ERAU SELAYANG PANDANG
A. ISTILAH ERAU
Asal katanya dalam bahasa daerah
Kutai ‘eroh’ yang artinya : ramai, riuh, rebut, suasana yang penuh suka cita.
Suasana yang ramai, riuh rendah tersebut dalam arti banyaknya kegiatan kelompok
orang yang mempunyai hajat dan mengandung makna, baik bersifat sacral, ritual,
dan yang bersifat hiburan kegembiraan.
B. RIWAYAT SINGKAT ERAU
Menurut legenda rakyat Kutai,
disebuah dusun bernama Jaitan Layar, bermukim disebuah Gunung seorang Petinggi
bersama istrinya. Puluhan tahun mereka hidup sebagai suami istri, namun Dewa
tidak menganugerahkan seorang anak pun, sebagai penyambung keturunannya. Suatu
malam, kedua orang tua ini dikejutkan oleh suara di luar rumah yang gegap
gempita dan malam yang tadinya gelap gulita berubah menjadi terang benderang.
Kemudian petinggi memberanikan diri keluar rumah untuk melihat keadaan
sebenarnya.
Alangkah terkejutnya ia, karena
dihalaman rumahnya dijumpai sebuah batu raga mas dan didalamnya terdapat
seorang bayi yang diselimuti kain berwarna kuning, ditangan kanannya
menggenggam sebutir telur ayam dan ditangan kirinya memegang sebilah keris mas.
Petinggi tersebut lebih trkejut
lagi, setelah dilihatnya tujuh dewa berdiri dihadapannya dan diantaranya
berucap: “Berterima kasihlah kamu, karena doamu dikabulkan untuk mendapatkan
anak. Bayi ini adalah keturunan Dewa-dewa di khayangan, karenanya tidak boleh
disia-siakan pemeliharaannya, jangan
dipelihara sebagai anak manusia biasa. Bilamana engkau akan memandikan anak
ini, janganlah dengan air biasa, akan tetapi dengan air yang diberi bunga-bunga
wangi. Dan apabila anakmu sudah besar, janganlah ia menginjak tanah sebelum
diadakan “Erau” (pesta), dimana pada waktu itu, kaki anakmu ini harus
diinjakkkan pada kepala manusia yang masih hidup dan pada kepala manusia yang
sudah mati. “Dan selain itu, kaki anakmu ini diinjakkan pula pada kepala kerbau
hidup dan kepada kerbau yang mati”. Dan demikian pula, bila anak ini untuk
pertama kali ingin mandi ke “tepian” maka hendaklah terlebih dahulu diadakan
upacara “erau” (pesta) sebagaimana pada upacara “tijak tanah”. Semua petunjuk
dewa tersebut dilaksanakan oleh Petinggi Jaitan Layar dan istrinya.
Setelah tiga hari tiga malam, maka
tanggallah (putus) tali pusat bayi itu. Maka semua penduduk Jaitan Layar
bergembira, dengan menembakkan “meriam
Sapu Jagat” sebanyak tujuh kali. Selama 40 hari dan 40 malam bayi itu
dipangku secara silih berganti dengan hati-hati.
Sesuai dengan petunjuk Dewa, maka
anak tersebut diberi nama Aji Batara
Agung Dewa Sakti.
Pada waktu Aji Batara Agung Dewa Sakti berusia lima tahun, maka sukarlah dia ditahan untuk
bermain-main di dalam rumah saja. Ia ingin bermain-main di halaman rumah dan
dialam bebas dan mandi di tepian. Maka Petinggi Jaitan Layar mempersiapkan
upacara tijak tanah dan upacara erau mengantar sang anak mandi ke tepian untuk
pertama kalinya. 40 hari dan 40 malam diadakan pesta Erau dimana disediakan
makanan dan minuman untuk penduduk. Gamelan
Gajah Perwata siang malam ditabuh, membawa suasana bertambah meriah.
Berbagai ragam permainan ketangkasan dipetunjukkan silih berganti.
