berasal dari Afrika). Pada zaman Preneolitikum, kurang lebih
40.000-20.000 tahun lampau, datang lagi kelompok suku semi nomaden (tergolong
manusia modern, Homo sapiens ras Mongoloid).
Penggalian
arkeologis di Niah-Serawak, Madai dan Baturong-Sabah membuktikan bahwa kelompok
ini sudah menggunakan alat-alata dari batu, hidup berburu dan mengumpulkan hasil hutan dari satu tempat ke
tempat lain. Mereka juga sudah mengenal tehknologi api. Kelompok ketiga datang
kurang lebih 5000 tahun silam. Mereka ini berasal dari daratan Asia dan tergolong dalam ras Mongoloid juga. Kelompok ini
sudah hidup menetap dalam satu komunitas rumah komunal (rumah panjang) dan
mengenal tehnik pertanian lahan kering (berladang). Gelombang migrasi itu masih
terus berlanjut hingga abad 20. Menurut Prof.Lambut dari Universitas Lambung
Mangkurat, secara rasial, manusia dayak dapat dikelompokkan menjadi: Dayak
Mongoloid, Dayak Malayunoid, Dayak Austrolo-Melanosoid, dan Dayak Heteronoid.
Teori……………
B. Masyarakat
Dayak pada Masa Kini
Dewasa ini suku
bangsa Dayak terbagi dalam enam rumpun besar, yakni Kenyah-Kayan-Bahau, Ot
Danum, Iban, Murut, Klemantan dan Punan. Keenam rumpun itu terbagi lagi dalam
kurang lebih 405 sub-rumpun. Dengan sedikit berbeda, Tjilik Riwut
mengklasifikasikan mereka dalam 7 kelompok besar yakni Dayak Ngaju, Iban,
Klemantan, Apu Kayan, Murut, Punan dan Ot Danum. Dari tujuh kelompok besar ini
dibagi menjadi 18 suku sedatuk, dari 18 suku sedatuk terbagi lagi kedalam 405
suku kekeluargaan. Dayak Ngaju merupakan suku Dayak terbesar dan terkemuka
diantara semua suku yang ada di Kalimantan.
Dayak Ngaju ini memiliki 4 suku sedatuk yakni Dayak Ngaju, Maanyan, Dusun dan
Lawangan (Riwut, 1993). Meskipun terbagi dalam ratusan sub rumpun, kelompok
suku dayak memiliki kesamaan cirri-ciri budaya yang khas. Ciri-ciri tersebut
menjadi factor penentu apakah suatu subsuku di Kalimantan
dapat dimasukkan ke dalam kelompok dayak. Ciri-ciri tersebut adalah rumah
panjang, hasil budaya material seperti tembikar, mandau, sumpit, beliung
(kampak); pandangan terhadap alam, mata pencaharian (system perladangan), dan
seni tari.
Perkampungan dayak
biasanya disebut lewu/lebu, sedangkan
perkampungan kelompok suku-suku Melayu disebut benua/banua. Di kecamatan-kecamatan di Kalimantan yang merupakan
wilayah adat Dayak dipimpin seorang Kepala Adat yang biasanya terdiri satu atau
dua suku Dayak yang berbeda, tetapi di daerah perkampungan suku-suku Melayu
tidak ada system kepemimpinan adat kecuali raja-raja lokal.
C. Asal Masyarakat Dayak di Kutai Kartanegara dan Pesebarannya
Penelitian etnografi
di Kabupaten Kutai Kartanegara difokuskan pada sembilan kecamatan dimulai dari
pesisir sampai daerah pedalaman berhasil mengamati enam suku dayak yang tinggal
di sembilan kecamatan di Kab. Kukar. Keenam suku dayak ini sementara ini
dianggap termasuk dalam komunitas yang cukup banyak ditemukan di daerah Kukar
sehingga dapat dianggap mewakili keseluruhan komunitas Dayak di daerah ini.
Sembila kecamatan yang menjadi lokasi survey merupakan daerah yang dianggap
cukup banyak dihuni oleh komunitas dayak didaerahnya. Keenam suku dayak tersebut
adalah:
1. Dayak
Benuaq, di desa Pondok Labu, Kec. Tenggarong dan Desa Perian, Kec. Muara
Muntai.
2. Dayak
Kenyah, di Desa Lung Anai, Kec. Loa Kulu, Desa Lekaq Kidau, Kec. Sebulu, Desa
Tukung Ritan dan Ritan Baru, Kec. Tabang dan Desa Sungai Bawang, Kec. Muara
Badak.
3. Dayak
Tunjung, di Desa Nangka Tujuh, Kec. Kota Bangun dan Desa Teluk Bingkai, Kec.
Kenohan
4. Dayak
Punan, di Desa Muara Belimau, Kec. Tabang
5. Dayak
Bahau di Muara Keba, Kec. Tabang, dan
6. Dayak
Modang di Desa Long Bleh, Kec. Kembang Janggut.
D. Asal Dayak Benuaq di Kabupaten Kutai Kartanegara
Sampai saat ini
belum ada data yang pasti berkenan dengan asal usul orang Dayak Benuaq, namun
demikian dari mitos yang dituturkan oleh tokoh adat suku Benuaq dapat
diperkirakan bahwa mereka merupakan penduduk asli Pulau Kalimantan. Semula
mereka berasal dari suku Lawangan di Tiwai (Muara Teweh) di Kalimantan Tengah.
Lalu secara bertahap mereka pindah dan mendiami wilayah sekitar Jempang antara
lain Desa Tanjung Isuy, Tanjung Jan, Tanjung Zone, Perigi, Mancong Lembonah,
Muara Ohong, Pentat, Muara Nayan dan Pulau Lanting (Bonoh, 1984/85). Sebagian
dari mereka yang tinggal di Tanjung Isuy, Muara Nayan kemudian berpindah
kembali untuk kedua kalinya ke daerah Pondok Labu pada tahun 1966. Jumlah
keluarga gelombang pertama yang pindah pada waktu itu sekitar 20 KK. Kemudian
menyusul perpindahan masyarakat Dayak Benuaq ke Pondok Labu gelombang kedua
pada tahun 1979 sebanyak 4 KK. Sekarang di desa Pondok Labu terdapat sekitar
150 KK Dayak Benuaq.
Perpindahan Suku
Dayak dari Kalimantan Tengah ke Kalimantan Timur ini selalu mengikuti alur
sungai sementara sebagian masyarakat yang berasal dari ras ot-Danum menyusuri
Sungai Mahakam yang kemudian dikenal dengan suku Dayak Lawangan atau Lewangan
atau Benuaq. Dari hulu sungai Mahakam kemudian kemudian menyebar ke daerah
sungai Ratah dan sebagian menetap di daerah Muara Ratah, sebagian lainnya
menyusur hilir sungai sampai ke Muara Pahu. Dari Muara Pahu, suku Dayak Benuaq
ini kemudian menyebar ke arah pedalaman melalui sungai Kedang Pahu. Di daerah
Kedang Pahu ini masih banyak daerah-daerah tempat tinggal orang Dayak Benuaq
yaitu di Tanjung Laong, Muara Pagar, Muara Baroh, Teluk Tempudau, Tanjung
Loangan dan Tanjung Palang (Bonoh, 1984/1985: 7). Komunitas Dayak Benuaq kini
ditemukan pula di Desa Perian – Kecamatan Muara Muntai sebuah desa yang hamper
berbatasan dengan Kab. Kutai Barat. Masyarakat Dayak di desa Perian saat ini
sebagian besar telah memeluk agama Islam meskipun masih ada komunitas yang
melaksanakan upacara ritual leluhurnya.
Persebaran komunitas
Dayak Benuaq pada masa sekarang antara lain terdapat di wilayah Kutai Barat
yaitu di daerah Bongan serta di wilayah Kutai Kartanegara terdapat di daerah
Jahab, Pondok Labu dan Sanggulan.
Alasan utama
kepindahan komunitas ini keluar dari daerah asal mereka karena ketika itu
terjadi penebangan hutan besar-besaran dan mengganggu kehidupan mereka.
Pemimpin rombongan mereka ketika itu adalah Bapak Burhat, yang ketika tiba
didaerah Pondik Labu kemudian diangkat menjadi kepala adat. Atas kesepakatan
bersama mereka kemudian mendirikan lamin sebagai tempat tinggal di tempat
tersebut. Pada tahun 1984, tiang pertama lamin mulai berdiri.
Menurut pendapat
Mollinckrodt yang dikutip oleh Yohannes Bonoh, suku Dayak yang ada di
Kalimantan Timur ini adalah berasal dari Kalimantan Tengah, beliau mengatakan
bahwa suku Dayak Lawangan termasuk dalam ras ot-Danum yang berasal dari
Kalimantan Tengah, yaitu hulu sungai besar seperti Sungai Kahayan, Sungai
Ruangan, Sungai Barito dan Sungai Kapuas. Dengan demikian, dapat diambil
kesimpulan bahwa suku Dayak Benuaq yang juga dikenal sebagai suku Dayak
Lawangan juga berasal dari Kalimantan Tengah (Bonoh, 1984/1985: 4).
Seorang ahli (Duman)
mengatakan bahwa orang Benuaq sesungguhnya merupakan salah satu sub suku bangsa
Dayak yang memiliki tradisi dan bahasa sendiri, orang benuaq termasuk dalam
kelompok suku Dayak ot Danum. Selain menetap di wilayah tersebut, sebagian yang
lain menyebar dan menetap di beberapa bagian wilayah Kabupaten Kutai
Kartanegara. Orang Dayak Benuaq yang menetap di Desa Pondok Labu tersebut,
dapat dikatakan masih mendukung kebudayaan atau tradisi asli mereka, yang
ditandai dengan adanya rumah panjang “Lamin” yang ditinggali bersama lebih dari
satu keluarga. Lamin tadi, selain dari tempat tinggal, juga berfungsi sebagai
pusat kegiatan adat, penyimpanan benda-benda pusaka, bahkan kini menjadi tempat
berkumpul berbagai kalangan masyarakat yang memerlukan jasa konsultasi dengan
tokoh adat Benuaq.
Sekalipun hidup
terpencar di berbagai wilayah, akan tetapi budaya dan bahasa yang mereka dukung
tetap sama, kalaupun ada perbedaan tidak lebih sebagai varian budaya, pengaruh
lingkungan tempat mereka menetap. Dengan demikian, dalam berbagai peristiwa
adat mereka berkumpul dengan mendukung symbol-simbol budaya yang serupa.
E. Asal Dayak Kenyah di Kabupaten Kutai Kartanegara
Suku Dayak Kenyah
termasuk dalam salah satu dari enam rumpun suku Dayak yang besar di Kalimantan yakni rumpun Dayak Kenyah-Kayan-Bahau. Atau
termasuk dalam rumpun Dayak Apo Kayan dalam tujuh rumpun b esar menurut
klasifikasi Tjilik Riwut. Pada awalnya Suku Dayak Kenyah menetap di Apo Kayan,
sebuah wilayah yang identik dengan tanah yang paling tinggi, di Kalimantan
Timur paling Timur. Secara administrative wilayah tersebut berada di perbatasan
antara Propinsi Kalimantan Timur dengan Serawak Malaysia.
F. Asal Dayak Tunjung di Kabupaten Kutai Kartanegara
Sebenarnya hingga
kini belum ada data yang akurat tentang darimana asal usul Orang Dayak Tunjung
di Kalimantan Timur. Sebagian daripada ahli yang menulis, menyatakan bahwa
mereka adalah penduduk asli yang menetap disekitar Danau Jempang. Akan tetapi,
tokoh adap yang tinggal di Desa Nangka Tujuh, Kecamatan Kota Bangun, Kab.Kutai
Kartanegara bercerita tentang darimana mereka berasal. Konon nenek moyang orang
Tunjung mendiami sebuah wilayah di Kecamatan Bigung Kabupaten Kutai Barat.
Karena komunitas
mereka semakin bertambah, diputuskan untuk mencari daerah baru agar hidup
mereka berkembang dan semakin maju. Sebagian ada yang berjalan mnuju wilayah Kalimantan
Timur, dan singgah di Enggelam (sekarang Gelam), sebuah wilayah yang berada
disekitar Danau Melintang dan Danau Semayang. Dari Enggelam, mereka melanjutkan
perjalanan keberbagai daerah seperti Belayan, Rajak, Rimba Ayu dan Nangka Tujuh
hingga sekarang. Di Desa Nangka Tujuh orang Tunjung membangun pemukiman
tersendiri dan mengembangkan tradisi yang diwarisinya dari leluhur mereka.
