POTENSI PARIWISATA
KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA
TAHUN 2007
KUTAI KARTANEGARA
Kabupaten Kutai
Kartanegara dengan luas ± 27.263 km² terletak dibagian Timur Pulau Kalimantan,
sebuah wilayah yang dihiasi sejumlah sungai, utamanya sungai induk adalah
sungai Mahakam yang dapat dilalui kapal besar sampai ke daerah pedalaman.
Terdiri atas 18 Kecamatan dan 220 Desa/Kelurahan. Pada umumnya pusat pemukiman
masyarakat di Kabupaten Kutai Kartanegara adalah di tepi sungai atau Daerah
Aliran Sungai (DAS). Menurut data statistik (tahun 2006) sebanyak 51,56% desa
berada di wilayah sekitar daerah aliran sungai, sisanya berada di dataran dan
di daerah lereng atau punggung bukit.
Keberadaan pemukiman
penduduk yang sebagian besar berada di tepian sungai adalah karena tidak
terlepas dari kondisi lingkungan alam Kutai Kartanegara, yaitu berada di tepi
Sungai Mahakam anak sungai yang merupakan salah satu sungai yang terbesar dan
terpanjang di Pulau Kalimantan. Oleh karena itu sarana transportasi yang paling
dominant digunakan adalah sarana transportasi air, dalam hal angkutan barang
terutama di daerah pedalaman yang belum dapat ditempuh dengan jalan darat.
Namun saat itu sudah ada jalan darat yang menghubungkan ibukota Propinsi
Kalimantan Timur dan Kabupaten, Kutai Barat dan Kutai Timur.
Di pesisir sungai di
huni oleh beraneka ragam etnis suku dan dengan segala macam seni budaya yang
masih bersifat tradisional, sehingga menciptakan heteroginitas social dengan
segala fasilitas geografis dan topografi yang membuat Kalimantan Timur sangat
potensial bagi upaya pengembangan kepariwisataan, baik saat ini maupun dimasa
yang akan datang.
Kekayaan sumber daya
alam berupa hasil tambang, terutama minyak bumi dan batu bara. Kutai
Kartanegara sejak dahulu dikenal akan sumber daya alamnya terutama hasil hutan
berupa dammar, rotan, ulin, dan lain-lain. Bahkan juga terdapat sarang burung
wallet yang sudah dikenal akan khasiatnya. Berlimpahnya sumber daya ala mini
menjadi salah satu factor pendukung mengapa Kutai Kartanegara menjadi primadona
untuk investasi domestic dan mancanegara dalam sector bisnis.
Selain memiliki
kekayaan alam yang melimpah, Kutai Kartanegara juga memiliki kekayaan khasanah
budaya dan adapt istiadat yang masih tetap ada hingga sekarang dan menjadi
potensi pariwisata yang menjanjikan bagi kemajuan Kutai Kartanegara yang sedang
menggalakkan sektor pariwisata sebagai sektor andalan selain sumber daya alam.
Potensi pariwisata berupa adapt istiadat dari Suku Kutai dan Dayak sebagai
penduduk asli Kutai Kartanegara dan diperkaya dengan adapt istiadat suku di
luar penduduk asli, yaitu Banjar, Jawa, Bugis, Madura, dan lain-lain.
POTENSI
PARIWISATA
A.
Sejarah dan
Peninggalan Kerajaan Kutai Kartanegara
1.
Sejarah
Kecamatan Muara
Kaman diyakini sebagai tempat bersejarah dimana berdirinya Kerajaan Hindu
pertama dan tertua di Indonesia,
hal ini ditandai dengan ditemukannya tujuh buah yupa prasasti yang bertuliskan
sejarah tentang berdirinya kerajaan ini. Dapat dikatakannya bahwa keberadaan
yupa di Muara Kaman ini sangat penting bagi rekontruksi sejarah nasional,
terutama periode awal munculnya kerajaan yang bercorak Hindu-Buddha di Indonesia.
Hal ini berarti bahwa peradaban paling awal di Indonesia lahir di wilayah Kutai
Kartanegara.
Berdasarkan
paleografi, huruf yang tertera pada yupa ini ditulis dengan huruf Pallawa awal
dan bahasa Sansekerta yang berasal dari abad ke 5 masehi. Bahasa sansekerta
adalah bahasa yang hanya digunakan oleh Kaum Brahmana dalam kitab-kitab Veda.
Dari tujuh Yupa ini diketahui bahwa yupa ini didirikan oleh para brahmana
sebagai peringatan peobatan Raja Mulawarman, yang menyebutkan bahwa Kudungga
dan Aswawarman adalah kakek dan ayahnya, yang juga sebagai raja sebelum
dirinya. Sayangnya setelah pemerintahan Mulawarman berakhir, tidak ada
informasi apapun mengenai keadaan kerajaan di Muara Kaman. Barulah pada abad
ke-13 M dan seterusnya diperoleh informasi dari Kitab Silsilah Kutai mengenai
Kerajaan Martapura di tanah hulu, Muara Kaman. Hal ini dikatakan sebagai
periode gelap dalam rekontruksi sejarah Kerajaan Kutai, antara abad ke-5 dan
abad ke-13 M.
Kerajaan Kutai Hindu
dikenal juga dengan sebutan Kutai Ing Martapura. Sejak abad ke-14 berubah nama
menjadi Kutai Kartanegara. Setelah menyatu dengan Kerajaan Pantai/Pesisir maka
nama kerajaan tersebut menjadi Kutai Kartanegara Ing Martapura pada abad ke-17.
Pada pemerintahan
raja keenam, yaitu dipimpin oleh Raja Adji Raja Mahkota (1525-1600), kerajaan
ini mulai memeluk agama Islam. Sejak pemerintahan raja keenam inilah, agama
isalm menjadi agama mayoritas masyarakat Kutai. Pada masa pemerintahan Adji Raja Muhammad Parikesit, beliau membangun sebuah mesjid
yang diberi nama Masjid Jami’ Adji Amir Hasanoeddin di Istana Sultan Kutai yang
sekarang menjadi Museum Mulawarman.
Pada tahun 1945,
ketika Indonesia
telah memproklamasikan kemerdekaannya, Kesultanan Kutai masuk ke dalam federasi
Kalimantan Timur dengan status Daerah Swapraja. Pada 27 Desember 1949, Kutai
bergabung ke dalam Republik Indonesia Serikat, kemudian 10 April 1950 Federasi
Kalimantan Timur bergabung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kutai Kartanegara pernah menjadi Daerah Istimewa dan
statusnya kembali berubah menjadi Kabupaten bersama dengan Berau, Bulungan dan
Pasirsebagai bagian dari Propinsi Kalimantan Timur.
Dengan ditetapkannya
sebagai Kabupaten, maka Kutai pun dipimpin oleh seorang Bupati dan berakhirlah
masa Kesultanan Kutai dengan Sultan yang terakhir yaitu Sultan Adji Muhammad Parikesit yang kemudian terpilih menjadi Bupati Kutai yang pertama.