Demikianlah sekilas riwayat singkat,
untuk pertama kalinya dilakukan upacara erau pada upacara tijak tanah dan mandi ke tepian yang dilakukan oleh penduduk Jaitan
Layar kepada Aji Batara Agung Dewa Sakti
yang kemudian akan menjadi cikal bakal keturtunan Raja-raja Kutai Kartanegara Ing Marta Dipura.
C. UPACARA ERAU DALAM PENGEMBANGANNYA
Sebagaimana diceritakan diatas, erau
pertama kali dilaksanakan yaitu pada upacara tijak tanah dan mandi ke tepian
ketika Aji Batara Agung Dewa Sakti berusia 5 tahun, setelah dia dewasa dan
diangkat oleh masyarakat Jaitan Layar sebagai Raja Kutai Kartanegara Ing Marta Dipura yang pertama (1300-1325),
juga diadakan upacara erau. Sejak saat itulah selalu diadakan setiap terjadi
penggantian atau penobatan Raja-raja Kutai Kartanegara.
Dalam perkembangannya, upacara adat
erau selain upacara penobatan Raja/Sultan, juga dalam kesempatan tersebut,
Raja/Sultan akan memberikan gelar kepada tokoh, pemuka masyarakat yang dianggap
berjasa terhadap pemerintahan Kerajaan/Kesultanan.
Upacara Adat Erau, pelaksanaannya
dilakukan oleh Kerabat Keraton/Istana dengan mengundang seluruh tokoh pemuka
masyrakat yang mengabdi kepada kerajaan. Mereka datang dari berbagai pelosok
wilayah kekuasaan kerajaan dengan membawa bekal bahan makanan, ternak,
buah-buahan dan tidak ketinggalan pula para artis seniman dan seniwati.
Dalam upacara adat Erau, Raja/Sultan
serta kerabat keratin lainnya, memberikan jamuan makan kepada rakyat dengan
memberikan pelayanan sebaik-baiknya, sebagai tanda terima kasih Raja/Sultan
atas pengabdian rakyatnya.
Setelah berakhirnya masa
pemerintahan Kerajaan/Kesultanan Kutai Kartanegara, Kutai menjadi daerah
otonomi, tradisi Erau tetap dipelihara dan ingin dilestarikan, sebagai warisan
budaya bangsa yang disesuaikan dengan alam pikiran dan pembangunan berdasarkan
norma-norma Pancasila.
Kini ERAU menjadi kegiatan rutin
Pemerintah Kabupaten Kutai, sebagai pesta rakyat, festival budaya, dalam rangka
memperingati Hari jadi Kota Tenggarong sebagai pusat Pemerintah di Kabupaten
Kutai Kartanegara.
D. TATA CARA ADAT ERAU
Tata cara adat ERAU adalah sebagai
berikut:
a.
Menjamu
Benua
b.
Mendirikan
Ayu
c.
Bebelian
d.
Joget
Dewa
e.
Beganjur
f.
Bepelas
g.
Seluang
Mudik
h.
Merebahkan
Ayu
i.
Mengulur
Naga dan Belimbur
j.
Syukuran
E. SUSUNAN UPACARA ADAT ERAU
1. MENJAMU BENUA
Menjamu Benua adalah upacara sebagai
pemberitahuan kepada Yang Maha Kuasa (dahulu kepada Dewa-dewa penguasa alam)
bahwa Raja/Sultan akan melakukan pesta rakyat dengan memohon keselamatan.
Menjamu Benua, biasa dilakukan beberapa
hari sebelum Erau dimulai, yaitu dengan melakukan upacara di tiga tempat yaitu:
a. Di
Kepala Benua (Kampong Mangkurawang)
b. Di
Tengah Benua (Kampong Panji)
c. Di
Buntut Benua (Kampong Timbalu)
Dahulu, kampong Mangkurawang
merupakan batas kota Tenggarong sebelah ulu dan
kampong Timbau batas kota
sebelah ilir.
Upacara Menjamu Benua ini, dilakukan
oleh para petugas Adat yang terdiri dari Tukang
Belian, Dewa, serta Pangkon.