Masyarakat Dayak Tunjung yang menetap di Desa Teluk
Bingkai umumnya merupakan kelompok masyarakat Dayak yang dating dari daerah ulu
(sekitar Danau Jempang) secara berkelompok. Ketika mereka sampai di Teluk
Bingkai maka secara otomatis pemimpin rombongan diangkat menjadi pimpinan
mereka dalam satu desa yang disebut sebagai benua. Pemimpin adapt bergelar
merhajaq dan semua sanak keluarganya disebut hajaq yang berarti golongan bangsawan. Kepala adapt dibantu oleh pengkawaq yang memiliki bawahan yang
disebut mantiq tatau yang mempunyai
tugas berhubungan langsung dengan orang kebanyakan. Selain itu dalam organisasi
social mereka mengenal pula pemasuk yang jabatannya sebagai panglima perang dan
pemancarak yang bertugas mengelola adapt. Dalam susunan formal pemerintahan
tetap dipegang oleh kepela desa namun jika terkait dengan adapt kepala desa
akan selalu berkomukiasi dengan kepala adapt dan tokoh masyarakat.
G. Asal Dayak Punan di Kabupaten Kutai Kartanegara
Pada awalnya orang
Punan dikenal sebagai salah satu suku bangsa Dayak di Kalimantan Timur yang
sangat nomadik, artinya bukan tata caranya berladang saja yang selalu berpindah-pindah,
tetapi juga tempat tinggalnya. Dengan demikian, ada kesulitan untuk mendapatkan
data dan informasi tentang kehidupan mereka, termasuk menetapkan wilayah
administrative dimana mereka tinggal. Secara umum mereka mempunyai cirri bahwa
mereka tidak menanam padi, tidak makan nasi, hanya hidup dari hasil buruannya,
serta hasil ramuan buah-buahan atau tanaman tertentu yang bias dimakan. Konon
merekapun sangat sulit untuk didekati. Beruntung, bahwa penelitian ini telah
menemukan komunitas orang Punan yang berdomisili di Desa Muara Belinau,
Kecamatan Tabang. Apa yang dijadikan cirri umum diatas, ternyata kini sudah
berubah, karena mereka sudah hidup sebagaimana kelompok manusia lainnya, makan
nasi, bahkan sudah hidup membaur dengan berbagai komunitas yang ada. Menurut
keterangan kepala desanya, orang Punan berada di desa tersebut sejak tahun
1978, yakni ketika Departemen Sosial melalui Dinas Sosial Kab. Kutai
Kartanegara melakukan pencatatan dan memukimkan orang-orang Dayak yang masih
tinggal di hutan pada sebuah areal pemukiman khusus.
Orang Punan yang
kini menempati Desa Muara Belimau masing-masing berasal dari lima wilayah,
yakni Muara Tubok, Muara Keba, Muara Salung, Muara Tik dan Muara Belimau.
Kelima wilayah itu berada di sungai Telen yang bermuara di Sungai Belayan.
Pemukiman pertama adalah di Muara Sungai Atan, kemudian pindah lagi ke Muara
Belinau di sekitar Sungai Lunuk.
Kisahnya berawal
ketika orang Kutai banyak yang bekerja di hutan untuk mengambil kayu, dammar,
rotan, dan sebagainya. Untuk menjaga keselamatan hutan mereka mengangkat orang
Punan sebagai orang tua angkat. Ketika itu juga terjadi saling tukar menukar
barang-barang yang diperlukan, misalnya sembako dengan dammar dan lainya.
Melihat dan
menyadari kehidupan orang Punan yang sangat sulit, bahkan serba kekurangan,
pemerintah kecamatan memikirkan nasib naka-anak Punan yang menderita sakit.
Mereka yang menderita sakit lalu dibawa ke daerah Sungai Lunuk, Tabang untuk
mendapatkan pengobatan. Setelah sembuh, banyak diantara mereka yang tidak kembali
ke hutan dan menetap di Sungai Lunuk. Dilain pihak, para orang tua yang anaknya
berada di Sungai Lunuk merasa rindu ingin bertemu anak-anaknya, kemudian mereka
berkunjung dan akhirnya mereka pun menetap di sungai Lunuk. Perpindahan
tersebut berlangsung selama dua bulan dan sebagai kepala adapt pertama
diangkatlah Bapak Jahang (almarhum).
H. Asal Dayak Bahau di Kabupaten Kutai Kartanegara
Dayak Bahau
merupakan salah satu kelompok masyarakat Dayak yang diduga merupakan pecahan
dari Dayak Tunjung, yang lama kelamaan menjadi sebuah kelompok yang berbeda
karena mengembangkan kebudayannya sendiri. Kini Dayak Bahau terbagi dalam tiga
subkelompok yakni Bahau Modang, Bahau Busang dan Bahau Saq. Ketika subkelompok
ini dapat dibagi lagi menjadi 14 kelompok yang lebih kecil lagi (Melalatoa
1995: 80). Masyarakat generasi tua masih jelas cirri-ciri fisik kedayakannya
seperti pemakain tato dan telinga panjang. Tradisi ini masih dapat dilihat pada
suku Dayak Kenyah, Bahau dan Kayan (Maunati 2006:149).
Orang Bahau yang menetap
di Muara Keba, pada dasarnya hanya sebagian kecil saja dari kelompok Bahau
keseluruhan yang menyebar diberbagai kecamatan dalam wilayah Kab. Kutai
Kartanegara. Menurut legenda yang hidup dikalangan orang Bahau, nenek moyang
mereka berasal dari Sungai Bram di Brunai. Karena ada peperangan dengan orang
Iban, orang Bahau kemudian pindah menuju sungai Kayan atau Apo Kayan dan
sebagain lagi ke hulu mahakam.
Dengan alasan untuk
mencari kehidupan yang lebih baik beberapa lama kemudian sebagian dari mereka
pindah lagi ke Long Merah, hingga sampai di sungai Belayan Muara Keba pada
tahun 1995. Menurut cerita, perjalanan yang mereka tempuh memakan waktu hingga
dua hari dua malam. Setiap rombongan yang berimigrasi jumlahnya bervariasi,
namun tidak kurang dari 40 orang. Perjalanan yang mereka tempuh, selain melalui
hutan belantara, juga disepanjang aliran sungai hingga tidak jarang anggota
rombongan yang menderita sakit. Selain karena alas an diatas, berkembang juga
cerita bahwa perpindahan orang Bahau ke Muara Keba karena didaerah ini sejak
tahun 1960 menjadi penghasil emas yang besar.
Kini mereka hidup
berbaur dengan sukubangsa lainnya dan mengembangkan kerukunan hidup yang baik,
karena banyak diantara mereka yang menikah antar budaya. Sekalipun demikian,
identitas Bahau tetap dipertahankan, bukan saja dalam berbahasa, tetapi juga
dalam melestarikan tradisi nenek moyangnya.
Masuknya agama
nasrani (Katolik dan Protestan) dalam kehidupan orang Bahau, tidak serta merta
menghapuskan jejak tradisi lama yang mereka dukung. Agama local Kaharingan,
sekalipun tidak terus terang dilaksanakan, dalam kenyatannya tetap mewarnai
kehidupan orang Bahau.
I. Asal Dayak Modang di Kabupaten Kutai Kartanegara
Masyarakat suku
Modang tinggal di desa Long Bleh, kecamatan Kembang Janggut merupakan desa
tertua yang ada di wilayah Belayan. Kemudian desa ini mengalami pemekaran dan
saat ini di wilayah Belayan terdapat tiga desa tempat komunitas Dayak Modang.
Menurut penuturan
kepala adapt yang informasinya disampaikan oleh orang tuanya, Desa Long Bleh
terbentuk pada tahun 1945 bertepatan dengan berkibarnya merah putih yang
pertama kalinya. Kini tiang bendera tersebut berdiri utuh dan mengingatkan
mereka pada saat penting yakni Proklamasi Kemerdekaan
RI. Asal-usul orang Modang
sendiri konon dari Sungai Kejun Besar di daerah Apo Kayan. Sebelum tahun 1945,
secara berkelompok orang Modang pindah dengan berjalan kaki menyusuri sungai
Mahakam Dari hulu. Pertama, mereka sampai di daerah seberang Long Bleh Haloq,
dan kemudian tahap demi tahap membuka daerah baru di tempat yang kini menjadi
hunia orang Modang yakni Long Bleh (Modang). Pemukiman orang Modang di wilayah
Kembang Janggut ini dibedakan menjadi dua, pertama mereka yang menetap di desa
Long Bleh Modang, dan pemukiman lainnya adalah di Long Bleh Malih.
Perpindahan mereka
dari hulu mahakam hingga ke pemukiman sekarang tidak berbeda dengan orang Dayak
lainnya, yakni ingin merubah hidup menjadi lebih baik. Sekalipun tanah di hulu
Mahakam cukup subur, akan tetapi mereka sulit memperoleh bahan pokok hidup
lainnya seperti pakaian, atau bahan makanan. Pendidikan, juga menjadi salah
satu alas an kepindahan mereka. Kini di tempat yang baru, mereka bias
mengembangkan kehidupan dengan berbagai sarana yang bisa dimanfaatkan.
II. RELIGI dan MITOS (penjelasannya sabar ya...)
A.
Religi dan Mitos
Masyarakat Dayak Benuaq
B.
Religi dan Mitos
Masyarakat Dayak Tunjung
C.
Religi dan Mitos
Masyarakat Dayak Kenyah
D.
Religi dan Mitos
Masyarakat Dayak Modang
E.
Religi dan Mitos
Masyarakat Dayak Punan
F.
Religi dan Mitos
Masyarakat Dayak Bahau
III. SISTEM ORGANISASI
SOSIAL (penjelasannya sabar ya....)
IV. SISTEM KEKERABATAN (penjelasannya sabar ya...)
A. Sistem Kekerabatan Dayak Benuaq
B. Sistem Kekerabatan Dayak Tunjung
C. Sistem Kekerabatan Dayak Kenyah
D.
Sistem Kekerabatan Dayak Modang
E. Sistem Kekerabatan Dayak Punan
F. Sistem Kekerabatan Dayak Bahau
V. POLA SUBSISTENSI
VI. SISTEM ILMU
PENGETAHUAN
Sistem
ilmu pengetahuan masyarakat Dayak terkait dengan lingkungan dimana mereka
tinggal yang sangat dekat dengan alam. Ada
beberapa aspek ilmu pengetahuan yang dapat didokumentasikan antara lain;
Arsitektur rumah lamin, obat tradisional dan kuliner. Ketiga aspek ini amat
erat hubungannya dengan keseharian mereka, dan diwariskan secara turun temurun
dari generasi ke generasi.
Hampir
seluruh komunitas suku Dayak pada awalnya memiliki rumah lamin sebagai tempat
tinggal mereka. Pada masa dahulu pembuatan lamin ini diperuntukkan untuk satu
kelompok suku dayak sehingga dibuat berukuran sangat besar tergantung jumlah
komunitas di dalam suku tersebut. Tidak heran jika di satu lamin ada yang
berukuran mulai dari 30 meter sampai 100 meter. Lamin mereka yang bangun memiliki
tiang antara 3-4 meter dari permukaan tanah. Tingginya lamin ini selain
berfungsi untuk menghindari binatang buas juga dimaksudkan mejaga keamanan dari
serangan musuh. Dalam lamin ini terdapat ruang/kamar-kamar yang disusun
berderet, setiap kepala keluarga memiliki satu kamar selain dapur pada bagian
ujung dari lamin. Lamin ini memiliki tangga naik yang jumlahnya bervariasi,
namun untuk menerima tamu menggunakan tangga utama yang biasanya terletak pada
bagian paling tangah dari lamin. Selain dapur ada pula ruang public yang
digunakan untuk menyimpan senjata atau alat-alata berladang dan peralatan
upacara. Di halaman bagian depan rumah binatang yang akan dikorbankan pada saat
upacara adat. Selain itu terdapat pula rumah-rumahan kecil yang berfungsi sebagai
rumah pemujaan.