Kemudian
pada tahun 1999, tradisi kesultanan Kutai Kartanegara dihidupkan kembali oleh
Pemerintahan Kabupaten Kutai Kartanegara sebagai upaya pelestarian sejarah dan
budaya Kutai. Pemangku adapt Kutai yang merupakan Putra Mahkota Kesultanan Kutai
dinobatkan menjadi Sultan Kutai dengan gelar Sultan Aji Muhammad Salehuddin II
pada tanggal 22 September 2001 dan ditandai dengan pemasangan Mahkota atau
Ketopong.
2.
Peninggalan Kerajaan
Kutai Kartanegara
a.
Museum Negeri
Mulawarman
Bangunan Keraton
Kutai Kartanegara terletak di Ibukota Kabupaten Kutai Kartanegara (Tenggarong),
Kraton peninggalan Kerajaan Kutai Kartanegara ini sekarang telah beralih fungsi
menjadi Museum Mulawarman, didirikan pada tahun 1932 oleh Pemerinthana Belanda
yang menyerahkan Keraton kepada Sultan Adji Muhammad Parikesit pada tahun 1935.
Bahan bangunannya didominasi oleh beton mulai dari ruang bawah tanah, lantai,
dinding, penyekat hingga atap.
Di halaman depan
Museum terdapat duplikat Patung Lembu Swana yang merupakan lambing Kerajaan
Kutai Kartanegara. Arsitektur dari museum ini mengadopsi dari arsitektur
tradisional Suku Dayak yang ada di Kutai.
Museum Mulawarman
dulunya merupakan bekas Keraton Kutai Kartanegara. Museum ini menyimpan
berbagai kolekasi benda-benda yang mempunyai nilai sejarah / seni yang tinggi.
Museum ini memiliki
koleksi-koleksi sejarah yang terkenal, antara lain:
§
Singgasana,
sebagai tempat duduk Raja dan Permaisuri. Kursi ini terbuat dari kayu, dudukan
dan sandarannya diberi berlapis kapuk yang berbungkus dengan kain yang berwarna
kuning, sehingga tempat duduk dan sandarac kursi tersebut terasa lembut. Kursi
ini dibuat dengan gaya
eropa, penciptanya adalah seorang Belanda bernama Ir.Vander Lube pada tahun
1935.
§
Patung Lembu Swana Lambang Kesultanan Kutai, dibuat di Birma pada tahun
1850 dan tiba di Istana Kutai pada tahun 1900. Lembu Swana diyakini sebagai
kendaraan Tunggangan Batar Guru. Nama lainnya adalah Paksi Liman Janggo Yoksi,
yakni Lembu yang bermuka gajah, bersayap burung, bertanduk seperti sapi,
bertaji dan berkukuh seperti ayam jantan, berkepala raksasa dilengkapi pula
dengan berbagai jenis ragam hias yang menjadikan patung ini terlihat indah.
§
Kalung Uncal,
benda ini merupakan atribut dan benda kelengkapan kebesaran Kesultanan Kutai
Kartanegara yang digunakan pada waktu penobatan Sultan Kutai menjadi Raja atau
pada waktu Sultan merayakan ulang tahun kelahiran dan penobatan Sultan serta
acara sacral lainnya.
§
Meriam Sapu Jagad Peninggalan VOC, Belanda
§
Prasasti Yupa, yang terdapat di Museum ini adalah tiruan dari Yupa yang asli
yang terdapat di Museum Nasional di Jakarta. Prasasti Yupa adalah prasasti yang
ditemukan di Bukit Brubus Kecamatan Muara Kaman. Ke 7 prasasti ini menandakan
dimulainya zaman sejarah di Indonesia yang merupakan bukti tertulis pertama
yang ditemukan dan berhuruf Pallawa bahasa Sansekerta.
§
Seperangkat Gamelan dari Keraton Yogyakarta 1855
§
Arca Hindu dan 7 Replika Prasasti Yupa
§
Seperangkat
Meja Tamu peninggalan Kerajaan Bulungan
§
Ulap Doyo,
hasil kerajinan Suku Dayak Benuaq
§
Minirama tentang sejarah Kerajaan Kutai Kartanegara
§
Koleksi Numismatika (mata uang dan alat tukar lainnya)
§
Koleksi Keramik dari Cina, Jepang, Vietnam dan Thailand
§
dll
b.
Kedaton Kutai Kartanegara
Kedaton terletak di
pusat Kota Tenggarong, di belakang Museum Mulawarman dan di depan Monumen
Pancasila Tenggarong atau jalan Monumen Barat. Dan letaknya tidak jauh dari
Museum Mulawarman, Planetarium Jagad Raya dan Masjid Jami’ Adji Amir Hasanoeddin.
Dibangun pada tahun 2001 dan sejarah dibukanya obyek wisata ini adalah untuk
melestarikan budaya Kutai. Pihak Kesultanan membuat Lembaga Adat dan Dewan Adat
di setiap daerah-daerah yang merupakan wilayah Kerajaan Kutai sebagai wadah
untuk melestarikan budaya, fungsinya sebagai perpanjangan tangan dari
Kesultanan Kutai.
Arsitektur Kedaton
Kutai Kartanegara merupakan perpaduan gaya
modern dan gaya
istana Kerajaan Kutai Kartanegara. Ruangan istana nampak megah dan mewah dengan
tatanan Singgasana Sultan di kelilingi oleh kursi yang terbuat dari emas. Di
sebelah kiri Singgasana terdapat tempat tidur tradisional khas Kutai dan di
ruangan itu juga terdapat gamelan Jawa.
Di dalam Kedaton
juga terdapat banyak ukiran yang berciri khas adapt Kutai, Dayak dan Jawa untuk
menunjukkan bahwa Kerajaan Kutai Kartanegara memiliki hubungan sejarah yang
erat dengan suku Dayak dan Kesultanan Jawa.
3.
Masjid Jami’ Adji
Amir Hasanoeddin Tenggarong
Masjid Jami
Hasanuddin masuk wilayah Kesultanan Kutai Kartanegara dan crri khas kerajaan
Kutai yang ada pada zaman Raja Adji Mahkota berupa mushola kecil dan dibangun
menjadi masjid berukuran besar pada tahun 1930 pada saat Kerajaan Kutai
diperintah oleh Sultan Adji Mohammad Parikesit (1920-1959).
Pembangunan Masjid
Jami’ Adji Amir Hasanoeddin tahap pertama dilaksanakan pada saat Kerajaan
diperintah oleh Sultan Adji Mohammad Sulaiman dan tahap kedua dilaksanakan oleh
cucunya yaitu Sultan Adji Muhammad Parikesit dan diprakarsai oleh seorang
Menteri Kerajaan yang bernama H.Adji Amir Hasanoeddin dengan gelarnya Haji Adji
Pangeran Sosro Negoro. Nama Menteri inilah yang kemudian diabadikan menjadi
nama Masjid ini.