Para pelaksana melakukan upacara dengan
Bebelian, dilengkapi dengan peralatan juhan, telasak, rumbai dan setelan
pakaian orang yang akan dieraukan. Waktu pelaksanaannya dari pagi hingga sore.
2. TEMPONG TAWAR
Upacara Tempong Tawar dilakukan pada
hari pertama Erau, yaitu dimulai dengan acara mendirikan Ayu, sebagai tanda
bahwa Erau telah dimulai. Saat itu, dilakukan pula acara tempong kepada Sesepuh
atau Pejabat untuk mendapatkan keselamatan dalam memimpin pemerintahan dan
rakyatnya.
Tata caranya yaitu dengan
mendudukkan para Sesepuh atau Pejabat tersebut pada sebuah balai yang terbuat
dari bamboo kuning berkaki atau bertiang sebanyak 31 atau 41 buah.
Upacara Tempong Tawar ini dipimpin
oleh seorang Pawang atau yang biasa disebut Dewa. Selesai upacara Tempong Tawar
kepada para Sesepuh dan Pejabat, kemudian dilakukan pula upacara Tempong Tawar
benda-benda tua atau barang tuha peninggalan para leluhur sebagai pensucian
terhadap benda-benda pusaka. Barang-barang tersebut semuanya masih berada di
Museum Negeri Mulawarman, antara lain:
· Tali
Juwita
· Kalung
Uncul
· Keris
Buritkang
· Gong
Raden Galuh
· Gamelan
Gajah Perwata
· Meriam
Sapu Jagat
· Meriam
Sari Gunung
· Gamelan
Eyang Ayu, dll.
Kelengkapan Juhan dalam Menjamu
Benua:
· Tambakan
nasi ketan 6 piring makan
· Tambakan
nasi ketan 6 piring kecil
· Panggang
ayam 1 ekor
· Ayam
hidup 1 ekor
· Peduduk
selengkapnya (berisi beras, kelapa, gula merah, sirih, kapur/penginangan,
benang lawai, buah pisang)
· Jambak
dan ringgitan
· Telur
ayam kampong 7 butir
· Juntaian
3. ADAT DAN KESENIAN KUTAI
Adat dan kesenian Kutai, dilakukan
pada malam hari di Istana/Keraton Kutai, dihadiri oleh seluruh kerabat Sultan
dan para tokoh pemuka masyarakat/pejabat.
Acara dimulai dengan: - Belian Bekenjong, dengan mengelilingi
seriding.
- Kemudian
dilanjutkan dengan tari Belian dan Dewa Memuja Ayu. Maksud kedua tarian ini
adalah untuk memberitahukan kepada para dewa agar turut serta turun ke bumi
dalam suasana suka cita pesta Erau serta memberikan semangat kepada para
hadirin.
- Setelah
itu dilakukan pula tari Dewa memanah sambil mengelilingi karang. Tari Dewa Memanah, terkandung maksud
agar dunia/ala mini bersih dari segala macam gangguan, malapetaka, dan bahaya
yang dapat menimbulkan kesengsaraan terhadap manusia.
- Selain
Tari Dewa Memanah juga dilakukan Tari Dewa
Besaong Manok (adu ayam).
- Pada
bagian lain, merupakan acara lanjutan kesenian adat kutai ini, dilakukan Dewa
menurunkan Sangiyang Sri Gamboh dan Pangeran Sri Ganjur. Pada saat itulah
dimulainya Tarian Beganjur, yang dilakukan oleh para kerabat keratin serta
undangan lainnya.
- Menjelang
berakhirnya acara Beganjur, maka para Dewa kembali memulangkan Sangiyang Sri Gamboh dan Pangeran Sri
Ganjur yang dipimpin oleh salah seorang keluarga Sesepuh Adat Kutai.
Acara Adat dan Kesenian Kutai ini
dilakukan setiap malam, dengan materi dan acara yang sama sampai pada hari yang
keenam menjelang malam penutupan.