Adapun
peralatan rumah lamin yang umum ditemukan adalah tikar, bantal dan selimut yang
dibuat sendiri selain itu beberapa benda yang sering disimpan di dalam lamin
adalah guci, gong, dan tanduk kerbau sebagai bagian dari perhiasan rumah. Namun
kini pola hunian masyarakat Dayak tampaknya mulai berubah. Mereka tidak harus
tinggal di dalam satu lamin lagi melainkan rumah rumah hunian yang mereka buat
untuk satu keluarga. Keluarga baru dapat saja tinggal sementara di rumah
keluarga wanita/pria sampai mereka mampu untuk membuat rumah sendiri. Beberapa
komunitas dayak sudah tidak memmbangun Lamin lagi atau ada pula yang
menggantinya dengan rumah adat yang sebagian besar mengambil alih fungsi lamin
pada masa lalu seperti yang ditemukan pada Dayak Kenyah di Ritan Baru, Tabang.
Meskipun ada pula yang tetap membangun lamin namun baik bentuk dan ukurannya
tidaklah sebesar lamin-lamin masa lalu.
Berikut
beberapa aspek arsitektur lamin dan rumah adat yang ditemukan di Kabupaten
Kutai Kartanegara
a. Arsitektur Lamin
Dayak Benuaq
Dalam
bahasa Dayak Benuaq, lamin disebut sebagai lou
yang berarti rumah panjang berpetak-petak. Lamin disebut rumah panjang karena
ada yang mencapai puluhan bahkan ratusan meter panjangnya. Lamin dibuat
berdasarkan kebutuhan penghuninya. Semakin banyak penghuni lamin, maka akan
semakin panjang lamin itu dibuat (Haris Sukendar dkk,2006:94-95).
Lamin di
Pondok Labu merupakan rumah panggung dengan panjang keseluruhan sekitar 36
meter dan lebar 10 meter. Lamin sebagai rumah utama memiliki panjang sekitar 25
meter. Tinggi lantai lamin dari permukaan tanah 2 meter, dengan jumlah kamar 6
kamar tidur. Lamin ini juga dilengkapi dengan 2 dapur dan 2 kamar mandi yang
terletak disebelah kiri dan kanan bangunan lamin. Lamin ini dikategorikan sebagai
bangunan asli orang Dayak karena benar-benar difungsikan sebagai rumah tinggal,
tempat berkumpul, dan tempat melakukan segala aktifitas komunitasnya (Haris
Sukendar dkk,2006:95).
Pada
bagian depan lamin terdapat 8 tiang belontankng
yang merupakan tiang berukir yang dipergunakan sebagai tempat mengikat hewan
yang akan dipersembahkan dalam upacara adat, seperti kerbau. Selain itu pada
bagian depan rumah juga terdapat balai
(tempat meletakkan sesaji). Tiang rumah yang digunakan untuk menopang lamin ini
ada 12 tiang, yang ditempatkan berjajar 6 tiang di bagian depan dan 6 tiang di
bagian belakang lamin. Tiang-tiang tersebut terbuat dari kayu ulin dengan
diameter kurang lebih 20 cm. Pada bagian atas tiang rumah yang terletak di
bagian depan lamin masing-masing terdapat dua tanduk kerbau, yang merupakan
kerbau persembahan pada upacara adat.
Terdapat 3
tangga yang dapat dipergunakan untuk naik ke lamin. Pada bagian tengah terdapat
tangga utama (tukar dusutn), berupa
tangga yang terbuat dari papan kayu dengan 8 anak tangga. Tukar dusutn ini berukuran lebar 1 meter dan jarak antara anak
tangga kurang lebih 20 cm. Dua tangga lainnya terletak dibagian kiri dan kanan
tukar dusutn. Tangga (tukar) ini masing-masing terbuat dari kayu ulin utuh
(berupa kayu bulat atau gelondongan), yang dipahat membentuk anak tangga.
Jumlah anak tangga tukar bagian kanan rumah ada 9 anak tangga dan tukar bagian
kiri rumah 10 anak tangga. Pada bagian ujung atas tukar ini dibentuk seperti
kepala manusia.
Pada
bagian depan lamin terdapat 3 pintu masuk dan 4 jendela. Pintu masuk utama (benjawakng) terletak di tengah, tepat
berhadapan dengan tukar dusutn. Benjawakng ini berukuran tinggi 2 meter dan
lemar 90 cm. Sedang 2 pintu yang lain (jawakng) terletak di sebelah kiri dan
kanan pintu utama dengan ukuran yang lebih sempit dari pintu utama, yaitu
tinggi 2 meter dan lebar 80 cm. Keempat jendela pada bagian depan lamin
berukuran sama besar, yaitu tinggi 80 cm dan lebar 60 cm. Pada bagian samping
kiri dan kanan lamin masing-masing terdapat satu pintu dan satu jendela. Ukuran
pintu pada bagian samping lamin adalah tinggi 2 meter dan lebar 80 cm, sedang
ukuran jendela adalah tinggi 80 cm dan lebar 60 cm.
Beberapa
istilah bagian-bagian rumah dalam bahasa Dayak Benuaq:
Tangga : tukar
Tangga
utama : tukar dusut ng
Teras : ketala
Pintu
utama : benjawak ng
Pintu lain : jawak
Ruang
dalam : luang lou
Ruang
santai : botuk
Kamar
tidur : nya oro ok
Kaca
cermin : sermin
Dapur : jayung
Ada
perbedaan istilah yang dipakai oleh masyarakat Benuaq dalam menyebutkan lokasi
hunian mereka antara hunian yang digunakan secara tetap dan lokasi hunia yang
digunalan pada waktu tertentu saja, yakni simpukng
untuk menyebut lokasi hunian yang masih dipergunakan sehari-hari oleh mereka
sebagai tempat tinggal dan tempat berkumpul dan bumut untuk lokasi hunian yang sudah tidak dipergunakan sebagai
tempat tinggal dan berkumpul sehari-hari, jadi mereka hanya mendatangi tempat
tersebut sewaktu-waktu saja, seperti misalnya pada saat musim buah, mereka akan
dating ke lokasi tersebut untuk memanen buah.
Meskipun
terdapat sungai Tenggarong (anak sungai Mahakam) di sebelah utara lamin, namun
lamin dan rumah-rumah penduduk lainnya tidak dibangun mengikuti arah sungai.
Pemukiman masyarakat Dayak Pondok Labu ini terletak dekat sekali dengan jalan
raya maka rumah-rumah penduduk pun dibangun mengikuti arah jalan raya.
Tampaknya adanya perubahan terhadap orientasi arah hadap rumah hunian ini
disebabkan oleh adanya perubahan pola subsitensi dan system transportasi dari
jalur sungai ke jalur darat.
b. Arsitektur Lamin
Dayak Kenyah
Lamin
adat (serapo) masyarakat dayak Kenyah di Desa Lung Anai bukan merupakan lamin
yang dihuni atau didiami oleh warga. Lamin ini hanya berfungsi sebagai tempat
berkumpul dalam melaksanakan upacara-upacara adat atau acara-acara lain yang
melibatkan warga masyarakat Kenyah. Selain itu juga sebagai tempat penyimpanan
barang-barang adat yang merupakan milik bersama seluruh warga desa, seperti
alat-alat musik, barang-barang kerajinan (seni kriya), senjata dan pakaian
beserta perlengkapannya.
Rumah-rumah
yang dihuni oleh maysarakat merupakan rumah tunggal dengan bentuk rumah
panggung (atau mereka biasa menyebut rumah tomgkat). Dalam bahasa Kenyah, rumah
mereka sebut sebagai amin. Rumah
panggung ini tidak terlalu tinggi, jarak antara lantai rumah dengan permukaan
tanah rata-rata hanya sekitar 30-50 cm. Hal ini sudah merupakan suatu perubahan
dan penyesuaian terhadap lingkungan setempat, karena sewaktu mereka masih
tinggal di daerah Apo Kayan, jarak antara lantai rumah dengan permukaan tanah
dapat mencapai 1-2 meter tingginya.
Ukuran
rumah tidak ada ketentuan khusus, namun biasanya sekitar 6x12 meter atau 5x10
meter. Terdapat dua atau tiga kamar dalam satu rumah. Dinding rumah biasanya
menggunakan kayu katan ludang.
Dinding rumah ada yang dicat dengan warna putih atau biru, ada pula yang tidak
diberi cat warna. Tiang atau tongkat rumah menggunakan kayu leban atau kayu
ulun dengan diameter sekitar 15-20 cm.
Atap
rumah bervariasi, ada yang terbuat dari kayu (biasanya kayu payau) yang disebut
sirap, berupa kayu yang dibelah dan ditipiskan dengan parang dengan ketebalan
sekitar 5 mm, ada pula atap rumah yang menggunakan daun-daunan, yaitu daun lame dan daun nanga (mirip dengan
daun pohon aren). Daun-daunan itu disusun berjajar dan dijepit dengan bilah
bamboo. Selain menggunakan sirap dan daun, ada pula rumah yang memakai atap
dari seng, dengan alas an biaya yang lebih murah serta ketahannya lebih lama,
walaupun jika menggunakan atap dari seng, di dalam rumah terasa lebih panas
dibandingkan jika atap rumah menggunakan bahan kayu atau daun.
Kamar
mandi terletak di bagian belakang rumah, biasanya terpisah dari bangunan utama.
Dapur juga berada di belakang rumah, kadangkala terpisah dengan bangunan utama,
kadang berada di dalam bangunan utama, tetapi tetap berada di bagian belakang
rumah. Sebagian besar masyarakat Dayak Kenyah memasak dengan menggunakan tungku
berbahan baker kayu, namun sudah ada pula yang menggunakan kompor minyak tanah,
bahkan ada yang memakai kompor gas.
Bagian-bagian
rumah dalam bahasa Dayak Kenyah di Desa Lung Anai:
Tangga : can
Atap : sapau
Atap
kayu : sirap
Teras : use
Pintu : pamen
Jendela : pa awang
Lantai : asok
Dinding : nding amin
Ruang
tamu : tengkan
Kamar
tidur : tilong
Dapur : dapun
Tungku : atang
Rak
piring : buan kiyut
Piring : kiyut
Gelas
bambu : lebek
Kamar
mandi : lamin sung
Pekarangan : lasan
Kandang : buan
Pada
lamin masyarakat Dayak di Lekaq Kidau memiliki ukuran 15x9 meter dan berdiri
kurang lebih satu meter dari permukaan tanah dan ditopang dengan empat tiang
berdiameter 43 cm yang berdiri kokoh di tengah ruangan. Keempat tiang tersebut
diukir dan dihiasi dengan berbagai bentuk lukisan motif naga dan manusia dalam
posisi berdiri dengan kedua tangan di pinggang. Dinding pembatas antara ruang
depan dengan dinding bagian dalam dihiasi dengan lukisan khas suku Dayak antara
lain berupa berbagai jenis hewan laut (seperti udang dan cumi-cumi), burung
enggang dan tumbuh-tumbuhan. Hiasan dinding yang didominasi oleh warna putih,
kuning dan merah ini menurut mereka melambangkan kesuburan. Pada bagian kiri
bangunan tergantung hiasan berupa burung enggang yang terbuat dari kayu. Burung
enggang merupakan totem khas masyarakat Dayak dan dianggap sebagai jenis burung
yang dikeramatkan.
Selain
menjadi tempat kediaman resmi ketua adat, lamin di desa Lekaq Kidau ini juga
berfunsi sebagai fasilitas public, yakni tempat berkumpul komunitas dayak
Kenyah ketika memperingati hari Natal atau hari-hari besar lain yang berkaitan
dengan system kepercayaan mereka.
Balai
adat masyarakat Dayak Kenyah di desa Ritan Baru dan Tukung, Tabang yang dinamai
lamin Amin Bioq memiliki bentuk cukup unik. Rumah adat ini lebih mirip sebuah
“stadion” dimana pada bagian keempat sisinya bangunan dibuat tempat duduk
bertingkat-tingkat mengelilingi bagian tengah yang berupa lantai tanah. Balai
adat ini tidak memiliki dinding/terbuka dengan atap yang dihiasi oleh patung
berornamen Dayak pada sisi kiri dan kanan pintu masuk tersebut. Rumah adat ini
tidak dihuni, sehingga fungsinya hanya sebagai tempat untuk kegiatan bersama.
c. Kuliner
Kehidupan
masyarakat Dayak yang erat dengan alam tercermin juga dalam aneka kuliner yang
dimilikinya. Sebagai masyarakat peladang, mereka memiliki varitas padi local
yang dibudidayakan sejak dahulu. Makanan utama mereka adalah beras yang dapat
diolah dengan berbagai cara. Mengolah beras menjadi nasi umumnya dilakukan
dengan mengukus beras di dalam rotan atau bamboo atau dibuat dalam bentuki
ketupat. Namun adapula pembuatan nasi yang dimasak dalam bamboo dan dibungkus
dengan daun tebu untuk upacara adat.