Koleksi yang
terdapat dalam Masjid ini adalah Menara masjid, Tiang Guru, Mimbar masjid dan
Sudut Mihrab masjid.
Bangunan mesjid dirancang
permanent bercorak rumah adapt Kalimantan Timur. Atapnya tumpang tiga dengan
puncaknya berupa bentuk limas segi lima.
Pada setiap tingkatan ditandai ventilasi yang jumlahnya bervariasi, bergantung
pada besar kecilnya bangunan. Masjid ini memiliki peran besar bagi masyarakat
Tenggarong dan sekitarnya. Karena mengandung nilai-nilai historis yang tidak bisa
dilupakan begitu saja oleh umat Islam, masjid ini sudah ditetapkan sebagai
salah satu masjid yang bersejarah di Indonesia.
B.
Kawasan dan Obyek
Wisata di Kabupaten Kutai Kartanegara
1.
Kawasan Wisata Alam
Bukit Bangkiray
Kawasan wisata alam
Bukit Bangkirai ini berada di areal PT.Inhutani I Unit Manajemen Hutan Tanaman
Industri (UMHTI) dan diresmikan pada tanggal 14 Maret 1998 oleh mantan Menteri
Kehutanan Ir.Djamaluddin Susyohadikusumo. Merupakan kawasan yang berperan
penting untuk mengembangkan monument hutan alam tropika basah.
* Canopy
Bridge (Jembatan Tajuk), merupakan jembatan yang menghubungkan pohon canopy
satu dengan pohon canopy lain setinggi 25-30 mtr dari permukaan tanah dengan
panjang keseluruhan 64 mtr dan menghubungkan 5 pohon Bangkiray. Dari atas
jembatan dapat dilihat formasi Tajuk Tegakan Dipterocarpacea sebagai cirri dari
Hutan Hujan Tropis yang cukup indah dan membentuk stratum atas yang saling
sambung menyambung.
* Pada
kawasan Bukit Bangkiray terdapat rumah panjang yang dapat dipergunakan untuk
ruangan sarasehan atau ruang serba guna yang berbentuk rumah adapt Dayak dengan
kapasitas 50-70 orang.
*
Cottage
dan Restaurant, terdapat 5 cottage bergaya rumah adapt panggung dengan
fasilitas yang lengkap.
*
Jalam
setapak (Trek), merupakan sarana Adventure Jungle untuk menjelajahi kawasan
Hutan Bangkiray, dilengkapi dengan fasilitas untuk mengamati flora/fauna yang
unik dan langka seperti beruang madu, jenis-jenis burung, babi hutan, monyet
dan lainnya. Serta aneka ragam flora seperti jenis-jenis anggrek dan tanaman
langka lainnya.
*
Jungle
Tracking, dengan 7 trek yang panjangnya 150 mtr s/d 6 km
*
Pondokan
(shelter), sebagai tempat istirahat dan makan bersama, juga sebagai tempat
untuk mengamati satwa-satwa liar.
*
Jungle
Cabin dan Mini Canopy Bridge, merupakan bangunan yang bernuansa alam dan berada
di alam hutan.
Keanekaragaman Flora
*
Pohon
Bangkiray, merupakan mascot utama dari Bukit Bangkiray
*
Koleksi
Anggrek, yaitu Anggrek Hitam, Anggrek Tebu, Anggrek Mata, Anggrek Bintang
Berpijar, dan lain-lain
*
Kebun
Buah-buahan Hutan, yaitu Buah Manggis, Buah Mentega, Buah Lai, Buah Rambai
Palembang, Ramania dan Buah Kalangkala.
Keanekaragaman Fauna
*
Burung-burung,
terdapat 113 jenis burung, antara lain Punai, Kirik-kirik Biru, Kacep, Murai
Batu, Sepah, dll.
*
Jenis
fauna lainnya seperti Owa-owa, Beruk, Lutung Merah, Monyet Ekor Panjang, Babi
Hutan, dan Bajing Terbang
*
Penangkaran
Rusa, jenis yang ditangkarkan adalah Rusa Sambar.
Program Adopsi Pohon
Program ini
merupakan program yang mengajak pihak luar berpartisipasi menjadi orang tua
asuh terhadap pohon yang tumbuh dan berada di kawasan Bukit Bangkiray dengan
cara membayar iuran untuk keperluan pemeliharaan pohon tersebut.
Juga ada Program
Tanaman Memorial yang merupakan suatu bentuk respon bagi pengunjung yang ingin
memiliki kenang-kenangan setelah berkunjung ke wisata Bukit Bangkiray dengan
cara menanam di areal yang telah disediakan oleh Pengelola Kawasan Bukit
Bangkiray.
2.
Kawasan Wisata
Agrowisata Batuah
Kawasan ini terletak
di jalan utama Samarinda dan Balikpapan.
Dengan luas 35 Ha, kawasan ini berkonsep pertanian, alam dan wisata dan berada
diantara pertanian rakyat desa Batuah Kecamatan Loa Janan Kabupaten Kutai Kartanegara.
Terdapat berbagai
macam jenis anggrek di Agrowisata ini, diantaranya adalah Anggrek Alam,
Dandrobium, Anggrek Vanda, Anggrek Bulan dan tanaman hias lainnya.
Anggrek-anggrek di tempat ini juga dapat dibeli dengan harga yang relative
murah.
Selain Anggrek, juga
terdapat Rumah Kaktus dan merupakan salah satu obyek yang dapat dikunjungi.
Terdapat 10 rumah kaktus yang berjejer rapid an berwarna-warni. Sama dengan
anggrek, kaktus ini pun dapat dibeli dengan harga yang relatif murah.
Dikawasan inipun terdapat
kolam pemancingan yang juga merupakan salah satu andalan dari Agrowisata
Batuah. Terdapat 3 buah kolam yang berada di lekukan perbukitan yang dapat
menampung ± 100 orang pemancing.
Fasilitas lainnya
adalah Jogging Treck dan Camping Ground. Dengan lokasi yang terhampar luas
serta berada pada dataran tinggi ditengah-tengah kebun buah-buahan sehingga
setiap pengunjung dapat menikmati suasana alam yang indah dengan angin
sepoi-sepoi dan adanya aroma keharuman bunga yang menyegarkan.
Aneka buah-buahan yang
terdapat di Agrowisata ini, diantaranya adalah jenis-jenis Rambutan seperti
Binjai, Lebak Bulus, Rapiah, Antalagi, dll, Durian, nanas, Salak Pondoh, Jambu,
dll
Fasilitas yang
terdapat di Agrowisata ini adalah café, fergola dengan payung bunga, saung tempat
istirahat, toilet dan villa dengan gaya
rumah panggung yang disewakan bagi pengunjung yang ingin bermalam.
3.