Pada hari ke-enam malam ke-tujuh
penutupan, dilakukan acara selain yang disebut diatas, yaitu acara Besawai
dimana para pangkon, membawa beras Sri
Weja Kuning, yang kemudian diserahkan kepada salah seorang sesepuh Adat
untuk “Bekanjar” sambil menaburkan
beras Sri Weja Kuning kepada
pengunjung yang hadir. Pada saat itulah mulai ramai para pengunjung dan hadirin
saling berlempar-lemparan beras yang telah disediakan.
Setelah “Bekanjar” laki-bini selesai, maka dilakukanlah “Berpesiang teluk dan rantau” yang
dilakukan oleh tukang Belian.
Acara tersebut dilanjutkan lagi
dengan “Seluang Mudik” dimana
lelaqki sama lelaki, berlemparan beras, sedang perempuan dengan perempuan.
Suasana akan bertambah ramai menjelang pagi (subuh).
Lanjutan acara setelah Seluang
Mudik, para Dewa dan Tukang Belian melakukan kegiatan “menjala” secara berkeliling di Keraton dan kemudian dilakukan pula
acara “menjuluk buah bawar”.
Sebagai penutup acara Adat dan
Kesenian Kutai pada malam/pagi hari itu, diakhiri dengan pembacaan doa.
Dengan demikian maka berakhirlah
seluruh rangkaian Upacara Adat Erau. Besok harinya akan dilakukan Upacara “Ngulur Naga” yang diberangkatkan dari
Tenggarong menuju Desa Kutai Lama.
Acara ini merupakan simbolis
mengenang kembali peristiwa kehadiran Puteri
Karang Melenu yang menjadi isteri Permaisuri Aji Batara Agung Dewa Sakti, yang
selanjutnya menurunkan Raja-Raja atau Sultan Kutai Kartanegara. Acara Mengulur
Naga akan menjadi puncak pesta kegembiraan rakyat, karena pada saat itu orang
hadir mengikuti acara ini, akan melakukan siram-siraman air, yang maksudnya
adalah untuk mensucikan diri
Mereka yang hadir dan terlibat di
dalam lokasi belimbur tersebut tidak
boleh marah apabila badanya basah tersiram oleh orang lain.
4. UPACARA MENGULUR NAGA
· Riwayat Singkat Naga Erau
Di dalam legenda rakyat Kutai diriwayatkan
bahwa di kampong Melanti, Hulu Dusun berdiamlah sepasang suami isteri yaitu Petinggi Hulu Dusun dan Isterinya
bernama Babu Jaruma.
Usia mereka sudah cukup lanjut dan
belum juga mempunyai keturunan. Mereka selalu memohon kepada Dewata agar di
karuniai anak sebagai penerus keturunanya.
Suatu hari,keadaan alam menjadi
sangat buruk.Hujan turun dengan sangat lebat selama tujuh hari tujuh malam. Tak
seorang pun penduduk Hulu Dusun yang berani keluar rumah. Pada hari ketujuh,
petinggi Hulu Dusun dan isterinya Babu Jaruma pergi ke dapur untuk memasak.
Namun ternyata layu bakar untuk
memasak sudah habis, sedang untuk keluar
rumah tidak mungkin,karena takut kalau
di sambar petir. Akhirnya diputuskan untuk mengambil salah satu kasu atap
rumahnya untuk di jadikan kayu api.
Ketika kayu kasau itu di belahnya,
dia terkejut melihat di dalamnya ada seekor ulat kecil sedang melingkar dan
memandang kepada Petinggi dengan matanya yang halus,seakan- akan minta di
kasihani dan di pelihara. Pada saat ulat itu di ambil petinggi, keajaiban alam
pun terjadi. Hujan yang tadinya lebat di sertai giuntur dan petir selama tujuh
hari tujuh malam, Seketika itu menjadi reda dan hari menjadi terang benderang,
matahari memancarkan cahayanya dengan panas dan segar. Ulat kecil tadi di
pelihara Babu Jaruma dengan baik dan kemudian ulat itu setiap harinya selalu
membesar dan akhirnya merupakan seekor naga.
Suatu malam Petinggi Hulu Dusun
bermimpi bertemu seorang Puteri yang jelita. Puteri itu berucap: “Bapak dan Ibu
tak usah takut dengan Ananda, Meskipun Ananda sudah besar dan menakutkan orang
di desa ini. Iziinkan Ananda untuk pergi, dan
buatkanlah ananda sebuah tangga agar bisa meluncur ke bawah “.
Pagi harinya, maka di buatkanlah
tangga oleh Petinggi yang terbuat dari
kayu lampong dan anak tangganya dari
bambu yang diikat dengan akar lembiding.
Ketika Naga itu bergerak akan turun, kemudian terdengar pula suara Putri yang pernah didengar
Petinggi di dalam mimpinya tadi malam. “Bilamana Ananda telah turun ke tanah,
maka hendaknya Ayah dan Bunda mengikuti kemana saja Ananda merayap. Disamping
itupula Ananda minta agar Ayahanda membakar wejan hitam serta taburi aku dengan beras kuning. Jika aku merayap sampai ke sungai dan menenggelamkan
diriku kedalam air, maka Ananda harapkan agar Ayahanda dan Bunda mengiringi
buihku.
Sang Naga pun merayap menuruni
tangga itu sampai ke tanah dan selanjutnya menuju ke sungai dengan diirimgi
oleh petinggi dan isrtinya. Setelah sampai di sungai , berenanglah sang Naga
berturut-turut 7 kali ke hulu dan 7 kali ke hilir dan kemudian berenang ke Tepian batu.
Di Tepian batu, sang Naga berenang
kekiri 3 kali dan kekanan 3 kali dan akhirnya dia menyelam.
Ketika sang Naga itu menyelam,
timbullah angin topan yang dahsyat, air bergelombang, hujan gumtur dan petir
bersahut-sahutan. Perahu yang di tumpangi Petinggi dikayuh ke tepi.
Kemudian ketika cuaca menjadi
tenang, matahari timbul hanya disertai hujan rintik-rintik sedikit.
Petinggi dan istrinya menjadi heran,
kemanakah sang Naga tadi ?
Tiba-tiba saja air sungai mahakam
penuh dengan buih,Pelangi menumpukan warna-warninya ke tempat buih yang
menggelembung meninggi dari permukaan air.
Babu Jaruma melihat seperti ada
kumala yang bercahaya berkilau-kilauan. Mereka pun mendekati gelembung buih
yang bercahaya tadi, dan alangkah terperanjatnya meraka karena ditumpukan buih
itu terdapat seoarang bayi perempuan yang terletak di atas sebuah Gong.
Gong itu kemudian meninggi dan
tampaklah seekor Naga sedang menjunjung gong tersebut. Semakin gong dan naga
meninggi maik ke atas permukaan air, terlihat pula seeokor lembu yang
menjunjung naga itu. Lembu itu berpijak di atas sebuah batu.
Lembu itu adalah “Lembu Suwana.”
Perahu petinggi segera merapat di
tepi batu, kemudian batu itu tenggelam beserta Lembu Suwana dan Naga, hingga
akhirnya yang tertinggal hanyalah gong yang berisi bayi dan kayangan itu.
Gong dan bayi itu segera diambil
oleh Babu Jaruma dan dibawanya pulang.
Bayi itu dipelihara Babu Jaruma
dengan sukacita. Setelah genap tiga hari maka putuslah tali pusat bayi dan
sesuai dengan mimpin yang ditujukan kepadanya agar bayi itu di beri nama “PUTERI KARANG MELENU.”
Kelak setelah dewasa kedua anak dewa
ini akan bertemu, yaitu AJI BATARA AGUNG DEWA SAKTI dari Jaitan Layar dan PUTERI KARANG MELENU dari Hulu Dusun
yang kemudian menjalin perkawinan dan melahirkan putera yang bernama : AJI BATARA AGUNG PADUKA NIRA.
Demikanlah sekilas tentang ceritera
keberadaan binatang mitos Naga, sebagai symbol kesuciaan dalam upacara belimbur
untuk mengenang kehadiran Puteri Karang Melenu yang meruapkan ibu Suri dari
keturunan Raja-raja Kutai Kertanegara.
Upacara mengulur Naga dan Belimbur
Naga dibuat dari kerangka bambu,
dengan ukuran panjang 31,5 meter. Kepalanya terbuat dari kayu lempong(sesuai
denagn riwayatnya), berikut ekornya juga terbuat dari kayu lempong.
Setelah kerangka dan kepalanya
terpasang menjadi satu dengan ekornya, kemudian tubuhnya dibungkus dengan kain
kuning dan diberi bersisik warna-warni.
Lekuk badan Naga tersebut ada 5 atau
7 lekukan, tergantung panjang naga yang akan dibuat.
Setelah itu, pada bagian bawah badan
naga di pasang kayu sebagai kaki untuk mendirikan naga tersebut.
Naga yang dibuat dipersiapkan untuk
di ulur di Kutai Lama sebanyak dua ekor, dengan ukuran besar dan panjang yang
sama.
Kemudian kedua ekor Naga tersebut di
letakan di sisi kanan dan kiri Keraton/Istana, sejak awal Erau di mulai.
Pada saat hari penguluran Naga, di
persiapkan para Dewa, Pangkon, dan Dewa Belian untuk mengiring naga tersebut turun
dari Keraton/Istana menuju dermaga dan kemudian diletakan diatas kapal yang
sudah dipersiapkan.
Setelah Naga berada diatas kapal,
sebelum diberangkatkan ke Kutai Lama, terlebih dahulu diadakan Upacara “Beluluh” kepada para sesepuh /Pejabat
yang di-Eraukan.
Mereka didudukan diatas Balai Tambak
Karang kemudian di sawai di tempong tawari oleh Dewa atau Petugas Adat.
Seorang Pengkon atau Dewa yang
membawa air tuli kemudian menyerahkan tempat air tersebut kepada sesepuh atau
pejabat yang dieraukan untuk memercikan air tuli tersebut kepada yang hadir
pada saat itu, sebagai tanda di mulainya “Belimbur”.
Dimulailah pelaksanaan belimbur
dengan bersiram-siraman air, sementara itu Gamelan dibunyikan dan kapal motor
yang membawa Naga diberangkatkan. Disepanjang jalan sungai gamelan
terus-menerus di sembunyika, hingga sampai di Desa Kutai Lama.
Sesampainya di Kutai Lama tersebut
dibawa secara bolak-balik sebanyak 7 kali ke hulu dan 7 kali ke hilir,
sebagaimana diriwayatkan dalam legenda Kutai, ketika Naga petinggi Hulu Dusun
minta diantar di sungai Mahakam.
Setelah dibawa berputar ke kiri dan
ke kanan dari tepian batu, juga sebagaimana di riwayatkan dalam legenda Kutai
dan kemudian secara perlahan-lahan Naga tersebut di turunkan ke sungai Mahakam.
Pada saat itu, masyarakat yang hadir
di sekitar upacara biasanya mereka mendatangi naga tersebut dan berebut-rebutan
untuk mengambil kain pembalut bungus Naga. Sementara itu, seorang
petugas/pangkon di tugaskan untuk memotong kepala dan ekornya yang terbuat dari
kayu lempong tersebut.
Kepala dan ekor Naga tersebut di
bawa kembali ke Keraton/Istana untuk di simpan dan akan di pergunakan kembali
pada erau yang akan datang.
Apabila waktu sudah menunjukan pukul
18.00, maka semua kegitan belimbur, bersiram-siraman air sudah di hentikan dan
berakhir. Maka berakhirlah seluruh kegiatan Erau, dimana sebagai puncak
kemeriahannya tadi adalah Belimbur.
Bagi Remaja muda/mudi kesempatan
belimbur tersebut di manfaatkan untuk saling berkenalan dan mencari pasangan
yang kelak mungkin akan berujung pada perjodohan.
· Makna Belimbur
Belimbur untuk membersihkan diri
dari segala kotoran, kejahatan, niat-niat jahat yang sering menguasai diri
seseorang, serta memberikan kekuatan untuk menangkis segala bahaya dan
malapetaka yang sewaktu-waktu datang menyerang dan melekat dfi diri manusia.
Ketentuan Belimbur yang harus ditaati
Keharusan :
1. Menggunakan
air yang bersih.
2. Menyiramkan
air dengan sopan.
3. Bagi
wanita diharuskan memakai pakaian yang tidak tembus pandang apabila basah.
4. Terbatas
pada lokasi yang telah ditentukan.
5. Tidak
boleh marah, apabila terkena/tersiram air.
Larangan :
1. Membawa
senjata tajam selain petugas keamanan.
2. Menggunakan
air kotor atau benda-benda keras.
3. Memakai
barang perhiasan yang berharga.
4. Membawa
bayi
5. Mengendarai kendaraan di dalam lokasi
belimbur.
F. BENTUK PELAKSANAAN ERAU SAAT SEKARANG
Seperti telah diuraikan terdahulu
Erau di lakukan untuk upacara Keraton , merupakan tradisi warisan zaman
Kerajaan/Kesultanan Kutai Kertanegara sejak kelahiran Aji Batara Agung Dewa
Sakti dan Puteri Karang Melenu, sampai masa kemerdekaan.
Pada tahun 1971 Erau yang pertama
pada masa pemerintahan Bupati Drs.H.Ahmad Dahlan, tujuannya untuk pelestarian
seni budaya.
Erau kini sudah di anggap sebagai
awal untuk di jadikan komoditi ekonomi yang bisa di harapakan untuk mendapatkan
devisa lewat kunjungan wisatawan Mancanegara (Wisman) dan Wisatawan Nusantara
(Wisnu).
Untuk bisa menjaring lebih banyak
kunjungan wisatawan, maka Erau itu sendiri perlu adanya
penyempurnaan-penyempurnaan acara-acara yang di anggap bisa mempunyai daya
pikat dan daya tarik pengunjung yang ingim menyaksikan pelaksanaannya.
G. POLA ERAU SEBAGAI PESTA BUDAYA
Kebijakan Pemeritah Daerah
menjadikan Erau sebagai pesta budaya yaitu dengan menetapkan waktu
pelaksanaannya secara tetap pada bulan September yaitu di kaitkan dengan di
peringatinya Hari jadi Kota Tenggarong.
Pola Erau, tidak lagi dikaitkan
semata untukn upacara adat Kutai Keraton Kertanegara, tetepi lebih divariasi
dengan berbagai penampilan ragam seni dan budaya yang ada, serta hidup dan
berkembang di seluruh wilayah kecamatan dalam wilayah Kabupaten Kutai.
Oleh karena itu, dalam Erau sebagai
Pesta Budaya terdapat dua hal yang penting dalam pelaksanaan kegiatannya,
yaitu:
1. Kegitan
Pokok
2. Kegiatan
Penunjang
Kegiatan Pokok,
yaitu pelaksanaan upacara-upacara adat erau Kutai Kertanegara yang telah di
sesuaikn dengan alam fikiran dan pembangunan pada saat sekarang dan di
sesuaikan dengan norma-norma Pancasila.
Kegiatan Penunjang, yaitu Kegiatan yang sama sekali tidak ada kaitannya atau hubungannya
dengan Upacara Adat Erau Keraton Kutai Kertanegara.
Kegiatan Penunjang tersebut ,
Semata-mata sebagai tambahan dalam rangka pelestarian nilai-nilai seni dan
budaya daerah, agar bisa terus hidup dan berkembang ditengah-tengah perkembangan
zaman.
Yang Termasuk Kegiatan Pokok Erau
a. Menjamu
Benua
b. Menidurkan
Ayu
c. Kesenian
dan Adat Kutai
d. Menyisiki
Lembu Suwana, Tambak Karang
e. Beluluh
f.
Bekanjar
dan beganjur
g. Seluang
Mudik
h. Berlian,
Bekenjong
i. Dewa
Memanah, Besaong Manok, Menjala
j. Bepelas,
Tempong tawar
k. Merebahkan
Ayu, beburay, dan Syukuran
l.
Mengulur
Naga dan Berlimbur
m.
Ziarah
ke makam Aji Imbut
n. Ziarah
ke Kutai Lama
tuani sianipar