Dalam
mengolah sayur-sayuran, masyarakat dayak sangat menggemari sayur yang
menggunakan bumbu serai, laos,
lombok, garam dan terasi. Untuk lauk biasanya ditambahkan berbagai jenis ikan
yang dapat diganti dengan ayam atau daging sapi atau babi.
Berikut beberapa
jenis kuliner pada masyarakat Dayak Benuaq:
1. Lepit Unek (sayur daging babi):
berupa sayur bening, tidak memakai rempah-rempah dan santan. Daging babi
direbus, dibumbui serai, garam dan cabai.
2. Sanga lalu lola: daging
babi diberi bumbu jahe, serai dan garam, direbus sampai kering airnya.
3. Lobat: daging babi beserta kulitnya
direbus, diambil lemak-lemaknya. Lemak atau minyaknya dapat dimanfaatkan juga
untuk menggoreng atau menumis sayuran.
4. Kradakng piak: ayam
dipotong kepalanya, isi perut dan bulunya dibersihkan, dibumbui kemudian
dibakar utuh.
5. Campuran
sayur untuk melengkapi masakan daging babi, kerbau ataupun ayam antara lain
adalah jabau (daun singkong dan umbi singkong), ayak (ubi rambat), ketimun,
kacang panjang, kacang merah, kacang hijau, jagung, cabai merah, cabai rawit,
talas dan terung.
Masayarakat
Dayak Tunjung mengenal berbagai jenis masakan tradisional yang menunya terbuat
dari daging babi, ayam dan ikan.
Beberapa
jenis makanan tersebut adalah:
1. Cehai pumbui (babi
rebus): daging babi dipotong kecil-kecil, direbus. Diberi bumbu garam, kunyit,
serai, jahe. Kadang dapat juga diberi campuran buah nangka muda.
2. Cehai (babi panggang): babi dipotong
kepala dan kakinya. Dibersihkan isi perutnya, diberi bumbu bawang merah, bawang
putih, garam, kunyit, serai, cabe. Bumbu-bumbu tersebut dihaluskan, kemudian
dioleskan merata pada daging, kemudian dipanggang.
3. Tutung saping: kulit
dan daging babi dipotong kecil-kecil, dibumbui kemudian dibakar (seperti sate)
4. Krehat: kulit babi dipotong
kecil kemudian digoreng kering. Dapat dimakan sebagai lauk nasi atau sebagai
camilan, seperti kerupuk.
5. Cehai saping (selai
babi atau daging babi asap): daging babi ditempatkan diwadah berlubang-lubang,
kemudian diletakkan di atas bara selama beberapa waktu sampai kering. Daging babi
asap ini dapat bertahan cukup lama, awet untuk disimpan sampai lebih dari dua
minggu.
6. Babi masak kecap: daging
babi direbus, dibumbyi dawang merah, bawang putih, garam, kecap manis, kecap
asin, dan ketumbar.
7. Ayam masak bening: daging
ayam dipotong kecil-kecil, direbus dengan campuran singkong parut, diberi bumbu
serai, kunyit dan garam.
8. Klunyet (nasi campur singkong):
singkong direbus, sewaktu airnya mendidih, masukkan beras kira-kira dua gelas.
Setelah air kering, matikan api dan diamkan kira-kira 15 menit, kemudian
ditumbuk.
9. Kanan parut:
singkong diparut, diperas, masukkan kedalam kukusan dan dikukus selama kurang
lebih 1 jam, dihidangkan dengan kelapa muda yang diparut.
10. Tumpi:
sejenis kue yang terbuat dari beras ketan yang ditumbuk halus, dicampur air,
gula dan sedikit garam, dibentuk bundar kemudian digoreng.
11. Daun singkong direbus kemudian dibuang airnya, diperas, diiris
tipis-tipis, kemudian dioseng. Diberi bumbu bawang merah, garam, cabai. Dapat
dicamour kelapa parut (tetapi bukan diambil santannya)
12. Labu kuning masak ikan: ikan direbus, setelah mendidih, masukkan
labu dan umbi singkong.
Beberapa
jenis makanan yang biasa dibuat oleh masyarakat Dayak Modang sudah sangat
dipengaruhi oleh agama islam yang melarang penganutnya memakan daging babi
sehingga jenis lauk pauknya biasanya seperti:
1. Ayam
Kare
2. Ayam
Goreng
3. Ayam Sop
4. Lejong
Keladi (talas) : daunt alas, kulit payau (rusa) atau kulit sapi, terung asam,
terung pipit (berduri), direbus, lalu
diberi bumbu jabe, garam, sereh dan laos.
5. Lejong
Daun Ubi : daun singkong ditumbuk, kulit payau (rusa), terung pipit direbus,
lalu diberi bumbu laos, jahe dan garam
6. Rujak
d. Upacara Pengobatan
dan Obat Tradisional
1. Obat sakit perut
Tanaman Koyur (bhs Benuaq), dipercaya oleh masyarakat Dayak Benuaq untuk menghilangkan racun yang masuk kedalam tubuh. Cara menggunakannya dengan mengikis bagian batang dan disiram dengan air panas dan diminum.
3. Obat bedak dingin
Tanaman Biowo (bhs Benuaq), digunakan pada bagian daunnya dan dipanaskan di atas api lalu ditempelkan pada bagian yang sakit, selain itu tanaman ini juga digunakan untuk upacara Beliatn. Tanaman ini juga dapat menyembuhkan penyakit mencret dengan memakan akar pohon sepanjang satu jari ditambah pinang.
Tanaman Krehau (bhs Tunjung), daunnya dicampur air dan dipakai mandi.
10. Obat sakit pinggang
Akar Merulek (pasak bumi) direbus, saring, diminum airnya.
11. Obat sakit gigi
Daun Kunjeng (bhs Tunjung) direbus, disaring, diminum airnya.
12. Obat sakit bengkak
Tanaman Alokai (bhs Tunjung), bunganya direma-remas, dioles atau digosokkan pada bagian yang luka.
Salah
satu warisan budaya masyarakat Dayak yang selama ini terabaikan adalah pengetahuan akan cara pengobatan dan obat tradisional yang telah dikenal sejak
dahulu. Hal ini disebabkan antara lain terbatasnya orang-orang yang memiliki
pengetahuan tentang hal tersebut, disamping itu pengetahuan tersebut
disampaikan secara lisan sehingga seringkali tidak terdokumentasi secara baik,
padahal masyarakat dayak telah memiliki kemampuan meramu obat-obatan yang
relevan sampai saat ini. Sebagai contoh untuk merencanakan jumlah anak yang
diinginkan mereka melakukannya dengan memakan daun suluh dari satu jenis pohon
tertentu (Riwut, 2003:316). Masyarakat dayak juga mengenal upacara pengobatan
yang dikenal sebagai upacara Beliatn (baca belian). Upacara ini harus
dilaksanakan karena menurut pandangan mereka seseorang yang terkena suatu
penyakit disebabkan oleh perbuatannya sendiri yang membuat dewa-dewa/leluhur
mereka murka sehingga memberikan bala/bencana kepada orang yang tersebut dengan
memberinya penyakit. Untuk menghilangkan bala tersebut maka perlu diadakan
upacara beliatn dengan harapan para dewa/leluhur mau memafkan dan memberikan
kembali kesehatan orang yang terkena bala tersebut.
Ada beberapa jenis upacara Beliatn,
yang paling popular dan sering diselenggarakan adalah Beliatn Bawo dan Beliatn
Sentiyu. Beliatn Bawo merupakan upacara penyembuhan yang dapat dipimpin
tabib perempuan, biasanya untuk pengobatan penyakit yang ringan seperti demam
pada anak-anak. Sedangkan Belaitn Sentiyu merupakan upacara beliatn terbesar
yang dipimpin oleh seorang tabib atau lebih. Upacara ini biasanya berlangsung
hingga 4 hari 4 malam.
Persiapan
menjelang upacara adalah kesibukan panjang bagi seluruh warga desa, terutama
para penghuni rumah panjang atau lamin tempat berlangsungnya upacara. Beberapa
hari sebelum diadakan Beliatn Sentiyu, berbagai piranti upacara mulai
dipersiapkan. Patung-patung kecil yang melambangkan hantu pengganggu, ornament
janur, ramuan dari dedaunan, beberapa ekor babi yang disembelih untuk diambil
darahnya, serta menyiapkan masakan khas untuk upacara beliatn yaitu tumpi dan
lemang yang terbuat dari beras ketan.
Upcara
pengobatan belian sentiyu melibatkan sejumlah pelaku yakni: pemeliatn
(penyembuh), rotatn (pasien), penu’ung (pemusik) dan pengugul pengegugu baru
(orang yang membantu pemeliatn menyiapkan segala perlengkapan upacara). Dalam
praktek pengobatan beliatn sentiyu, seorang pemeliatn akan memeriksa rotatn
dengan cara:
a) Kakaap
(meraba tubuh rotatn yang dirasakan sakit)
b) Nyegook
(menghisap bagian kepala rotatn)
c) Nyentaau
(mendiagnosa dengan menggunakan lilin untuk mengetahui penyakit rotatn
d) Tafsir
mimpi (menanyakan mimpi yang pernah dialami rotatn atau keluarganya)
e) Ngentaas
(memanggil roh kelelungan para pengentaas)
Saat
upacara dimulai pada malam hari, orang-orang yang sakit dibaringkan di lamin.
Kerabatnya duduk disamping pasien, menyaksikan jalannya ritual. Sementara itu
sang tabib, diiringi musik tetabuhan, menari sambil melantunkan mantra dalam
bahasa kutai. Makin lama, ketika memasuki saat intrans, gerakan tariannya makin
cepat dan tak terkendali, seolah kemasukan roh. Pada tarian penyembuhan itu
perangkat yang diperlukan adalah sesajian berupa beras, kue, lemang, ayam dan
telur. “Sesajian itu diperlukan untuk dipersembahkan kepada roh-roh leluhur
agar membantu penyembuhan pasien yang dibaringkan di sekitar penari.
Sambil
terus menari, tabib Beliatn mendekat kea rah pasien-pasien yang terbaring
pasrah. Ia mengoleskan ramuan pada tubuh si pasien. Bagian belakang tubuh si
pasien juga dihisap, untuk menyedot roh jahat yang mengganggu. Sementara itu,
musik tetabuhan terus mengiringi hingga larut malam. Kadang-kadang upacara ini
berakhir hingga dini hari, tergantung banyak sedikitnya jumlah pasien. Karena
upacara Beliatn Sentiyu ini berlangsung selama 4 hari 4 malam, seluruh pasien
dan segala piranti upacara masih berada di lamin. Malam berikutnya, ritual
upacara berlangsung lagi. Bunyi tetabuhan dan hentakan kaki para tabib Beliatn
pada lantai lamin yang terbuat dari papan menjadi musik penggiring saat
malam-malam berlangsungnya upacara Beliatn. Pada malam terakhir, yaitu malam
keempat, disembelilah seekor babi untuk diambil darahnya. Lengkingan si babi
kesakitan di tengah malam menambah suasana magis. Kemudian darah babi itu
dioleskan pada tubuh pasien, sementara dagingnya dimasak esok paginya sebagai
lauk.
Selepas
upacara Beliatn Sentiyu yang berlangsung 4 hari 4 malam itu, para pasien belum
diijinkan untuk pulang ke rumah masing-masing. Mereka masih berada pada masa tuhing, yaitu masa tabu untuk menjalani
berbagai pantangan. Masa tuhing ini berlangsung hingga 4 hari. Setelah itu
barulah pasien diijinkan kembali ke tempat tinggalnya.
Selain
masih mempercayai pengobatan dengan Upacara Belian mereka juga mengenal
berbagai jenis tanaman obat yang diyakini mampu mengobati beberapa jenis
penyakit yang umum di daerah mereka seperti:
1. Obat sakit perut
- Tanaman Gelinggam (bhs Benuaq), satu jenis tanaman yang dikenal sebagai anti racun oleh masyarakat suku Benuaq. Cara penggunaan dengan mengikis dan merebus bagian batangnya dan diminumkan setelah disaring. Bagian akar dari tumbuhan ini dapat digunakan sebagai obat sakit perut.