Kawasan Wisata
Pantai Tanah Merah Samboja
Pantai Tanah Merah
Samboja terletak di Desa Tanjung Harapan Samboja, 14 km dari persimpangan jalan
raya Balikpapan-Samarinda (km 50) dan berjarak 127 km dari Tenggarong dengan
luas ± 8 Ha
Pantai ini berpasir
putih dan ditumbuhi pohon cemara yang tumbuh lebat memperindah pesisir pantai.
Meruapakan tempat yang sangat cocok untuk berkreasi dan berkemah sambil berburu
kepiting dan memancing ikan. Tempat ini dapat dicapai dengan menggunakan
kendaraan roda dua dan empat.
4.
Danau Semayang dan
Danau Melintang
Danau Semayang dan
Danau Melintang terletak tidak jauh dari Kota Bangun. Dua Danau ini akan
menyatu saat arus sungai Mahakam turun. Tapi saat air sungai Mahakam naik di
waktu malam hari, dua danau ini terpisah.
Danau Semayang
berada di sebelah kiri dan Danau Melintang di sebelah kanan.
Di dua danau ini
wisatawan dapat menikmati pemandangan hamparan sungai yang tenang dan juga
kicauan burung. Keindahan alam ini mencapai puncaknya pada saat matahari terbit
dan terbenam. Seolah-olah matahari terbit dan tenggelam di tengah rimba Pulau
Kalimantan. Di dua danau ini juga terdapat spesies ikan pesut yaitu lumba-lumba
air tawar yang sangat jarang dijumpai.
Selain sebagai
kawasan wisata alam, Danau Semayang dan Danau Melintang juga dijadikan sumber
mata pencaharian bagi penduduk Desa Semayang Kenohan dan Desa Pela.
5.
Kawasan Wisata Pulau
Kumala
Kawasan wisata Pulau
Kumala terletak di tengah sungai Mahakam dengan luas 76 Ha merupakan perpaduan
antara tehnologi modern dan budaya tradisional. Di desain menjadi Taman Wisata
Rekreasi dan ditata rapi dengan perpaduan arsitektur bertehnologi modern dan
budaya tradisional.
Sejak tahun 2000
Pulau Kumala dibangun menjadi Kawasan Wisata. Pembangunan kawasan wisata Pulau
Kumala dilakukan secara bertahap dan berkembang. Dan terus menerus dilakukan
penambahan fasilitas rekreasi yang akan dapat terus menarik pengunjung,
khususnya bagi pengunjung yang membawa keluarganya untuk berakhir pecan dan
menikmati segala fasilitas di Pulau Kumala yang eksotis.
Pulau ini dibangun
menyerupai TMII di Jakarta, dan dibangun untuk menampilkan kebudayaan Kalimantan dengan perpaduan antara suku Kutai, Dayak dan
Jawa. Hal ini dapat dilihat dengan adanya Lamin, serta bangunan Candi yang
disebut Pura Pasak Pulau sebagai salah satu tempat ibadah penganut Hindu di
Kabupaten Kutai Kartanegara, serta patung besar Lembu Swana yang berada di
bagian ujung pulau yang menghadap kea rah jembatan Kutai Kartanegara yang
megah.
Untuk menyebrangi
Pulau Kumala dapat menggunakan angkutan air berupa Longboat atau perahu
tradisional (Ketingting/Ces), biaya yang dikenakan untuk menyeberang dengan ces
sebesar Rp.2.500,-/orang, dan lama penyeberangan sekitar 10 menit, namun bila
pengunjung berminat, juga dapat menggunakan Kereta Gantung yang terletak di
Tenggarong Seberang untuk menyeberang ke Pulau Kumala. Di Pulau ini dapat
dinikmati tempat rekreasi dan arena bermain untuk keluarga dan anak-anak.
6.
Waduk Panji Sukarame
Waduk ini terletak
di Kelurahan Panji Sukarame dan berada diatas lahan 32 Ha, merupakan taman
rekreasi yang sangat bagus untuk dinikmati dengan adanya pemandangan alam dan
air waduk yang tenang. Luas lahan adalah ± 32 Ha. Di sekeliling waduk banyak
terdapat gazebo atau pondok berteduh untuk tempat beristirahat bagi para pengunjung.
Di areal waduk ada café atau warung untuk tempat makan dan minum serta panggung
untuk tempat pertunjukan musik.
7.
Taman Anggrek
Sendawar
Lokasi Taman Anggrek
Sendawar berada dalam kawasan Waduk Panji Sukarame dan terletak dibelakang
Waduk dengan luas ± 2 Ha. Taman Anggrek ini mempunyai ± 43 koleksi Anggrek yang
dikumpulkan dari berbagai daerah kecamatan. Dibukanya obyek wisata ini adalah untuk
melestarikan kekayaan flora khas yang ada di Kalimantan.
8.
Museum Kayu Tuah
Himba
Museum Kayu Tuah
Himba terletak tidak jauh dari Kawasan Waduk Panji Sukarame yaitu berjarak
sekitar 600 mtr dari waduk. Dibangun dengan bangunan kayu panggung yang berukuran
20x20 m². Bangunan ini dikelilingi oleh pohon-pohon tinggi menyerupai hutan
lindung. Pengunjung dapat menyaksikan beraneka ragam koleksi yang berkaitan
dengan kehutanan, khususnya hutan Kalimantan
yang akay akan berbagai jenis pohon. Yang melatarbelakangi dibukanya obyek
wisata ini adalah karena adanya buaya yang telah diawetkan dalam Museum Kayu
tersebut.
Koleksi dari Museum
Kayu, antara lain:
*
Kerajinan
Kutai yang terbuat dari rotan, al: Lemari Kursi, Lampu, Tempat Tidur, dll
*
Kerajinan
Dayak, al: Anjat, Patung, Mandau, Ukiran Dayak (kayu ulin)
*
Miniatur
Rumah khas Dayak
*
Jenis-jenis
Kayu di hutan Kutai Kartanegara
*
Koleksi
jenis Kayu 200 buah
*
Koleksi
jenis-jenis Daun Kayu yang dikeringkan 200 buah
*
Koleksi
Biji-bijian
*
Koleksi
potongan Log atau Batangan Pohon yang tumbuh di hutan Kalimantan
*
Buaya
Muara yang diawetkan (jantan dan betina)
*
Koleksi
Kepiting pemakan sari kelapa.
9.
Planetarium
Planetarium Jagad
Raya terletak di jalan Diponegoro, disebalah kiri Museum Mulawarman dan
dibangun pada tahun 2002 dan diresmikan pada tanggal 16 April 2003.
Tempat ini merupakan
sarana wisata ilmu pengetahuan untuk menikmati keindahan alam semesta berupa
bintang-bintang, planet dan segala sesuatu di angkasa luar. Planetarium ini
merupakan yang ketiga di Indonesia
setelah Planetarium Jakarta dan Planetarium Angkatan Laut di Surabaya yang
berfungsi sebagai sarana pendidikan astronomi bagi publik.
Planetarium ini
merupakan tempat Teater Bintang atau Teater Alam, karena dapat memperlihatkan
isi alam semesta serta susunannya.
Alat peraga yang
digunakan berupa Proyektor Skymaster ZKP 3 buatan perusahaan Carl Zeiss Jerman,
dengan tinggi maksimum 2750 mm dan berat mencapai 250 kg, lensa yang
dimilikinya adalah 100 lensa. Memproyeksikan gambar matahari, bulan, komet,
meteor, bintang, rasi, galaksi, dll.Selain proyektor utama, pada Skymaster ZKP
3 juga terdapat pendukung lainnya berupa proyektor effect dan 8 buah proyektor
slide yang berfungsi untuk memproyeksikan gambar.
Ruang yang digunakan
sebagai ruang peragaan memuat 92 kursi yang ditempatkan melingkari proyektor
dan saat pertunjukan dimulai, ruangan terttutup rapat sehingga tidak ada cahaya
yang masuk dan sirkulasi udara di atur dengan pendingin ruangan.
Tarif Dewasa
Rp.7.500,- dan Anak-anak Rp.5.000,-
10.
Jembatan Kutai
Kartanegara
Kota Tenggarong
sebagai ibukota Kabupaten Kutai Kartanegara, terdapat banyak pilihan obyek
wisata yang dapat dinikmati ataupun dikunjungi oleh wisatawan, diantaranya
yaitu Jembatan Kutai Kartanegara, Jembatan ini merupakan saran penghubung
antara Tenggarong Seberang dengan Kota Tenggarong. Panjang Jembatan adalah 580
meter. Dibangun menyerupai Golden Gate yang
terdapat di San Fransisco. Jembatan ini juga merupakan akses menuju Kota
Samarinda yang dapat ditempuh hanya 30 menit. Setiap kendaraan roda empat dikenakan
retribusi Rp.1.000. Melewati Jembatan Kutai Kartanegara ada pemandangan menarik
yang dapat disaksikan, yaitu hamparan sebuah pulau kecil yang memisahkan Kota
Tenggarong dan Kecamatan Tenggarong Seberang, yaitu Pulau Kumala, sebuah pulau
yang telah disulap menjadi Kawaasan Wisata Rekreasi yang banyak diminati oleh
wisatawan Nusantara karena merupakan kawasan rekreasi keluarga yang hamper
mirip dengan Taman Mini Ancol di Jakarta.
Dikawasan Jembatan
Kutai Kartanegara juga terdapat Jam Bentong yang merupakan sebuah tugu yang
terdapat 4 buah jam besar yang disekelilingnya terdapat taman-taman yang
terlihat asri dan indah jika dilihat dari atas jembatan. Di dekat jembatan
dibangun sarana olah raga panjat dinding sebanyak 2 buah. Kawasan ini setiap
sorenya selalu dipenuhi oleh pengunjung yang dapat menikmati keindahan jembatan
Kutai Kartanegara serta memandangi Pulau Kumala dari kejauhan.
11.
BOS (Borneo Orang
Utan Survival)
Awal sejarah
berdirinya BOS adalah tahun 1991 yang merupakan proyek rehabilitasi orang utan,
beberapa kali berganti nama hingga akhirnya terbentuklah Yayasan Penyelamatan
Orangutan Borneo (The Borneo Orangutan Survival Foundation) atau disingkat BOS.
BOS-Satwa terletak
di jalan Balikpapan-Handil Km.44 kel Margomulyo, Kecamatan Samboja Kabupaten
Kutai Kartanegara, dengan alamat website: www.orangutan.or.id
Kegiatan utama dari
BOS adalah melakukan rehabilitasi satwa sebelum dilepaskan ke habitat aslinya.
Areal BOS-Samboja
adalah seluas ± 1800 Ha dan menjadi tempat perlindungan satwa liar, terutama
bagi Orangutan dan Beruang Madu yang tidak dapat dilepas liarkan kea lam karena
penyakit, umur yang sudah tua dan cacat lainnya.
Terdapat enam pulau
buatan yang sengaja diperuntukkan sebagai tempat orangutan. Kawasan konservasi
satwa juga dilengkapi dengan Sekolah Hutan yang menyediakan tempat bermain dan
pengenalan kembali ketrampilan yang diperlukan orangutan untuk hidup setelah
dilepas liarkan ke habitat aslinya.
BOS juga memiliki
sebuah program eco wisata yang disebut SAMBOJA LODGE yang mengedepankan misi
kelestarian lingkungan di dalamnya. Beberapa paket yang ditawarkan dalam
program Samboja Lodge adalah mengikuti beberapa kegiatan harian Yayasan BOS
dalam Program Rehabilitasi Satwa (Orangutan dan Beruang Madu), kegiatan
rehabilitasi lahan kritis, kegiatan kebun organic, kegiatan pembuatan pupuk
organic (kompos) dan pengamatan kehidupan liar yang ada di sekitar areal
BOS-Samboja Lestari.
Adat
Istiadat dan Budaya Kerajaan Kutai Kartanegara
1.
Festival ERAU
ERAU adalah suatu
ritual dalam budaya Keraton Kutai Kartanegara yang telah menjadi perekat
persatuan masyarakat. Setiap kali ritual Erau diselenggarakan,
berbondong-bondong masyarakat berdatangan dari dalam maupun luar daerah untuk
menyaksikan dan berpartisipasi dalam acara ini.
Awalnya Festival ERAU diselenggarakan oleh Keraton
Kutai Kartanegara dalam rangka Penobatan Raja, peringatan penobatan Sang Raja
maupun penobatan Putra Mahkota Kerajaan pada Pesta Adat Erau, kerabat keratin
mengundang seluruh tokoh pemuka masyarakat yang mengabdi pada kerajaan untuk
datang ke ibukota untuk turut merayakan Erau bersama-sama yang dilaksanakan
dalam waktu yang ditentukan.
Kemudian sejak tahun
1970, upacara Erau tidak lagi dilaksanakan untuk memperingati naik tahtanya
Sultan, melainkan dalam rangka perayaan Ulang Tahun Kota Tenggarong yang berdiri pada
tanggal 29
September 1782.
Atas petunjuk
Sultan, maka Erau dapat dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten Kutai dengan
kewajiban untuk mengerjakan beberapa upacara Adat tertentu yakni Menjamu Benua,
Mendirikan Ayu, Menyisik Lembu Suana dan Tambak Karang, Beluluh, Bekanjar,
Beganjur, Bekenjong, Dewa Memanah, Besaong Manok, Menjala, Bepelas, Tepong
Tawar, Merebahkan Ayu, Beburay, Mengulur Naga dan Belimbur dan telah terjadwal dalam acara.
Propsesi
ERAU dimulai dengan Menjamu Benua
yakni upacara untuk memberi makan pada orang-orang halus (orang gaib) penjaga kota di bagian hulu, tengah dan hilir Benua (kota). Kemudian Mendirikan Ayu, dengan
didirikannya Tiang Ayu maka pesta Adat ERAU pun secara resmi dibuka.