- Tanaman Peai (bhs Benuaq), tanaman ini dapat digunakan sebagai obat sakit perut atau mencret. Cara menggunakannnya dengan merebus bagian batang dan hasil rebusan tersebut disaring lantas diminum.
- Tanaman Benuang Rangkang (bhs Benuaq), cara menggunakannya yakni dengan merebus segenggam daun dan hasil rebusan disaring selanjutnya langsung dapat diminum. Tanaman ini digunakan pula dalam upacara keagamaan.
- Tanaman Kunjeng (bhs Tunjung), daunnya dicampur dengan batang kapuk, direbus, diminum airnya.
Tanaman Koyur (bhs Benuaq), dipercaya oleh masyarakat Dayak Benuaq untuk menghilangkan racun yang masuk kedalam tubuh. Cara menggunakannya dengan mengikis bagian batang dan disiram dengan air panas dan diminum.
3. Obat bedak dingin
- Tanaman Kokang (bhs Benuaq), diambil pada bagian pucuk dari tanaman ini biasanya digunakan untuk campuran membuat bedak dingin atau pupur.
- Beras direndam selama 2 minggu, diganti airnya setiap dua atau tiga hari hari sekali, direndam dengan air mentah, kemudian ditumbuk halus. Setelah menjadi bubuk atau bedak, dicampur sedikit dan dioleskan ke tubuh atau muka. Bedak dingin ini bermanfaat untuk pelindung muka dari sengatan sinar matahari.
Tanaman Biowo (bhs Benuaq), digunakan pada bagian daunnya dan dipanaskan di atas api lalu ditempelkan pada bagian yang sakit, selain itu tanaman ini juga digunakan untuk upacara Beliatn. Tanaman ini juga dapat menyembuhkan penyakit mencret dengan memakan akar pohon sepanjang satu jari ditambah pinang.
5. Obat
sakit batuk
- Buah Pinang Muda, dibelah, langsung dimakan isinya.
- Jeruk Nipis, diperas airnya diberi sedikit garam atau kecap dan langsung diminum
- Tanaman Krehau (bhs Tunjung) yang diambil bagian daun dan akarnya dibersihkan lalu direbus, hasil rebusan disaring dan airnya diminum.
- Tanaman Kacapiring, diambil daunnya yang masih kuncup, diparut, diremas-remas sampai berlendir, kemudian disaring. Hasilnya seperti agar-agar. Masukkan sedikit gula pasir, kemudian diminum.
6. Obat
sakit panas
- Daun Kapuk, daun Nangka Belanda dan daun Selasih dimasukkan kedalam semangkuk air dingin, diremas-remas, masukkan kedalam kain tipis, dikompreskan ke dahi.
- Daun Kayu dan daun Genjilap (cocor bebek) diremas-remas kemudian dikompreskan ke dahi.
- Pegokng (ilalang), diambil batangnya, direbus, kemudian airnya diminum.
- Bunga Cepilai (bhs Tunjung), diremas-remas atau digosok-gosok, kemudian dikompreskan ke dahi.
- Bawang Merah, bawang Putih, kulit buah Pinang tua dan santan mentah kental, diseka atau dioleskan ke seluruh tubuh.
- Daun Kembang Sepatu, dicampur dengan bawang merah dan bawang putih, ditambah sedikit air hangat. Kemudian diseka atau dioleskan ke seluruh tubuh.
7. Obat
penghitan rambut
- Daun Kayu Ulin diberi minyak kelapa, dicampur kemiri yang telah dibakar, ditumbuk halus dan dioleskan ke rambut, diamkan beberapa saat baru kemudian dibersihkan (keramas). Dapat dipergunakan setiap hari.
- Tanaman Geringgang (bhs Tunjung), daunnya digosok-gosok langsung pada rambut, diamkan beberapa saat baru kemudian dibersihkan (keramas).
8. Obat
sakit gatal
- Daun Belong Kokang (bhs Tunjung) direndam, kemudian dibuat pupur (bedak), digunakan sebagai bedak dingin, dioleskan pada bagian tubuh yang gatal.
- Daun Merpetak (bhs Tunjung) ditumbuk dan dijadikan bedak. Dioleskan pada bagian tubuh yang gatal
- Daun Berap (bhs Tunjung) dipakai sebagai sabun dan shampoo, digunakan untuk membersihkan bagian tubuh yang gatal
- Daun Pare, diremas-remas lalu digosokkan ke bagian tubuh yang gatal.
Tanaman Krehau (bhs Tunjung), daunnya dicampur air dan dipakai mandi.
Akarnya direbus,
airnya diminum.
Akar Merulek (pasak bumi) direbus, saring, diminum airnya.
11. Obat sakit gigi
Daun Kunjeng (bhs Tunjung) direbus, disaring, diminum airnya.
Tanaman Alokai (bhs Tunjung), bunganya direma-remas, dioles atau digosokkan pada bagian yang luka.
13. Obat sakit luka terbuka (berdarah)
- Tanaman Buncar (bhs Tunjung) diambil bagian daunnya lalu diremas-remas, langsung ditempel pada luka
- Pisang Kampar diambil bagian getah dari bagian batangnya lalu dioleskan pada bagian tubuh yang luka.
VII. BAHASA
VIII. KESENIAN dan
KERAJINAN
Salah satu aspek
dalam kehidupan manusia yang tidak dapat dilepaskan adalah kegiatan seni, baik
seni tari, seni musik, seni suara dan berbagai ketrampilan yang menghasilkan
karya seni yang indah. Orang dayak sangat menghormati warisan nenek moyangnya
termasuk didalamnya menjaga warisan budaya. Sejak dahulu kala orang dayak telah
memiliki beragam bentuk kesenian baik itu seni tari, sastra, nyanyian,
kerajinan tangan, ukiran, dll. Semuanya ini sangat erat kaitannya dengan
kehidupan alam sekitarnya.
Tana’kejin merupakan sebutan yang diberikan untuk
daerah Apo Kayan, daerah yang dikenak sebagai pusatnya pulau Kalimantan,
yang juga diyakini merupakan cikal bakal penyebaran orang dayak, yang artinya
negeri tmpat orang-orang menari. Sebutan itu menggambarkan bahwa seni tari
khususnya telah dikenal oleh orang dayak yang diwariskan dan dikembangkan pada
generasi berikutnya sampai sekarang.
Bagi masyarakat
tradisional, lingkungan alam terdiri dari benda nyata dan roh-roh halus.
Roh-roh lebih berkuasa daripada manusia, dan pengaruh jahatnya dapat dihindari
dengan upacara yang sesuai. Motif-motif pada kayu, anyaman, dan tekstil merupakan
perlindungan terhadap roh-roh jahat. Naga yang diukirkan pada kayu merupakan
bentuk pemujaan kepada kepada sang dewi naga dan mencipta roh naga yang baru
dengan tempat tinggalnya, sehingga didapatlah perlindungan bagi si pengukir.
Alam sangat erat kaitannya
dengan berbagai seni kehidupan orang dayak, termasuk diantaranya dengan
berkesenian. Dalam tarian, pakaian dan perhiasan sampai koreografi tarinya juga
memasukkan banyak unsure alam. Burung Enggang
(hornbill) merupakan burung yang dinilai sebagai lambang kegagahan, kejayaan
dan persatuan. Gerakan burung ini banyak digunakan sebagai bentuk koreografi
tari oleh orang dayak. Bulu dan paruh burung enggang juga digunakan untuk
hiasan kepala, jubah dan juga dipegang di tangan ketika menari. Dalam seni anyaman
dan seni ukir, burung enggang juga banyak digunakan sebagai motif dan hiasan.
Pada mulanya
kegiatan berkesenian orang Dayak dilakukan sebagai manifestasi akan
kepercayaannya yang diwujudkan dalam acara-acara ritual atau adapt seperti
dalam upacara mamat (perburuan
kepala), upacara beliant
(pengobatan), papatai (tarian
perang). Tetapi dalam perkembangannya, kegiatan seni pada saat ini sudah lebih
ditujukan sebagai hasil karya kebudayaan yang mempunyai nilai bagi perkembangan
pariwisata. Secara garis besar kesenian dapat dikelompokkan menjadi: senirupa,
seni suara, seni tari dan seni musik.
a. Seni Rupa
Seni adalah ekspresi
jiwa yang dituangkan melalui berbagai media dan merupakan alat komukiasi dalam
kehidupan bermasyarakat. Dalam masyarakat dayak seni merupakan aktifitas
sehari-hari dan hamper dapat ditemukan pada berbagai aspek kehidupan mereka
yang pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi:
a) Seni Lukis
Seni lukis pada
masyarakat dayak terlihat pada ragam hias pada pakaian, tato. Suatu desa
masyarakat dayak biasanya akan dikelilingi lukisan roh pelindung baik yang
diukir maupun dilukiskan pada bangunan rumah, yang dipercaya dapat menghidarkan
anggota desa tersebut dari roh-roh jahat yang mengganggu. Motif hias hariamau
dan pohon kehidupan diwarnai dengan kapur, jelaga dan karat merah pada mas lalu
merupakan cirri bangunan tetua adapt. Di rumah-rumah orang dayak dari mulai
tiang, hiasan teritis atap dan hiasan dipucak atap, sering dilukis dengan
lambing-lambang roh pelindung seperti naga, burung enggang atau tanduk kerbau,
dan pohon-pohon serta sulur-suluran yang dari segi pengerjaan sederhana sampai
ukiran halus yang indah dengan bentuk-bentuk stilirnya. Hiasan itu ditampilkan
dalam aneka motif yang ada hubungannya dengan system kepercayaan setempat,
antara lain motif burung enggang, macan, wajah manusia (udoq), anjing, naga,
monyet, tempayan dan motif-motif geometris. Hiasan burung enggang selalu
ditempatkan paling atas baik itu pada hiasan rumah panjang atau lamin mereka
maupun dalam hiasan tiang totem. Pada bagian tengahnya ditempatkan motif
manusia, binatang, atau benda-benda lainnya, sedangkan bagian bawah terlukis
motif naga atau unsure geometris lainnya.
Pada masyarakat
dayak Tunjung, motif tumbuhan berupa sulur-suluran daun pakis, kuncup bunga
teratai, daun-daun yang merambat sering menjadi pilihannya. Dalam hal
pewarnaan, mereka mengenal teknik pembuatannya dimana untuk menghasilkan warna
hitam menggunakan asap dammar yang dicampu dengan getah pohon pelantan. Warna
merah dibuat dari rendaman kayu sepang, warna kuning dibuat dari umbi kunyit,
warna putih dari kapur sirih (Syahbandani dkk,1998:60)
Ragam seni lukis
tampak juga pada rajahan atau tato yang pada masa lalu berfungsi untuk
mempercantik diri tetapi juga sekaligus penanda social. Pada perempuan, tato
menandakan tingkatan status social seseorang. Sedangkan bagi kaum laki-laki,
tato merupakan lambing kejantanan dan keberhasilan dalam berperang. Gambaran
tato sendiri seringkali merupakan cara untuk menangkal pengaruh jahat. Tato
juga mempunyain makna religius. Orang kenyah percaya bahwa dialam baka nantinya
segala sesuatu kebalikan dari yang ada di dunia ini, tanda tato hitam akan
bersinar terang dalam kegelapan hingga jiwa si mati dapat menemukan jalan yang
harus ditempuhnya.