Salah
satu prosesi adapt yang unik dalam festival Erau ini adalah Belimbur. Pada acara ini Sultan Mandi Rangga Titi dengan
menggunakan air yang diambil dari Kutai
Lama. Pada waktu yang sama pula, seluruh masyarakat boleh saling
menyiram/melimbur dengan air bersih. Tidak ada yang boleh marah apabila terkena
siraman air dari orang lain. Makna dari acara Belimbur ini adalah untuk
membersihkan jiwa seluruh penghuni Keraton dan rakyat di Kerajaan Kutai
Kartanegara.
Upacara
terkahir dalam prosesi Erau adalah “Merebahkan
Ayu” yang dilakukan oleh para Pangeran atau kerabat yang dituakan (senior).
Rebahnya Ayu menandakan berakhirnya perayaan Erau. Sesudahnya dilakukan
pembacaan doa keselamatan dan dilanjutkan dengan acara berlemparan atau betebak
beras disusul dengan pukulan gong golong, dengan pukulan sekehendak hati
pemukulnya.
Selanjutnya
seluruh kerabat dan masyarakat luas saling bersalaman memohon maaf atas
kekhilafan baik dalam pergaulan dan bertutur dalam pergaulan sehari-hari.
Dengan demikian usailah perayaan Erau, ritual yang dalam berabad-abad lamanya
mempersatukan perbedaan masyarakat Kutai Kartanegara.
2.
Upacara Perkawinan
Adat Kutai
Kerajaan Kutai
sebagai Kerajaan Hindu tertua di Indonesia memiliki beberapa
peninggalan budaya yang masih tetap dijaga kelestariannya. Salah satu bentuk
adat yang tetap dilestarikan hingga kini adalah Upacara Perkawinan Adat Kutai.
Pakaian yang
dikenakan bagi pengantin bangsawan adalah dengan mengenakan pakaian kebesaran
bangsawan Kutai Kartanegara. Pengantin laki-laki mengenakan mahkota, baju
lengan pendek dan hiasan dada yang mewah. Pakaian bawah berupa celana dengan
hiasan selendang bentuk lidah-lidah dengan ikat pinggang semacam stagen.
Pengantin perempuan
bermahkota, baju blus dengan hiasan dada bulan bersusun. Gelang panjang pada
kedua pergelangan tangan merupakan suatu tanda kebesaran. Pakaian bawah berupa
sarung tenun bermotif dan dipadukan dengan hiasan bentuk lidah yang menjurai ke
bawah mulai dari pinggang.
Rangkaian upacara adat pernikahan yang dilaksanakan
adalah:
·
Meminang/Bedatang
Orang tua calon
mempelai pria mengunjungi orangtua calon mempelai wanita untuk mananyakan
kesediaan sang wanita untuk dijadikan wanita.
·
Nyorong Tanda
Adalah suatu bentuk
lamaran resmi setelah tercapai kesepakatan kedua belah pihak pada saat
meminang. Sebilah keris diserahkan sebagai tanda kesungguhan pihak mempelai
pria untuk memperistri perempuan idamannya.
·
Bepacar
Pacar adalah nama
daun yang dipergunakan untuk mewarnai jari pengantin. Maknanya adalah sebagai
syi’ar kepada khalayak ramai bahwa kedua mempelai adalah sepasang pengantin
baru dan sebagai kelengkapan hiasan untuk pengantin.
·
Besiram
(Mandi-mandi) dan Bealis
Dilaksanakan sebelum
upacara Akad Nikah dan Naik Pengantin. Mempelai dimandikan dengan air bunga dan
mayang kelapa muda. Setelah dimandikan, mempelai berpakaian menurut adapt
tradisional dan didudukkan diatas tilam kesturi dengan segala kelengkapan untuk
upacara bealis. Makna dari upacara ini adalah untuk mendapatkan berkah dari
kedua orang tua dan memperoleh “lemak manis” kehidupan berkeluarga dikemudian
hari.
·
Naik Pengantin
Upacara ini
merupakan acara puncak dari acara perkawinan Adat Kutai, terdiri dari mengarak
pengantin pria yang diiringi oleh barisan Rebana/Hadrah menuju ketempat mempelai
wanita. Ketika sampai dikediaman mempelai wanita, rombongan disambut dengan
Shalawat Nabi dengan menghamburkan beras kuning sebagai rasa syukur menyambut
kedatangan mempelai pria. Sebelum dipertemukan dengan pengantin wanita,
rombongan pengantin pria harus melalui beberapa rintangan yang disebut dengan “Lawa”, yaitu kain yang dibentangkan oleh keluarga
pengantin wanita. Pihak keluarga pengantin pria diharuskan mengisi “Lawa”
tersebut dengan uang sebagai permintaan agar rintangan itu dibuka. Setelah melewati
beberapa “Lawa”, pengantin pria tiba di pelaminan. Pelaminan atau yang disebut “Geta” penuh dengan ornament dan hiasan mempunyai
makna sebagai lambing kesejahteraan hidup berumah tangga. Di atas Geta kedua
mempelai duduk bersila berhadapan, saling menukar kembang genggam, saling
menyuapi sirih dan kemudian dikurung dalam kain dan dijahit, besaong lilin dan
beradu berdiri. Setelah kedua pengantin bersanding, dilaksanakan penghitungan
mahar oleh beberapa sesepuh kedua mempelai. Dengan demikian mempelai pria
dinyatakan memenuhi persyaratan pernikahan dan berhak secara adapt untuk
mempersunting mempelai wanita idamannya.
Acara kemudian
dimeriahkan dengan pembacaan tarsul yakni syair saling memuji diantara kedua
mempelai.
·
Naik Mentuha
Kedua mempelai diantar
ke rumah orangtua mempelai pria, dengan beberapa upacara kecil seperti:
mempelai wanita mencuci kaki mempelai pria di atas cuek batu tebal dan memotong
daun nipah.
Makna upacara ini
adalah sebagai rasa patuh dan saying kepada orangtua serta memohon doa restu,
sebagai tanda bahwa kedua mempelai sudah siap melepaskan diri untuk mengarungi
bahtera kehidupan.
Adat
Istiadat dan Budaya Suku Dayak
1.
Upacara Adat Belian
(Suku Dayak Tunjung)
Belian pada
masyarakat Dayak Tunjung bermakna prosesi pengobatan penyakit, baik penyakit
yang menimpa manusia maupun yang menimpa alam seperti musim kemarau yang
berkepanjangan dan timbulnya hama
pada tanaman dan buah-buahan serta tidak suksesnya panen dan juga bencana alam.
Ada banyak macam dan
bentuk dari Upacara Belian, namun upacara prosesi Belian yang terbesar adalah
Acara Gugu Tahun, yaitu prosesi yang dilakukan untuk mengundang para Dewa/Dewi
Nayuk Seniang agar memberikan berkah dan rahmat baik kesuburan, kesehatan,
kemurahan rezeki dan kedamaian hidup. Biasanya prosesi tersebut dimulai dengan
acara sebagai berikut:
a.
Ngeruran Ngerimek
Tujuannya adalah
untuk mengundang para tokoh adapt masyarakat keluarga besar yang berada di luar
kampong untuk meminta bantuan dan dukungan baik secara materi maupun moril
serta tanaga untuk suksesnya acara tersebut.
b.
Timek atau Memukul
Gendang sambil membaca mantra
Tujuan prosesi ini
adalah untuk mengundang para Neyuk Seniang dan para Dewa Dewi agar hadir pada
acara tersebut bahwa mereka diundang sebagai tamu kehormatan dan dimohon
membawa segala kemampuannya untuk memberikan berkah dan rahmat kepada para umat
manusia agar terciptanya suasana damai, tentram, sehat, murah rejeki sejahtera,
subur dan terhindar dari bencana. Prosesi timek ini diikuti pula tahapan lain
yang sangat banyak dan memakan waktu paling sedikit 16 hari atau 2x8 dengan
membunuh babi dan paling banyak 56 hari atau 8x8 dengan membunuh kerbau.
c.
Botor Buyang
Tujuan Botor Buyang
sebagaimana tersebut diatas sebanyak 18 macam adalah untuk menyuguhkan pada
Nayuk Seniang karena awalnya permainan Botor Buyang adalah permainan para natuk
dalam setiap prosesi adat agar hati para Dewa Nayuk yang diundang bersuka ria
dengan diajak dalam permainan tersebut sehingga mereka senang dan gembira dan
terbukalah hati mereka untuk mengabulkan semua keinginan dan permintaan
manusia. Tetapi apabila permainan tersebut tidak dilaksanakan maka para
Nayuk/Dewa bisa merasuk dalam tubuh manusia yang mengakibatkan kerasukan atau
berkelahi karena selalu ingin marah, bias pula mengakibatkan penyakit parah
yang mendadak. Kemudian apabila terdapat kesalahan perbuatan manusia bias
dirubah menjadi batu dan dikutuk Dewa seperti cerita Malin Kundang yang berubah
menjadi batu.
d.
Blontang
Tujuan Blontang
adalah untuk memberi persembahan atau makanan upah kepada para Dewa/Nayuk
setelah mereka memberi berbagai macam keselamatan pada manusia, zaman dahulu
kala persembahan ini dengan memotong atau menyembelih manusia dengan cara
menombak pakai jarum sampai kepada senjata yang paling besar, setelah itu baru
disembelih. Namun setelah Indonesia
merdeka, prosesi ini dilarang oleh Undang-undang maka diganti dengan kerbau
yang kerbau tersebut dibeli dari hasil permainan Botor Buyang.
2.
Upacara Kwangkai
Kwangkai dalam
bahasa Dayak bermakna ‘adat bangkai mai’ atau ‘upacara adapt bagi orang yang
telah meninggal dunia’. Maksudnya adalah suatu proses kegiatan komunitas Dayak
Tunjung untuk memindahkan tulang belulang yang setelah melalui upacara Tohoq atau upacara Kenyau,
kemudian memindahkannya ke pemakaman baru dengan terlebih dahulu dibawa ke
dalam Lamin atau Rumah Adat. Upacara ini sifatnya kolektif dan selalu diserta
dengan pesta besar yang melibatkan banyak orang dan menjadi upacara peringatan
kematian seseorang, dan semakin meriah acaranya maka semakin mewah kehidupan
arwah di alam lain.
Upacara kwangkai
menurut kepercayaan orang dayak adalah sebagai upaya balas budi anak terhadap
orangtua mereka yang sudah meninggal, upacara ini dilaksanakan selama paling
kurang empat belas (14) hari dengan acara penutup memotong kerbau.
Selama kurang lebih
sebulan setiap malam berlangsung upacara memberi makan kepada roh. Dilakukan
oleh pawing perempuan (penyentangi) yang meminyaki, menyisir dan membedaki
tengkorak dengan sikap yang cermat dan khidmat. Selanjutnya diadakan tarian
khusus untuk upacara adapt kematian, yang terdiri dari empat belas laki-laki
dan empat belas perempuan, pada waktu menari para penari laki-laki menggendong
kepala tengkorak yang dibungkus kain batik. Selama menari, selain diiringi
irama musik, sang pawing juga melantunkan mantra yang isinya menceritakan
perjalanan roh menuju kea lam arwah. Tarian dilakukan setiap malam hingga
upacara Kwangkai selesai.
Upacara berakhir
dengan dimakamkannya kembali tulang belulang dipemakaman yang dinilai lebih
terhormat.
3.
Senjata Tradisional Dayak
Secara umum senjata
tradisional masyarakat Dayak adalah:
a.
Mandau
Mandau dulunya
digunakan untuk berburu oleh kaum laki-laki masyarakat Dayak, tapi saat ini
biasanya tidak digunakan untuk berburu lagi tapi dijadikan symbol keperkasaan
bagi kaum lelaki dayak. Pasangan Mandau adalah perisai kayu yang disebut lekau
yang semula digunakan sebagai tameng untuk menahan serangan musuh dalam perang.
Mandau dan Lekau saat ini juga banyak digunakan sebagai pelengkap dalam
tari-tarian perang.
b.
Tombak
Gagang dari tombak
biasanya terbuat dari kayubesi (ulin) yang dilubangi dan memakai mata tombak
yang diikatkan pada gagangnya. Tombak digunakan untuk berburu dan melumpuhkan
jenis hewan buruan yang lebih besar, seperti babi hutan dan rusa.
c.
Sumpit
Sumpit terbuat dari
mata kayubesi (ulin) yang dilubangi dan memakai mata tombak yang diikatkan pada
ujung sumpit. Anak sumpit biasanya mengandung racun dan jika mengenai binatang
buruan, binatang itu akan cepat mati.
Selain alat-alata
tersebut diatas, masih ada alat tradisional lain yaitu jenis-jenis pisau
seperti pisau ukir, pisau serut dan pisau pahat, juga berbagai jenis beliung.
Desa
Budaya
Kehidupan budaya etnik masyarakat Dayak di
pulau Kalimantan merupakan sebuah kebudayaan
yang unik dan dapat dijadikan salah satu potensi bagi pariwisata di Kutai
Kartanegara. Dayak bukanlah nama kelompok etnis atau suku bangsa. Masyarakat
suku-suku bangsa di pedalaman Kalimantan lebih
suka disebut orang dayak. Kata ini berasal dari bahasa Dayak tepatnya bahasa
Iban yang artinya manusia, namun ada juga yang mengartikannya sebagai pedalaman
atau hulu.
Dayak di pulau Kalimantan
konon berasal dari Asia Tengah yang datang dalam beberapa gelombang migrasi di
zaman glacial (zaman es) sekitar 3000-1500 tahun sebelum masehi.
1.