Pekerjaan mentato
ini dilangsungkan ditempat terbuka atau diserambi. Pada orang Kenyah
penggambaran motif-motif yang dianggap sakti hanya boleh dilakukan oleh
laki-laki yang sudah lanjut usia dengan dibayar oleh sebutir manik, sedangkan
yang membuat tatonya sendiri adalah seorang perempuan dengan mempergunakan duri
atau jarum yang diberi gagang, kemudian dipukulkan berulang kali ke kulit orang
yang ditato. Hal ini dimaksudkan agar campuran jelaga, air tebu dan lemak babi
dapat masuk kebawah kulit. Semakin hitam hasil tato semakin bagus.
b) Seni Ukir
Seni ukir ditemukan
pada peralatan rumah tangga juga merupakan wahana berkreasi dengan bahan dan
teknologi yang beragam. Pengerjaan mengukir termasuk kegiatan laki-laki. Bentuk
seni ukir orang dayak dituangkan menggunakan teknik ukir dengan alat sebuah
pisau yang bermata kecil dan bergagang panjang. Bahan yang digunakan biasanya
kayu keras yang biasa dibentuk menjadi alat rumah tangga seperti patung,
lesung, bening (keranjang untuk menggendong bayi), lesung, pangkal pedang,
tutup guci, alat musik dari kayu dan dayung. Selain itu bahannya juga
seringkali menggunakan tanduk rusa dan keramik. Motif hiasan yang biasanya
digunakan seperti motif naga, daun, wajah, motif tumpal dan bunga. Motif yang
biasanya dipakai oleh Dayak Kenyah adalah motif binatang naga, babi, manusia
dan burung. Sedangkan pada suku Bahau dan Modang lebih suka motif binatang,
babi, tikus dan kombinasi figure binatang tertentu. Dayak Benuaq dan Tunjung
lebih memilih motif bunga-bunga dan daun-daunan.
c) Seni Kriya
Seni kriya byang
dihasilan oleh masyarakat Dayak diketahui sangat bervariasi yang umumnya
merupakan benda-benda yang dipergunakan sehari-hari. Artinya hasil seni kriya
mereka pada dasarnya dihasilkan untuk memenuhi kebutuhan mereka meskipun pada
masa kini lebih bersifat komersil. Mengayam manik-manik, tudung kepala
(seraung) dan tikar merupakan pekerjaan perempuan. Untuk membuat keranjang
dibagi pengerjaannya antara perempuan dan laki-laki. Perempuan membuat
keranjang dengan anyaman halus dan ukurannya lebih kecil, dibandingkan
keranjang yang dibuat oleh laki-laki yang biasanya lebih besar dan lebih kokoh
untuk pekerjaan di lading atau berburu.
Beberapa hasil seni
kriya tersebut antara lain:
1. Ulap Doyo
Kain dari serat daun
doyo ini merupakan hasil kerajinan yang hanya dibuat oleh wanita-wanita suku
dayak Benuaq. Tanaman doyo yang menyerupai pandan tumbuh dengan subur di
Tanjung Isuy. Serat daunnya kuat dan dapat dijadikan benang untuk ditenun.
Bahan yang terkenal untuk pakaian adapt tradisonal Dayak Benuaq adalah kain tenunan
serat daun doyo. Dari tumbuhan inilah masyarakat Dayak Benuaq membuat benang
yang kuat untuk ditenun. Daun Doto dipotong sepanjang 1-1,5 mtr dan direndam
dalam air. Setelah daging daun hancur lalu seratnya diambil. Biasanya warna
tenunan kain doyo (ulap doyo) memiliki tiga warna: merah, hitam dan warna
coklat muda.
Ulap doyo dianggap
sebagai tenun ikat yang sangat khas Dayak Benuaq. Motifnya stilasi dari bentuk
flora, fauna dan alam mitologi, sebagaimana lazimnya motif hias masyarakat
dayak lainnya. Pada bidang yang berwarna terang, pada kain bercorak hias itu
muncul titik-titik hitam yang dihasilkan dari pengikatan sebelum dicelup bahan
pewarna. Titik-titik hitam inilah yang hamper tak ditemui pada tenun ikat
manapun di daerah lain. Dari kain tenun serat doyo ini dibuatlah daster,
kopiah, baju, sarung dan sebagainya.
Akulturasi dengan
budaya lain juga meresap hingga ke pedalaman. Maka masyarakat Benuaq pun
kemudian mengenal kain tenun kapas dengan warna-warni yang sangat kontras
dengan warna serat tenun mereka. Dan dengan sangat kreatif mesyarakat Benuaq
mengaplikasikan kain-kain tersebut pada karya tenun ikat mereka. Hasilnya
adalah busana upacara yang dibuat dari kombinasi tenunan serat doyo dengan kain
warna-warni sebagai corak hias yang artistic, misalnya busana adapt yang
dipakai oleh pemeliat (ahli
pengobatan tradisional).
Dalam pelbagai
upacara adapt seperti misalnya upacara kematian, pengobatan, panen hasil bumi,
dan sebagainya, kaum perempuan mengenakan ulap doyo yang berfungsi seperti kain
panjang (tapeh). Agar bebas bergerak ulap ini diberi belahan yang jika dipakai
belahan ini berada di bagian belakang. Ulap yang berbelah ini disebut ulap
sela. Ulap yang dikenakan sehari-hari biasanya berwarna hitam sedangkan yang
dikenakan saat mengikuti upacara adapt diberi hiasan kain perca warna-warni
bermotif bunga atau dedaunan. Sebagai baju biasanya dipakai kebaya tanpa lengan
atau yang berlengan panjang. Sedangkan kaum pria biasanya menggunakan tenunan
serat doyo ini untuk baju tanpa lengan dan celana pendek.
2. Anjat
Anjat adalah tas
yang terbuat dari anyaman rotan dan memiliki dua atau tiga sangkutan. Anjat
biasanya digunakan untuk menaruh barang-barang bawaan ketika bepergian. Anjat
ini berukuran sedang sehingga hanya memuat barang dalam kapasitas yang
terbatas. Anjat ini tidak memiliki tutup pada bagian atasnya namun terdapat
tali yang dimasukkan dalam anyaman gelang kecil di bagian atas anjat yang
apabila tali ini ditarik maka anjat ini akan mengecut/menutup. Untuk ukuran
yang lebih besar meskipun dibuat dengan bahan yang sama biasa disebut dengan
keranjang. Keranjang dibuat sesuai keperluannya diperuntukkan untuk mengangkat
hasil lading sehingga berukuran cukup besar. Biasanya keranjang memiliki
diameter bawah sekitar 50 cm dan diameter atas 70 cm dengan tinggi sekitar 70
cm dan tidak memiliki tutup pada bagian atasnya. Barang jalinan dan keranjang
anyaman sangat banyak variasi bentuk dan kegunaannya. Anyaman rotan lainnya
adalah Lampit semacam tikar yang terbuat dari jalinan rotan dipasang sejajar,
dan tikar-tikar lain dianyam dari rotan kasar, kulit pohon atau pandan. Orang
Punan membuat tikar tidur dengan motif hitam dan putih. Seraung dibuat dari daun-daun palas biru yang dihias dengan
tempelan potongan kain persegi dan manik-manik atau sulaman.
3. Manik-manik
Orang dayak mengenal
manik-manik sebagai hiasan sejak zaman logam masuk ke Kalimantan.
Manik-manik dari tulang, batu atau dammar dari zaman purba banyak ditemukan
pada situs-situs penggalian. Orang dayak membedakan manik-manik besar dari kaca
berwarna-warni dan manik-manik halus yang biasa dianyam pada benang.
Manik-manik besar berbeda bentuk dan warnanya satu dan lainnya. Manik-manik ini
bernilai tinggi dan disimpan sebagai benda pusaka, biasanya dijadikan kalung
dan digunakan ketika upacara-upacara adapt berlangsung. Pada masyarakat Kenyah
di Long Anai, dikenal manik-manik yang dinamakan lukuk sakalak dan bowang,
lukuk sakalak merupakan manik-manik yang berbentuk bulat dan berwarna hijau
berbintik-bintik dengan diameter sekitar 2,5-3 cm. Biasanya manik ini digunakan
oleh raja-raja Kenyah.
Bentuk yang
dihasilkan dari kerajinan manik ini antara lain kalung, gelang, hiasan pada
topi, bening, pakaian, ikat pinggang dan peralatan rumah lainnya.
4. Bening
Bening
adalah keranjang yang terbuat dari bulatan kayu yang dibelah dan bagian
bawahnya diberi tempat dudukan dan digunakan untuk menggendong anak balita
berukuran panjang antara 30-40 cm.
Pada kedua
sisi diberi tali yang digunakan untuk menyangkutkan pada bahu. Untuk menambah
indahnya bening ini pada tepian atasnya
dihiasi dengan gantungan kepeng perak, manik-manik dan taring babi. Sedangkan
taring babi merupakan symbol keberanian dan kejantanan. Keindahan keranjang ini
memiliki nilai tertentu dalam masyarakat dayak. Penggunaan hiasan-hiasan itu
bertujuan sebagai penolak bala dan pengharapan akan keselamatan sang anak.
Untuk menghias
bening ada dua cara yakni dengan mengukir langsung pada bagian luar bening ada
pula yang membuatnya dengan manik-manik yang dianyam. Adapun motif yang
digambarkan sangat tergantung pada suku dayak itu sendiri. Pada masyarakat
Dayak Kenyah sangat popular menggambarkan motif binatang seperti harimau,
sedangkan Dayak Tunjung hiasan motif pohon atau daun hayat lebih disukai
(Hasjim Achmad, 1984:13).
5. Seraung dan Beloko
Searung
adalah Topi berbentuk lebar yang biasa digunakan untuk bekerja di lading atau untuk
menahan sinar matahari dan hujan. Seraung dibuat dari daun pandan yang telah
dikeringkan. Kinin banyak diolah seraung-seraung ukuran kecil untuk hiasana
rumah tangga. Beloko adalah topi pandan yang biasa digunakan pada saat kegiatan
upacara.
6. Mandau
Mandau
merupakan senjata tradisional khas suku Dayak yang menyerupai pedang. Mandau
terbuat dari besi dengan gagang terbuat dari kayu atau tanduk yang diukir.
Untuk tanduk rusa gagang mandau akan berwarna putih sedangkan tanduk kerbau
akan menghasilkan gagang mandau warna hitam. Sedangkan jenis kayu yang biasa
digunakan untuk pegangan mandau adalah jenis kayu kayamiling yang telah direndam dalam tanah. Pada bagian ujung
gagang mandau biasanya diberi hiasan berupa bulu binatang atau rambut manusia
yang untuk merekatkannya menggunakan getah kayu sambun. Sebelum pembuatan
dimulai, terlebih dahulu dilakukan upacara adapt sesuai dengan tradisi dari
masing-masing suku dayak.
Untuk
sarung mandau biasanya digunakan kayu garunggung yang telah tua. Kayu ini
memiliki sifat mudah dibentuk dan tidak mudah pecah. Sarung mandau ini biasanya
diberi ukiran dan tali untuk mengikatkan mandau pada pinggang yang terbuat dari
tali rotan.
b. Seni Suara
Orang
Kenyah mengenal kidung (kentau) atau
bentuk syair yang dilakukan yang
berisi nilai-nilai, aturan, pengetahuan dan
kepercayaan yang ada pada
masyarakat Kenyah. Dayung merupakan kentau
yang disajikan dalam berbagai
kesempatan yang bersifat santai, hiburan ini
dilakukan sambil duduk dan
bersahutan. Kentau ada yang dilakukan pada saat
mebuka lading. Peladang saling
bersahutan bertanya dan menjawab tentang
tahap-tahap membuka lading yang
telah selesai dilakukan. Kegiatan ini juga
sebagai motivasi bagi pemilik lahan
untuk menyegarkan tahapan untuk membuka
ladangnya. Nidau merupakan kidung
yang dinyanyikan dalam rangka upacara kematian orang tua-tua atau kerabat
tertentu. Kidung berkisah (kesa)
perjalanan si mati kea lam gaib dan seolah-olah
menggambarkan kepada si mati
tentang keadaan orang-orang yang
ditinggalkannya. Dengan demikian orang yang
masih hidup dapat terus
berkomunikasi dengan roh kerabatnya yang sudah
meninggal.
Beberapa
seni suara yang dikenal oleh masyarakat Dayak adalah :
1. Kendrau
Kendrau,
merupakan seni suara yang dipadu dengan tarian yang berisi
harapan, semangat,
kata-kata sambutan yang dilakukan, kematian,
kesedihan dan kegembiraan,
dilakukan oleh kaum perempuan.
2. Lemaloq
Jenis
suara seperti pantun yang berisi mantra-mantra.
c. Seni Tari
Tarian
orang dayak beragam ada yang masih tradisional bahkan ada yang
sudah
dikreasikan. Tarian tradisonal berdasarkan fungsinya dapat
dikelompokkan
menjadi tiga jenis yakni:
1. jenis
tarian keagamaan seperti untuk pengobatan, atau mengundang roh gaib seperti
tarian pada upacara belian bawo, sentiyu dan kwangkai,
2. tarian
adat biasanya dilaksanakan pada saat upacara adat, dan
3. tarian
hiburan/pergaulan seperti leleng.
Tarian-tarian
ini dimainkan baik oleh perempuan maupun laki-laki, tunggal
maupun berkelompok.
Kelengkapan
tari lainnya adalah mandau dan tameng (klempit),
besunung,
bahan yang dipakai di sekeliling bahu biasanya terbuat dari kulit
macan atau
beruang; bulu burung enggang atau merak, biasanya digunakan untuk
hiasan
topi atau hiasan besunung dan dipegang ditangan untuk kelengkapan tari
bagi perempuan. Sikap burung enggang sering digunakan dalam gerak tari,
sedangkan paruhnya untuk hiasan kalung atau topi. Burung dalam
kepercayaan
masyarakat dayak pada umumnya dianggap sebagai binatang
suci, yang
menghubungkan manusia dengan roh nenek moyang dan yang
kuasa. Beloko atau topi dari anyaman rotan
njuga digunakan sebagai
kelengkapannya; selain itu ada kalung yang terbuat dari
manik-manik dan
taring harimau; seleng
atau kelat bahu yang terbuat dari kayu atau getah kayu
yang sudah diberi warna
hitam; abad atau cawat yang terbuat
dari kulit kayu,
yang pada sekitar tahun 1970an mulai diganti dengan kain yang
bermanik
manik; gelang atau lekok
yang terbuat dari manik-manik atau getah juga;
tabid yaitu ikat pinggang yang menutupi dan melindungi paha
belakang serta
seleng kaki atau
gelang kaki.
Tarian yang
biasa dilakukan antara lain:
1. Tari
Kancet / Tari Perang
Tarian ini
menceritakan tentang keperkasaan seorang pahlawan Dayak Kenyah berperang
melawan musuhnya. Gerakan tarian ini sangat lincah, gesit, penuh semangat dan
kadang-kadang diikuti oleh pekikan si penari. Ada dua macam yaitu tarian yang
dibawakan oleh hanya 2 orang laki-laki dengan maksud mengadu kekuatan, dan
tarian yang dilakukan 2 orang laki-laki dan 1 orang perempuan yang menceritakan
tentang perebutan sang perempuan, siapa yang menang berperang berarti dialah
yang berhak untuk sang perempuan.
Dalam
Kancet Pepatai, penari mempergunakan pakaian tradisional suku Dayak Kenyah.
Sang perempuan menggunakan baju (besung)
dari kulit binatang, topi (bloko),
dan rok (ta’aban). Panari laki-lakinya
memakai celana, cawat hitam, tabit
yaitu kain panjang yang menutupi paha belakang, topi (tapung pe’), baju (talun)
dari kulit kayu dan dilengkapi dengan peralatan perang seperti mandau, perisai
dan baju perang. Tari ini diiringi dengan lagu Sak Paku dan hanya menggunakan alat musik Sampeq.
2.
Tari
Datun Julut
Menurut
riwayatnya, tari bersama ini diciptakan oleh seorang kepala suku Dayak Kenyah
di Apo Kayan yang bernama Nyik Selung, sebagai tanda syukur dan kegembiraan
atas kelahiran seorang cucunya. Kemudian tari ini berkembang kesegenap daerah
suku Dayak Kenyah. Tarian ini merupakan tarian bersama gadis Dayak Kenyah
dengan jumlah tak pasti, boleh 10 hingga 20 orang. Alat musik yang digunakan
adalah sampe dan jatun utang. Biasanya dilaksanakan pada malam atau siang hari
sedangkan kostum yang digunakan seperti yang biasa digunakan pada penari Kancet
Ledo hanya saja lebih sederhana. Tarian ini biasanya diadakan dilapangan atau
dihalaman rumah atau dapat pula ditampilkan diatas pentas.
3.
Tari
Hudoq
Dari jenis
topeng yang digunakan tari hudoq dibagi dua macam yaitu Hudoq Kibha yang topengnya merupakan keranjang anyaman yang dibalik
dan dimasukkan kedalam kepala, serta Hudoq
Kita’ yang topengnya berbentuk wajah manusia biasa yang banyak dihiasi
dengan ukiran khas Dayak Kenyah. Ada
dua jenis topeng dalam tari Hudoq Kita’, yakni yang terbuat dari kayu dan yang
berupa cadar terbuat dari manik-manik dengan ornament Dayak Kenyah. Untuk
kostum penari Hudoq menggunakan pakaian dari kulit kayu dan daun pisang yang
berumbai. Dibuat dengan rapi menutup seluruh tubuh penari. Perlengkapan lainnya
adalah tongkat kayu yang dipegang tangan kanan.
Tarian
hudoq ini dilakukan pada saat upacara menyambut tahun baru, upacara pesta
menanam padi (musim tanam) maupun untuk menyampaikan rasa terima kasih pada
dewi padi yang telah memberikan hasil panen yang baik dan dewa Po Metau sebagai pencipta alam semesta. Pesta tersebut
diadakan untuk memperoleh kekuatan dalam mengatasi gangguan hama perusak tanaman dan mengharapkan
diberikan kesuburan dengan hasil panen yang banyak. Pada zaman dahulu alat
musik yang mengiringi tarian ini adalah kedire
dan jatungutang. Saat ini kedire
sudah jarang dipergunakan dan ditambah dengan sampeq.
Pelaksanaan
tarin hudoq biasanya dilakukan dilapangan yang luas dimana para penonton
mengelilingi penari membentuk lingkaran. Jumlah penari sampai 11 orang. Sebelum
dimulai, pawing memberitahukan perlunya diadakan upacara tersebut. Setelah itu
roh-roh gaib diundang untuk hadir dimana roh-roh tersebut akan masuk ke dalam tubuh
penari Hudoq. Pada saat tarian dilaksanakan, pawing akan membaca mantra
(bememang) yang isinya meminta restu dari roh yang disesuaikan dengan maksud
upacara tersebut dilaksanakan.
4.
Tari
Hudoq Kita
Tarian
Hudoq Kita dikenal oleh Dayak Kenyah pada prinsipnya sama dengan Hudoq yang
dilaksanakan oleh Dayak Bahau dan Modang. Tarian ini dimaksudkan untuk
menyambut tahun tanam atau untuk menyampaikan rasa terima kasih pada roh-roh
gaib yang telah memberikan hasil tanaman mereka pada musim panen. Perbedaannya
pada kostum dan topeng yang dikenakan dimana kostum Hudoq Kita menggunakan baju
biasa dengan kain sarung. Demikian pula pada topeng yang digunakan pada Hudoq
kita berbentuk wajah manusia biasa. Topeng ini berukuran cukup besar dan
memakainya tidak direkatkan di muka melainkan dipegang.
5.
Tari
Kancet Ledo / Tari Gong
Kancet Ledo atau kancet lasan leto merupakan bentuk tarian tunggal yang dilakukan
oleh perempuan, yang menggambarkan kelemahlembutan seorang gadis bagai sebatang
padi yang meliuk-liuk lembut ditiup oleh angina. Tarian ini harus dilakukan
oleh mempelai wanita Dayak Kenyah ketika akan dipersandingkan dengan mempelai
laki-laki. Biasanya dilakukan didepan tempat duduk pengantin dimana para
undangan yang dating akan menyaksikan tarian tersebut.
Tari ini
dibawakan dengan memakai pakaian tradisonal suku Dayak Kenyah dan pada kedua
tangannya memegang rangkaian bulu-bulu ekor burung enggang. Biasanya tarian ini
ditarikan di atas sebuah gong, sehingga Kancet Ledo disebut juga Tari Gong.
Tarian ini diiringi oleh alat petik sampe berdawai tiga dengan lagu khusus
yaitu lagu dot diot.
6.
Tari
Kancet Lasan
Tari
Kancet Lasan merupakan tarian tunggal wanita dan laki-laki Dayak Kenyah yang
sama gerak dan posisinya seperti Tari Kancet Ledo, namun sipenari tidak mempergunakan
gong dan bulu-bulu burung enggang dan juga sipenari banyak mempergunakan posisi
merendah dan berjongkok atau duduk dengan lutut menyentuh lantai. Tarian ini
lebih ditekankan pada gerak-gerak burung enggang ketika terbang melayang dan
hinggap bertengger di dahan pohon, sehingga sering dikatakan bahwa tarian ini
menggambarkan kehidupan sehari-hari burung enggang, burung yang dimuliakan oleh
suku Dayak Kenyah karena dianggap sebagai tanda keagungan dan kepahlawanan.
Kancet lasan laki yang
merupakan tarian tunggal dilakukan oleh seorang laki-laki biasanya ada
gerak-gerak yang diberi tekanan pada hentakan kaki. Tarian ini juga sebagai
seleksi bagi para laki-laki agar dapat ikut ke medan perang. Laki-laki yang gagah, lincah,
cekatan dan perkasa merupakan calon prajurit yang handal.
7.
Tari
Kancet ‘ung
Merupakan
tarian anak muda yang dikenal juga dengan tari seraung yaitu tari yang menggambarkan kekayaan suku Dayak Kenyah
dibidang kerajinan tangan. Tarian ini dibawakan oleh perempuan muda dengan baju
(aban), topi (tapung aban) dan rok (ta’aban)
yang dibuat dari manik-manik dengan hiasan kecil-kecil yang melingkar saling
berkaitan yang juga melambangkan persatuan atau tidak terpisahkan. Secara tidak
langsung tarian ini juga merupakan promosi bagi hasil kerajinan mereka.
8.
Tari
Leleng
Tarian ini
menceritakan seorang gadis bernama Utan Along yang akan dikawinkan secara paksa
oleh orangtuanya dengan pemuda yang tak dicintainya. Utan Along akhirnya
melarikan diri kedalam hutan. Tarian gadis suku Dayak Kenyah ini ditarikan
dengan diiringi nyanyian lagu Leleng.
Biasanya
tarian ini dibawakan oleh anak-anak wanita berumur antara 6-12 tahun yang
biasanya ditarikan secara missal di halaman atau lapangan. Namun seringkali
tari Leleng atau tarian bersama ini dibawakan oleh seluruh penari dan penonton
yang hadir. Tarian ini menggambarkan kebersamaan diantara seluruh peserta
upacara adat.
9.
Tari
Ngerangkau
Tarian
ngerangkau adalah tarian khusus yang diadakan untuk upacara Kwangkai. Tarian
ini dimaksudkan untuk mengundang roh si mati untuk diajak bersama-sama dengan
sanak famili bersuka ria. Menurut kepercayaan Dayak Benuaq dan Tunjung, dalam
tarian ini roh orang yang meninggal akan dating dan menari bersama-sama.
Tarian ini
tidak ada batasan jumlah penarinya dan dapat ditarikan oleh kaum laki-laki dan
wanita serta hanya diperuntukkan bagi orang dewasa saja. Tempat pelaksanaannya
di rumah keluarga yang mengadakan upacara Kwangkai sedangkan waktu
penyelenggaraan di malam hari sampai dinihari.
Tarian ini
baru dapat dilaksanakan jika penari sudah mendapat isyarat dari sang pawing.
Saat tarian dilaksanakan, sang pawing akan terus menerus bememang yakni
menceritakan riwayat hidup si mati. Kostum yang digunakan untuk laki-laki
menggunakan pakaian sehari-hari dengan memakai kain cawat, rompi dan ikat
kepala dari kain berwarna merah yang disebut kesapu. Pakaian wanita terdiri
dari kain taah atau tapeh silak,
kebaya lengan panjang dengan leher bundar dan ikat kepala berwarna merah pula
(Zailani, 1999:75-76)
10. Tari
Ngeleway
Tari
ngeleway dikenal sebagai tarian pelengkap pada upacara perkawinan Dayak Benuaq
dan Tunjung. Tarian ini dilaksanakan ketika acara naik kepala yang dilakukan di
lapangan dan dipimpin oleh pawing. Tarian ini bias dilakukan oleh laki-laki dan
wanita dari semua golongan umur. Untuk penari ngeleway wanita memakai kain
ta’ah, kebaya lengan panjang dengan leher bundar dan selendang sedangkan penari
laki-laki menggunakan cawat, baju dari kulit jomo dan kesapu dan kain yang
bercorak kotak-kotak serta mandau yang diikatkan di pinggang. Pelaksanaannya
selalu pada siang hari saat kedua mempelai dipersandingkan (Ibid:79).
11. Tari
Gantar
Tari
gantar dikenal oleh Dayak Benuaq dan Tunjung sebagai tarian adat yang sacral
(ada pula yang menggolongkan sebagai tarian pergaulan). Tarian gantar dikenal
sebagai tarian untuk menyambut para pahlawan yang baru pulang dari peperangan.
Tarian ini dimainkan oleh para wanita yang mempergunakan alat semacam tongkat
di tangan kiri dan sepotong bamboo di tangan kanan. Ditarikan secara missal
dilapangan terbuka.
d. Seni Musik
Masyarakat
Dayak memiliki bermacam-macam alat musik baik berupa petik, pukul, tabuh dan
tiup. Musik juga merupakan sarana yang tidak kalah pentingnya untuk penyampaian
maksud-maksud serta puja dan puji kepada roh-roh gaib. Selain itu seluruh
tarian Dayak menggunakan alat musik yang
digunakan untuk mengiringi tari-tarian tersebut yang selalu hadir dalam upacara
adat, pesta pernikahan dan acara kematian. Masing-masing suku memiliki kekhasan
sendiri. Pada Dayak Kenyah mereka memiliki alat petik dan tiup saja yaitu alat
petik Sampe dan alat tiup yang
dinamakan Kadire yang dibunyikan
hanya dengan mempermainkan hawa udara pada rongga mulut. Suku Kenyah tidak
menggunakan alat musik tabuh atau pukul secara sembarangan. Alat tabuh hanya
dipakai untuk memberikan tanda suatu peristiwa tertentu seperti bahaya banjir,
peperangan dan berita kematian. Pada Suku Bahau, Modang, Benuaq dan Tunjung
tidak memiliki alat petik tetapi lebih banyak menggunakan alat pukul dan tabuh
seperti kelentang, tubun dan kendang.
Suku-suku inipun memiliki gong (Zailani Idris, 1999:53).
Beberapa
alat musik ada yang dibuat sendiri berukuran cukup besar sehingga untuk
memainkannya diperlukan dua orang atau lebih. Adapun jenis alat musik yang
dikenali adalah jenis alat musik petik dan pukul.
Beberapa
alat musik tersebut antara lain:
1. Sampe
Sejenis
gitar atau ala musik petik dengan dawai berjumlah tiga atau
empat buah.
Biasanya diberi hiasan atau ukiran khas suku Dayak.
2. Jatungutang
Sejenis
alat musik pukul dari kayu yang berbentuk gambang. Memiliki 12
kunci,
tergantung dari atas sampai bawah dan dimainkan dengan kedua
belah tangan.
3. Kadire
Alat musik
tiup yang terbuat dari pelepah batang pisang dan memiliki 5
buah pipa bamboo
yang dibunyikan dengan mempermainkan udara pada
rongga mulut untuk menghasilkan
suara dengung. Bentuk lainnya Kadire
mempunyai enam buah lubang suara seperti
suling yang terbuat dari buah
labu yang dikeringkan pada bagian bawahnya dan
terdapat 6 buah suling
diatasnya yang dapat mengeluarkan nada-nada indah. Lubang
tiupnya ada
dibagian samping buah labu. Kadire juga merupakan alat musik utama
dalam tarian Hudoq.
4. Klentangan
Alat musik
pukul yang terdiri dari enam buah gong kecil tersusun menurut
nada-nada
tertentu pada sebuah tempat dudukan berbentuk semacam
kotak persegi panjang
(rancak). Bentuk alat musik ini mirip dengan
bonang di Jawa. Gong-gong kecil terbuat dari logam sedangkan tempat
dudukannya terbuat dari kayu.
IX. PENUTUP
Masyarakat
Dayak di kawasan Kabupaten Kutai Kartanegara ada enam kelompok besar dengan
sejumlah subsuku yang tersebar hamper diseluruh wilayah Kutai.Keadaan
lingkungan yang kurang memberikan kemudahan dalam hubungan antar masyarakat
akan menjadikan suku dayak, hidup dalam lingkungan terbatas. Keadaan inilah
yang menimbulkan tumbuhnya komunitas suku dayak yang memiliki bahasa maupun
budaya yang berbeda antara satu dan lainnya. Walaupun terjadi
perbedaan-perbedaan hasil budayanya tetapi tampaknya prinsip dasar keprcayaan
mempunyai persamaan antara satu dan lainnya. Pada dasarnya suku dayak memiliki
kreatifitas dan dinamika kehidupan yang begitu kompleks. Budaya dan tradisi
yang diwariskan oleh nenek moyangnya merupakan modal dasar untuk memposisikan
suku dayak dalam budaya dan peradaban yang tinggi. Peradaban dalam arti
norma-norma dan nilai luhur dipegang secara ketat. Jiwa kebersamaan dan
toleransi serta jiwa gotong royong menjadi dasar kuat.
Kepercayaan
suku dayak yang didasari kepercyaan animisme dan dinamisme yang menganggap
bahwa ada zat tertinggi (supernaturalnpower) suatu kekuatan diluar jangkaun
pemikiran mereka merupakan salah satu pengaruh munculnya berbagai budaya suku
dayak. Selain percaya akan adanya kekuatan supernatural membuat mereka
menciptakan berbagai benda untuk keperluan pemujaan dalam bentuk
sebaik-baiknya, agar dewa-dewa dan Tuhan mereka akan senang. Dengan demikian
maka berbagai upacara yang berkaitan dengan pemujaan kepada dewa-dewa misalnya
dalam upacara persiapan pembabatan hutan untuk budidaya tanaman, upacara yang
berkaitan dengan mengayau, upacara bersih dewa, upacara pembuatan lamin (rumah
panjang) dan lain-lain dilakukan dengan mengerahkan seluruh rakyat yang
dilakukan dengan suka rela. Berbagai macam bentuk dan corak serta berbagai
uborampe (offering) yang diperlukan dalam upacara sangat bermacam-macam.
Bentuk-bentuk pola hias yang tampak dalam upacara mengingatkan pada upacara
megah meriah. Tiang-tiang lamin dipahatkan dengan berbagai bentuk pahatan
anthropomorpik dan binatang yang memiliki symbol-simbol tertentu. Bentuk-bentuk
pahatan manusia secara utuh disamping pahatan dalam bentuk bagian muka manusia
(topeng) yang biasanya dikaitkan dengan kekuatan-kekuatan gaib.
Dalam
tradisi megalitik (masa prasejarah) pahatan ini dianggap sebagai penolak bala
atau kekuatan yang akan mengancam keselamatan masyarakat. Dewa-dewa antara lain
dewa tanaman, dewa pemberi berkah, dewa air (hujan) digambarkan dalam bentuk
menakutkan. Sementara dewa yang memberikan berkah digambarkan seperti burung.
Dewa-dewa ini memakai pakaian gelap dengan muka yang ditutup oleh topeng
menakutkan berbagai macam. Pola-pola hias sangat beragam dalam bentuk motif
geometris (motif terukur). Pola-pola hias geometris biasanya dipakai untuk
menghiasi berbagai kerajinan dari rotan, berbagai kerajinan yang mempergunakan
hiasan manik-manik. Pola-pola hias yang menggambarkan gurita, muka manusia,
manusia kangkang dalam berbagai bentuk dan corak ditemukan di lamin dan
lumbung-lumbung padi suku Dayak Kenyah. Perhiasan seperti kalung, hiasan
kepala, parang dan lain-lain dipergunakan bahan manik-manik, gigi dan taring binatang,
kuku binatang, kepala burung enggang, tengkorak kepala monyet dan lain
sebagainya. Dengan demikian maka warna-warna yang dipergunakan dalam
pakaian dengan pola hiasnya kelihatan
begitu hidup, meriah tetapi anggun. Upacara dilakukan dengan meriah yang
biasanya diikuti dengan berbagai tari-tarian dengan 40 atau lebih penari.
Selain
dipengaruhi dan ditentukan oleh kebutuhan-kebutuhan yang berkaitan dengan magis
religius beserta dewa-dewa dan berbagai ruh yang mendiami berbagai benda atau
binatang kemajemukan budaya juga terjadi karena perkembangan pola piker dan
lingkungan alam disekelilingnya.
Suku Dayak
dan budayanya merupakan suatu warisan nenek moyang yang potensial dalam
penelitian untuk mengungkapkan dan mengembangkan budaya bangsa. Keberadaan suku
bangsa Dayak dan budyanya dapat dimanfaatkan dalam studi etnoarkeologi atau
analogi ethnografi untuk mengungkap manusia dan budaya pada prasejarah.
Disamping itu juga memberikan bukti-bukti tentang kemampuan manusia beradaptasi
dan memanfaatkan lingkungan untuk mempertahankan hidupnya. Oleh karena itu maka
budaya suku Dayak bukan hanya bersifat local tetapi juga nasional dan regional.
Kemajemukan budaya Dayak menambah kekayaan (memperkaya) budaya bangsa. Budaya
Dayak dapat memberikan informasi yang sangat berarti tentang munculnya suku
bangsa di Indonesia,
asal-usul, kepercayaan (religi), cara mencari makan, seni, ilmu pengetahuan dan
teknologi dan lain sebagainya. Kehidupan suku Dayak dan budayanya dapat
dipergunakan sebagai panduan dan kunci dalam studi etnografi, arkeologi dan
sejarah bangsa. Secara ringkas disini akan disimpulkan berbagai hasil studi
yang diharapkan akan mampu menjawab berbagai permasalahan tentang suku Dayak
dan kaitannya dengan pengembangan budaya bangsa sebagai berikut:
1. Suku Dayak
dan budayanya merupakan suatu bagian atau sempalan bangsa dan budaya besar
yaitu Austronesia yang juga merupakan nenek
moyang suku-suku bangsa di Nusantara.
2. Nenek
moyang suku Dayak pada awalnya bermukim di daerah Yunan, Tiongkok Selatan dan
Vietnam yang kemudian bermigrasi ke daerah bagian selatan melalui Vietnam,
Kamboja, Thailand, Malaysia, Sumtra dan Jawa terus ke daerah timur. Sebagian
lagi ke timur melalui Formosa,
Philipina, Talaud, Sulawesi, Kalimantan dan terus ke timur, Ambon,
Pasifik.
3. Suku Dayak
berasal dari bangsa Austronesia yang merupakan penutur bahasa Austronesia yang
telah mengenal berbagai ilmu pengetahuan dan teknologi antara lain ilmu
perbintangan, teknologi pembuatan alat batu, pembuatan gerabah, menguasai
teknologi transportasi (perahu), teknologi tuang logam, tenun, ukir, dan
lain-lain. Kepercayaan pada awalnya adalah pemujaan terhadap arwah nenek moyang
yang dianggap merupakan zat tertinggi dan menentukan kehidupan di dunia maupun
di alam kematian.
4. Suku Dayak
awal mulanya merupakan pemeluk tradisi/budaya megalitik yang telah mengenal
teknologi pembuatan bangunan-bangunan batu besar, seperti menhir (batu tegak),
arca megalitik, arca menhir, dolmen, teras berundak dan lain sebagainya yang
diperlukan dalam pemujaan leluhur. Setelah mereka sampai ke tempat bermukim
sekarang, tidak tersedia bahan baku
yang berupa monolit (batu besar) untuk dibuat sarana memenuhi kebutuhan
pemujaan leluhur atau untuk penguburan. Oleh karena itu mereka membuat berbagai
sarana dari kayu yang bentuk-bentuknya sama dengan hasil tradisi megalitik.
5. Kehidupan
suku Dayak didasari oleh kepribadian luhur yang mengedepankan persatuan,
gotong-royong, toleransi. Cara-cara dan cirri kehidupan ini telah dilambangkan
dalam cara bermukim di rumah lamin. Pola-pola hias yang satu dan lainnya tidak
terputus yang merupakan simbol satuan yang tidak terpisahkan antara satu dan
lainnya. Berbagai sktifitas kehidupan dilakukan secara bergotong-royong,
seandainya ada yang tidak melaksanakan akan diberi sangsi berupa benda atau
binatang ternak.
6. Budaya
Dayak mempunyai sifat multi sector, multidimensi dan multifungsi yang dapat
dimanfaatkan dalam berbagai aspek kehidupan, untuk ilmu pengetahuan, budaya,
pendidikan, ideology, ekonomi, persahabatan dan lain sebagainya.
Sumber: Dinas
Pariwisata dan Budaya Kabupaten Kutai Kartanegara, bekerjasama dengan Pusat
Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional.
tuani sianipar