Lekaq Kidau
Lekaq Kidau terletak
di tepi sungai Mahakam, desa ini dihuni oleh Suku Dayak Kenyah dan merupakan
Desa Budaya yang dikelola oleh Pemerintah Kabupaten Kutai kartanegara.
Di desa ini terdapat
sebuah Lamin atau rumah adapt suku Dayak Kenyah. Lamin ini berukuran 15 x 9 mtr
dan berdiri kurang lebih 1 mtr dari permukaan tanah dan ditopang dengan empat
tiang berdiameter 43 cm yang berdiri kukuh di tengah ruangan. Di dalamnya
terdapat berbagai koleksi adat, misalnya pakaian adapt yang digunakan sebagai
pelengkap upacara dan untuk melakukan tari-tarian adapt dalam menyambut tamu
dan untuk kegiatan keagamaan.
Selain menjadi
tempat kediaman resmi ketua adapt, Lamin di Desa Lekaq Kidau ini juga berfungsi
sebagai fasilitas public, yakni tempat berkumpul komunitas Dayak Kenyah ketika
memperingati hari Natal atau hari besar lain yang berkaitan dengan system
kepercayaan mereka.
Dinding pembatas
dari Lamin ini dihiasi dengan lukisan khas suku Dayak, misalnya berbagai jenis
hewan laut (udang, cumi-cumi), burung enggang, dan tumbuh-tumbuhan. Hiasan
dindingn yang didominasi oleh warna putih, kuning dan merah ini melambangkan
kesuburan. Pada bagian kiri bangunan tergantung hiasan burung enggang yang
terbuat dari kayu. Burung Enggang merupakan totem khas masyarakat Dayak dan
dianggap sebagai burung yang dikeramatkan.
Juga terdapat
koleksi senjata tradisional seperti Mandau, Tombak, dan Sumpit yang masih
disimpan sebagai kelengkapan Lamin. Mandau umumnya tidak digunakan untuk
senjata, tetapi sebagai symbol keperkasaan bagi kaum laki-laki Dayak. Fungsi
mandau yang semula sebagai alatb tebas sudah lama digantikan oleh parang.
Berbeda dengan mandau, tombak dan sumpit hingga saat ini masih difungsikan
sebagai alat berburu. Sumpit digunakan untuk berburu hewan jenis burung, sedang
tombak untuk berburu dan melumpuhkan hewan buruan yang lebih besar seperti babi
hutan.
2.
Pondok Labu
Desa Pondok Labu
dihuni oleh komunitas Dayak Benoaq yang berasal dari wilayah Ulu (pedalaman).
Pada sekitar tahun 1966 mereka pindah dari Kampung Marnayan di daerah Ulu dan
memilih tempat di daerah Pondok Labu untuk dapat kediaman baru mereka.
Dayak Benoaq juga
memiliki rumah adapt yang disebut Lamin atau Lou yang artinya Rumah Panjang
yang berpetak-petak. Disebut rumah panjang karena ada yang mencapai puluhan
meter panjangnya dan dibuat berdasarkan kebutuhan penghuninya, semakin banyak
penghuni lamin maka akan semakin panjang lamin itu dibuat.
Panjang lamin ini
sekitar 36 mtr dan lamin ini dapat dikategorikan sebagai bangunan asli orang
Dayak karena benar-benar berfungsi sebagai rumah tinggal, tempat berkumpul dan
tempat melakukan semua aktivitas komunitasnya. Di dalam ruangan besar terdapat
seperangkat alat musik gendang yang digunakan dalam upacara Belian (pengobatan
tradisional), senjata tradisional serta berbagai perlengkapan rumah tangga. Di
bagian depan lamin terdapat tujuh buah belontang atau
patung kayu dengan model dan bentuk yang
berlainan dan tidak jauh dari lamin terdapat tempelak yaitu wadah tempat
menyimpan tulang belulang anggota keluarga yang telah meninggal dunia dan di
tempatkan pada suatu areal pemakaman keluarga yang tidak jauh dari lamin
tersebut.
Untuki
memasuki lamin tersedia 2 jenis tangga, yaitu tangga yang diperuntukkan untuk
penghuni lamin dan tangga yang diperuntukkan bagi tamu yang berkunjung.
3.
Lung Anai
Desa ini terletak di
kawaswan Kecamatan Loa Kulu dan dihuni oleh suku Lepo Jalan, Dayak Kenyah yang
bermutasi dari Apo Kayan dan menempati Desa Lung Anai sejak tahun 1985. Desa
ini mulai dipromosikan sebagai desa wisata oleh Pemerintah Kabupaten Kutai
Kartanegara sejak tahun 2003. Mata pencaharian penduduknya adalah berladang,
nelayan dan kerajinan tangan.
Upacara adapt yang
tetap dilangsungkan masyarakat Desa Lung Anai sampai saat ini adalah upacara
besar Ala Tow sebelum Nugal (tanam padi), upacara Malang Tauw (sebelum panen)
dan tujuannya untuk mengusir hama-hama dan upacara Ujung Undat (setelah panen
disertai dengan menumbuk padi di lesung panjang yang dilakukan oleh para ibu)
dan diiringi musik tradisional serta tarian. Babi hutan panggang disajikan saat
upacara adapt berlangsung.
Kerajinan patung dan
ukiran di desa ini juga sangat menarik dan terbuat dari kayu meranti serta
ulin, di desa inipun kita masih bias menemui orang Dayak yang bertelinga
panjang dan mengenakan pakaian tradisional Dayak Kenyah.
4.
Desa Tukung Ritan
Penduduk asli Desa
Tukung Ritan adalah Dayak Kenyah, desa ini dibangun pada tahun 1970-an oleh
empat penduduk asli Apo Kayan. Mereka dipercaya masyarakat Tukung Ritan yang
memahami adapt istiadat Dayak Kenyah.
Perjalanan menuju
desa ini hampir mengelilingi Sungai Mahakam. Desa Tukung Ritan awalnya
bergabung dengan Ritan Baru yang berada di seberang sungai Mahakam. Rumah adapt
Tukung Ritan disebut Uma dan desa ini dipimpin oleh Kepala Desa dan Kepala Suku
yang keduanya memiliki tanggungjawab berbeda.
Masyarakat desa
Tukung Ritan tetap memegang teguh adapt istiadat yang merupakan warisan nenek
moyangnya, hal ini terlihat dalam upacara-upacara adat seperti Bunut yaitu
ritual penobatan raja atau mengangkat pimpinan baru. Upacara lainnya yaitu
upacara penyambutan tamu, tarian perang, tarian burung enggang yang diiringi
alunan musik khas Dayak Kenyah, upacara yang dilakukan saat merayakan panen dan
upacara sebelum panen.
Sebagai masyarakat
Tukung Ritan menggantungkan hidup dengan membuat kerajinan tangan, pengrajin
laki-laki membuat mandau, perisai, hanjat, bening, sumpit dan sebagainya.
Kerajinan di desa ini terkenal dengan kualitasnya yang bagus dan harga yang
terjangkau.
****** tuani sianipar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar