Persidangan Sinode Tahunan (PST) GPIB 2024

Persidangan Sinode Tahunan (PST) GPIB 2024 akan dilaksanakan di Musyawarah Pelayanan Kalimantan Timur II sebagai tuan rumah

Sejarah Kab. Kutai Kartanegara

SEKILAS SEJARAH
KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA





Ditinjau dari sejarah Indonesia kuno, Kerajaan Kutai merupakan kerajaan tertua di Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya 7 buah prasasi yang ditulis diatas yupa (tugu batu) yang ditulis dalam bahasa Sansekerta dengan menggunakan huruf Pallawa di Muara Kaman Kutai Kartanegara. Berdasarkan paleografinya, tulisan tersebut diperkirakan berasal dari abad ke-5 Masehi.

Dari prasasti tersebut dapat diketahui adanya sebuah kerajaan dibawah kepemimpinan Sang Raja Mulawarman, putera dari Raja Aswawarman, cucu dari Maharaja Kudungga. Kerajaan yang diperintah oleh Mulawarman ini bernama Kerajaan Kutai Martadipura, dan berlokasi di seberang kota Muara Kaman.

Pada abad ke-17 agama Islam diterima dengan baik oleh Kerajaan Kutai Kartanegara. Selanjutnya banyak nama-nama Islami yang yang akhirnya digunakan pada nama-nama raja dan keluarga kerajaan Kutai Kartanegara. Sebutan raja pun diganti dengan sebutan Sultan. Sultan yang pertama kali menggunakan nama Islam adalah Sultan Aji Muhammad Idris (1735-1778). Tahun 1732, ibukota Kerajaan Kutai Kartanegara pindah dari Kutai Lama ke Pemarangan.

Pada tahun 1780, Aji Imbut berhasil merebut kembali ibukota Pemarangan dan secara resmi dinobatkan sebagai sultan dengan gelar Sultan Aji Muhammad Muslihuddin di istana Kesultanan Kutai Kartanegara. Aji Kado dihukum mati dan dimakamkan di Pulau Jembayan.

Aji Imbut gelar Sultan Aji Muhammad Muslihuddin memindahkan ibukota Kesultanan Kutai Kartanegara ke Tepian Pandan pada tanggal 28 September 1782. perpindahan ini dilakukan untuk menghilangkan pengaruh kenangan pahit masa pemerintahan Aji Kado dan Pemarangan dianggap telah kehilangan tuahnya. Nama Tepian Pandan kemudian diubah menjadi Tangga Arung yang berarti Rumah Raja, lama-kelamaan Tannga Arung lebih popular dengan dengan sebutan Tenggarong dan tetap bertahan hingga kini.

Pada tahun 1838, Kesultanan kutai Kartanegara dipimpin oleh Sultan Aji Muhammad Salehuddin setelah AjiImbut mangkat pada tahun tersebut.

Pada tahun 1959, berdasarkan UU No. 27 Tahun 1959 tentang “Pembentukan Daerah-Daerah Tingkat II di Kalimantan”, wilayah Daerah Istimewa Kutai dipecah menjadi 3 daerah Tingkat II, yakni :
1. Daerah Tingkat II Kutai dengan ibukota Tenggarong
2. Kotapraja Balikpapan dengan ibukota Balikpapan
3. Kotapraja Samarinda dengan ibukota Samarinda

Kabupaten kutai Kartanegara merupakan kelanjutan dari kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura. Setelah Republik Indonesia berdiri, pada tahun 1947. Kesultananan Kutai kartanegara dengan status daerah Swapraja Kutai, masuk ke dalam federasi Kalimantan Timur bersama-sama daerah kesultanan lainnya, seperti Bulungan, Sambaliung, Gunung Tabur, dan Pasir. Kemudian pada 27 September 1945 masuk dalam Republik Indonesia Serikat (RIS). Daerah Swapraja Kutai diubah menjadi Daerah Istimewa Kutai yang merupakan daerah otonom/daerah istimewa tingkat kabupaten berdasarkan UU darurat No. 3 tahun 1953.
Berdasarkan UU No. 27 tahun 1959, status daerah istimewa Kutai di hapus dan daerah ini dibagi menjadi 3 daerah tingkat II, yakni :
1. Kotamadya Balikpapan dengan Ibukota Balikpapan
2. Kotamadya Samarinda dengan Ibukota Samarinda
3. Kabupaten Kutai dengan Ibukota Tenggarong

Pada Tahun 1999, wilayah kabupaten Kutai dimekarkan menjadi empat daerah otonom berdasarkan UU No. 47 tahun 1999, yakni :
1. Kabupatern Kutai dengan Ibukota Tenggarong
2. Kabupaten Kutai Barat dengan Ibukota Sendawar
3. Kabupaten Kutai Timur dengan Ibukota Sangatta
4. Kota Bontang dengan Ibukota Bontang

Tanggal 23 Maret 2002, Presiden Republik Indonesia Megawati Soekarno Putri menetapkan penggunaan nama Kabupaten Kutai Kartanegara melalui peraturan pemerintah RI No. 8 tahun 2002 tentang “Perubahan Nama Kabupaten Kutai Kartanegara”.


HISTORY AT A GLANCE
OF KUTAI KARTANEGARA REGENCY

Based on history, Kutai Kingdom is the oldest Hindu kingdom in Indonesia. This is evidenced by the finding of 7 inscriptions in Sanskrit written above yupa (stone monument) using the Pallawa letter in Muara Kaman Kutai Kartanegara. The Paleography shows that the written is estimated to come from the century-BC 5. 
From the inscription, it is known a kingdom by The King Mulawarman, a prince of The King Aswawarman and a grandson of the King Kudungga. The Kingdom is Kutai Martadipura and is located across Muara Kaman city. 
In 17th century, Kutai Kartanegara kingdom began to accept Islam. Thereafter names of the King and Kingdom’s family use Moslem’s names. The names of the king was also changed into Sultan. The first Sultan used Moslem name was Sultan Aji Muhammad Idris (1735-1778). In 1732, the capital city of Kutai Kartanegara Kingdom was moved from Kutai Lama to Pemarangan. 
In 1780, Aji Imbut successfully taked back the capital city Pemarangan and then was officially appointed as Sultan with honour Sultan Aji Muhammad Muslihuddin in Kutai Kartanegara Kingdom. Meanwhile Aji Kado faced dead finalty and is graved in Jembayan Island. 
Sultan Aji Muhammad Muslihuddin replaces the capital city of Kutai Kartanegara Kingdom to Tepian Pandan on 28 September 1782. The replacement is aimed to erase the bad influences of Aji Kado periods and Pemarangan and was supposed to lost its magical place. The name of Tepian Pandan then was changed into Tangga Arung which means the house of king. Subsequently, the name of Tangga Arung was more popular which remains the same until know. 
In 1838, Kutai Kartanegara kingdom is order by Sultan Aji Muhammad Salehuddin after Aji Imbut was dead in that year. In 1959, based on law number 27 year 1959 on the creation of regional government at second level in Kalimantan, the territory of Kutai as  a special regional is divided into 3 regional government as below : 
1. Kutai region with the capital city Tenggarong 
2. Municipality Balikpapan with the capital city Balikpapan 
3. Municipality Samarinda with the capital city Samarinda

Basically, Kutai Kartanegara regency is a consecutive government of Kutai Kartanegara Ing Martadipura Kingdom. After Republic of Indonesia was established, in 1947 Kutai Kartanegara Kingdom with status Swapraja Region of Kutai joined East Kalimantan Federation together with other kingdoms, such as Bulungan, Sambaliung, Gunung Tabur, dan Pasir. Then, on 27 December 1945 The Swapraja Region of Kutai was involved in Republic of United Indonesia (RIS). 
According to law emergency number 3 year 1953, the status of Swapraja Region of Kutai was changed into special Region of Kutai that holded special autonomy region status at regional level.
Based on Law number 27 year 1959, the status of special region of Kutai was removed and this region was divided into 3 regions as below : 
1. City of Balikpapan 
2. City of Samarinda 
3. Kutai Regency
In 1999, the territory of Kutai regency was developed into four autonomy regions based on law number 47 year 1999 as below : 
1. Kutai regency with the capital city Tenggarong 
2. West Kutai regency with the capital city Sendawar 
3. East Kutai regency with capital city Sangatta 
4. City of Bontang with capital city Bontang
On 23 March 2002, Megawati Soekarno Putri, the President of Republic of Indonesia regulated the new name Kutai Regency becoming Kutai Kartanegara Regency through government Statute number 8 year 2002 on changing Name of Kutai Kartanegara Regency. 


GAMBARA UMUM KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA

Kondisi Geografis
Secara geografis Kab. Kutai Kartanegara terletak pada posisi antara 115° 26’ 8,05” BT – 117° 37’ 43,004” BT dan antara 1° 27’ 13’,7” LU – 1° 8’ 19,82” LS mempunyai batas wilayah administrasi sebagai berikut:
  • Sebelah Utara berbatasan dengan : Kabupaten Malinau, Kabupaten Kutai Timur, dan Kota Bontang
  • Sebelah Timur berbatasan dengan : Selat Makasar
  • Sebelah Selatan berbatasan dengan : Kabupaten Pasir dan Kota Balikpapan.
  • Sebelah Barat berbatasan dengan : Kabupaten Kutai Barat
Administrasi Pemerintahan
Kabupaten Kutai yang sebelum pemekaran wilayah, sesuai dengan undang-undang Nomor 47 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Nunukan, Kabupaten Malinau, Kabupaten Kutai, Kabupaten Kutai Timur, dan Kota Bontang, mempunyai luas 95.046,00 km² memiliki 38 Kecamatan dan 482 Desa/Kelurahan.
Kabupaten Kutai Kartanegara, kini terdiri dari 18 Kecamatan dan 226 Desa/Kelurahan. Jumlah Desa/Kelurahan ini meningkat bila dibandingkan dari tahun 1999 ketika awal pemekaran wilayah Kutai menjadi 3 Kabupaten dan 1 Kota. Pada tahun tersebut jumlah Desa/Kelurahan tercatat 186 DEsa/Kelurahan. Dengan demikian ada pertambahan 40 Desa/Kelurahan.
Kondisi Topografi
Topografi wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara terdiri atas wilayah pantai dan daratan. Wilayah pantai berada dibagian timur wilayah kabupaten dan mempunyai ketinggian 0-7 meter dari permukaan laut (dpl). Luas wilayah pantai ini 724.566 Ha atau 26,58% dari wilayah kabupaten.
Wilayah dengan ketinggian antara 7-25 mtr dpl mempunyai luas 988.774 Ha atau 36,63% dari wilayah kabupaten. Wilayah ini merupakan permukaan tanah datar sampai landai, kadang tergenang, kandungan air tanah cukup baik, dapat dialiri dan tidak ada erosi sehingga sangat cocok untuk pertanian lahan basah. Sisanya merupakan wilayah daratan dengan ketinggian lebih dari 25 mtr dpl dan mempunyai areal sekitar 1.002.970 Ha atau 36,79% luas wilayah kabupaten.
Berdasarkan karakteristik topografi tersebut, maka dapat diidentifikasi daerah yang dapat dikembangkan untuk kegiatan budidaya adalah daerah dengan kemiringan datar sampai landai dengan dengan ketinggian antara 7-25 mtr dpl terutama pada daerah sepanjang DAS Mahakam. Adapun pada wilayah pegunungan dengan ketinggian 500-2000m dpl perlu ditetapkan sebagai kawasan lindung dengan pengembangan terbatas. Khusus untuk daerah pantai di bagian timur wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara memiliki potensi untuk dikembangjkan budidaya perikanan.
Kondisi Kelerengan
Wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara mempunyai kemiringan tanah (lereng) dari 1% sampai lebih dari 40%. Secara umum dapat dikatakan bahwa kemiringan tanah di Kab. Kutai Kartanegara berkorelasi positif dengan ketinggian, makin tinggi letak suatu areal atau hamparan tanah maka kemiringannya semakin terjal.
Wilayah bagian barat merupakan gunung ataupun pegunungan, makin ke barat makin rendah dan wilayah Mahakam Tengah relative datar, selanjutnya makin ke timur makin tinggi lagi namun kelerengannya kurang dari 40 % sampai ke tepi pantai.
Wilayah dengan kemiringan 0-2 % seluas 741.021 Ha atau 27,18% luas wilayah kabupaten, sedangkan kemiringan antara 2-15% luasnya 311.814 Ha atau 11,44% dari luas wilayah kabupaten dan kemiringan 15-40% seluas 816.367 Ha atau 29,94% dari luas wilayah kabupaten dan kemiringan lebih dari 40% seluas 742.488 Ha atau 27,23%.
Jenis Tanah
Jenis tanah yang terdapat di Kab. Kutai Kartanegara menurut Soil Taxonomi VSDA tergolong ke dalam jenis tanah: ultisol, histosol, inseptisol, dan mollisol, atau menurut lembaga Penelitian Tanah Bogor terdiri dari jenis tanah: podsolik, alluvial, andosol, dan renzina. Dari hasil analisis data pokok Kabupaten Kutai Kartanegara tahun 2001 diperkirakan luas dan sebaran jenis tanah di Kab. Kutai Kartanegara didominasi oleh 4 jenis tanah yaitu: organosol gley humus 3.492,35 Ha (12,81%); alluvial 759.507 Ha (27,86%); komplek podsolik merah kuning, latosol dan litosol 755.705 Ha (27,72%) dan podsolik merah kuning 861.863 Ha (31,61%).
Kondisi Iklim dan Hodrologi
Iklim wilayah Kab. Kutai Kartanegara sangat dipengaruhi oleh iklim tropis basah yang bercirikan curah hujan cukup tinggi dengan penyebaran merata sepanjang tahun, sehingga tidak terdapat pergantian musim yang jelas. Iklim di Kab. Kutai Kartanegara juga dipengaruhi oleh letak geografisnya yakni iklim hutan tropika humida dengan suhu udara rata-rata 26°C, dimana perbedaan antara suhu terrendah dengan suhu tertinggi mencapai 5°-7°C. Jumlah curah hujan wilayah ini berkisar 2.000-4.000 mm/tahun dengan jumlah hari hujan rata-rata 130-150 hari/tahun.
Curah hujan terendah yaitu dari 0-2.000 mm per tahun tersebar di wilayah pantai, dan semakin meningkat ke wilayah pedalaman atau kea rah barat. Curah hujan di Kabupaten Kutai Kartanegara dapat di bagi ke dalam 6 klasifikasi curah hujan, dengan penyebarannya sebagai berikut:
  • Curah hujan antara antara 0-2.000 mm per tahun, meliputi luas 12.376,53 Km² atau 47,39% luas wilayah Kab. Kutai Kartanegara, tersebar di bagian Timur di sepanjang pantai dari utar ke selatan yang meliputi sebagian wilayah Kecamatan Muara Badak, Anggana, Loa Janan, Loa Kulu, Tenggarong, Sebulu dan Muara Kaman. Pada kawasan ini terdapat 2 (dua) bulan lembab yaitu pada bulan Agustus dan bulan September.
  • Curah hujan antara 2.000-2.500 mm per tahun, meliputi luas 5.979,52 Km² atau 22,90% luas wilayah Kab. Kutai Kartanegara, sebagian kawasan ini terdapat di Kecamatan Kota Bangun. Kawasan ini mempunyai 2 (dua) bulan lembab yaitu Juli dan Agustus.
  • Curah hujan atara 2.500-3.000 mm per tahun, meliputi luas 1.986,40 Km² atau 7,61% luas wilayah Kab. Kutai Kartanegara. Kawasan ini terletak di bagian tengah wilayah Kabupaten membujur dari utara ke selatan, yang meliputi Kecamatan Kembang Janggut. Pada kawasan ini hanya terdapat satu bulan lembab yaitu pada bulan Juli.
  • Curah hujan antara 3.000-3.500 mm per tahun, meliputi luas 1.344,35 Km² atau 5,15% luas wilayah Kab. Kutai Kartanegara. Kawasan ini terletak agak ke barat wilayah kabupaten dengan penyebaran disekitar Kecamatan Kembang Janggut membujur ke utara dan pada kawasan ini tidak terdapat bulan lembab dan bulan kering.
  • Curah hujan antar 3.500-4.000 mm per tahun, meliputi luas 1.425,15 Km² atau 5,46% luas wilayah Kab. Kutai Kartanegara. Kawasan ini terdapat sebagian wilayah Kecamatan Tabang, membujur dari selatan ke utara, dan pada kawasan ini tidak terdapat bulan lembab dan bulan kering
  • Curah hujan lebih dari 4.000 mm per tahun, meliputi luas 3.004,96 Km² atau 11,51% luas wilayah Kab. Kutai Kartanegara, terletak pada ujung barat wilayah Kabupaten yaitu di sebagian Kecamatan Tabang, dan pada kawasan ini tidak terdapat bulan lembab dan bulan kering.
Potensi hidrologi wilayah Kab. Kutai Kartanegara sangat besar terutama oleh adanya aliran sungai utama (Sungai Mahakam) beserta anak-anak sungainya. Aliran Sungai Mahakam yang lebar dan tenang memberikan pengaruh yang sangat besar terutama bagi kegiatan social ekonomi masyarakat.
Besarnya potensi air sungai yang mengalir sepanjang sungai dan anak sungai Mahakam ini dapat diakibatkan oleh penggunaan wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara yang merupakan kawasan hutan, sehingga sangat berpotensi untuk daya serap air (infiltrasi) di wilayah ini dan selanjutnya menghasilkan volume/debit air yang sangat besar di daerah hulu. Bagi kepentingan sosial ekonomi masyarakat sungai/anak sungai Mahakam hingga saat ini dimanfaatkan sebagai air baku bagi penyediaan air minum penduduk di sepanjang wilayah yang dilaluinya. Sedangkan lebar dan dalamnya sungai dijadikan sarana esensial bagi kegiatan transportasi air sebagai transportasi local maupun antar wilayah (transportasi regional).
Pola Penggunaan Lahan
Penggunaan lahan di Kab. Kutai Kartanegara pada tahun 2006 didominasi oleh penggunaan hutan, yang bterdiri dari hutan belukar, hutan lebat, hutan rawa dan hutan tanaman industri dengan luas lahan untuk hutan mencapai 1.858.237 Ha atau 68,16% dari total luas wilayah Kab. Kutai Kartanegara. Penggunaan lahan lainnya adalah pemukiman 160.369 Ha atau 5,88%; sawah dengan luas 53.437 Ha atau 1,96%; pertanian kering/tegalan 183.807 Ha atau 6,74%; danau, rawa, tambak dan sungai 70,523 Ha atau 2,59%; serta semak, alang-alang, lading berpindah dan bekas galian 433.346 atau 15,89%.
Ekosistem (Darat, Laut, Pesisir, Sungai)
1. Zona Perepat Pidada (Sonneratia Caseolaris-Avicennia Sp)
2. Zona Bakau (Rhizophora sp)
3. Zona Peralihan Mangrove (perepat, api-api, bakau, tancang) dan Nipah
4. Zona Nipah
5. Zona Hutan Mangrove Salinitas Rendah atau Zona Dungun Nibung/Nipah
6. Zona Hutan Rawa Air Tawar campuran atau Zona Nibung-Waru (Oncosperma sp-Hibiscus tilaceus)
7. Densitas Mangrove
Hutan Mangrove adalah hutan yang terdapat di daerah pantai yang selalu atau secara teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut tetapi tidak terpengaruh oleh iklim.
Jenis satwa yang ada di daerah ini terdiri dari berbagai macam jenis ular, burung, rusa, kijang, beruang, kucing hutan, landak, orang utan, dll. Dimana beberapa diantaranya merupakan satwa yang dilindungi di daerah ini, yaitu:
1. Orang Utan atau Mawas (Pongo Pygmaeus)
Hidupnya dipohon-pohon yang tinggi. Pada waktu akan melahirkan mereka akan membuat srang yang terbuat dari dahan dan ranting kayu. Makanannya terdiri dari buah-buahan dan tunas-tunas yang masih muda. Binatang ini dapat dijinakkan.
2. Owa-owa atau Kaliawat (Hylobatidae)
Merupakan jenis kera dengan tangan dan kakinya sangat panjang dan digunakan untuk berayun dari satu pohon ke pohon yang lainnya, berbeda dengan kera yang kalau ingin pindah dari satu pohon ke pohon lainnya dengan jalan meloncat. Kaliawat suka bersuara nyaring pada pagi hari dan menjelang malam, serta mudah dijinakkan.
3. Bekantan atau Kahau (Nasalis Larvatus)
Binatang ini pada umumnya terdapat di daerah hutan payau dan mempunyai hidung panjang yang melengkung ke bawah melalui mulutnya dan kebanyakan berwarna merah dan putih. Binatang ini sukar dijinakkan/dipelihara. Makanan utamanya terdiri dari tunas-tunas muda dan daun-daun yang muda.
4. Trenggiling atau Peusing (Manis Javanica)
Binatang ini hidup di daerah-daerah yang berhutan dan berbukit-bukit, kepalanya diatas badan, kakinya pendek dan ekornya berisik keras, makanan terdiri serangga seperti rayap, semut. Pada saat ada bahaya mengancam dirinya, ia menekkukan badannya dan menyembunyikan kepalanya dibawah ekor yang lebar dan kuat. Penglihatan dan pendengaran binatang ini tidak begitu tajam jika dibandingkan dengan binatang lainnya, tetapi penciumannya tajam. Binatang ini merupakan binatang malam dan bersembunyi di lubang-lubang pohon dan dapat mengeluarkan bau yang tidak enak.
5. Burung Enggang atau Kangkareng (Rucerotidae)
Burung ini jenisnya banyak sekali. Mempunyai paruh yang besar dengan mahkota yang berupa tanduk diatasnya, sayap pendek sedangkan ekor panjang. Bulu hitam dengan ekor putih. Sarang dibuat didalam pohon yang berlubang. Makanan selain buah-buahan juga binatang kecil seperti cicak, kadal, ular, tikus, dll. Burung enggang termasuk salah burung yang dianggap gaib oleh suku Dayak Kenyah dan Bahau serta dapat membuat atau mempengaruhi mental dan fisik seseorang. Bulu ekor dan paruh burung menjadi tanda atau perlambang kewiraan dalam perjuangan membela rakyat terhadap musuh. Biasanya bulu tersebut ditaruh pada topi yang dipakai dan sering digunakan pada upacara adat. Selain itu Burung Enggang dianggap mempunyai kekuatan untuk menyingkirkan mangsa dan hama-hama terutama pada tanaman padi. Oleh karena itu pada upacara-upacara yang diselenggarakan selalu ada lambang burung enggang pada salah satu alat perlengkapan upacara tersebut.
6. Ikan Pesut (Lumba-lumba air tawar) hidup di perairan umum.
Berat badannya antara 80-90 kg dan makanannya sejenis ikan-ikan lain dan pada umumnya dari jenis ikan yang sisiknya mikroskopis seperti ikan patin, baong, lais, dsb. Ciri-ciri ikan Pesut adalah sebagai berikut:
  • Mempunyai lubang anus dan lubang peranakan yang luas serta warna kulit abu-abu tua dan bersisik mikroskopis
  • Kulit daging tebal dan pejal, sirip obor letaknya horizontal dan bentuknya berlekuk
  • Mempunyai lubang pernafasan pada bagian atas kepala dan dapat menyemburkan air setinggi ± 0,5 mtr
  • Mempunyai lidah seperti manusia, mempunyai gigi dan kelopak mata
  • Cara berkembang biaknya adalah ovovipar (bertelur dan beranak serta menyusui di dalam kandungan), ini karena tidak terlihatnya alat bagian atas.
KONDISI SOSIAL BUDAYA
1. Adat dan Suku
Penduduk Kutai terdiri dari beberapa suku yang secara garis besar dibagi menjadi 2 kelompok, yakni kelompok Suku Melayu dan Kelompok Suku Dayak
a. Kelompok Suku Melayu
Suku Kutai atau Melayu Kutai Tenggarong adalah suku asli di Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Kebudayaan Kutai berawal sejak berdirinya Kerajaan Kutai pada abad IV yang merupakan kerajaan Hindu pertama di Nusantara dengan rajanya yang terkenal, Mulawarman.
Kemudian berlanjut dengan Kesultanan Kutai dengan sultan terakhir Aji Parikesit. Setelah kekosongan yang lama telah diadakan penabalan sultan baru yaitu Aji Solehudin. Menurut situs “Joshua Project” suku Melayu Kutai Tenggarong berjumlah 314.000 jiwa.
Suku Kutai lainnya adalah Melayu Kutai Kota Bangun. Menurut situs “Joshua Project” suku Melayu Kutai Kota Bangun berjumlah 81.000 jiwa.
Bahasa Kutai terbagi ke dalam 3 dialek yang letaknya tidak saling berdekatan:
a. Kutai Tenggarong (KT)
b. Kutai Kota Bangun (KKB)
c. Kutai Muara Ancalong (KMA)
Disamping memiliki beberapa persamaan kosa kata dengan bahasa Banjar, bahasa Kutai juga memiliki persamaan kosa kata dengan bahasa Iban, misalnya:
a. Nade (bahasa Kutai Kota Bangun); Nadai (bahasa Kantu’) artinya tidak
b. Celap (bahasa Kutai Tenggarong; Celap (bahasa Dayak Iban) artinya dingin
c. Balu (bahasa Kutai Tenggarong), Balu (bahasa Iban) artinya janda
Kelompok Suku Melayu, menurut kepercayaan penduduk, daerah Kutai dihuni oleh 5 puak, yaitu:
a. Puak Pantun yang tinggal disekitar Muara Ancalong dan Muara Kaman
b. Puak Punang yang tinggal disekitar Muara Muntai dan Kota Bangun
c. Puak Pahu yang mendiami daerah disekitar Muara Pahu
d. Puak Tulu Dijangkat yang mendiami daerah sekitar Barong Tongkok dan Melak
e. Puak Melani yang mendiami daerah sekitar Kutai Lama dan Tenggarong
Kemudian dalam perkembangan komunitas selanjutnya, Puak Pantun, Punang dan Melani tumbuh dan berkembang menjadi suku Kutai yang memiliki bahasa sama namun beda dialek. Suku Kutai adalah suku asli daerah ini. Selanjutnya secara bergelombang berdatangan suku Banjar dan Bugis, sehingga kelompok suku Melayu yang mendiami daerah Kutai terdiri atas suku Kutai, Banjar dan Bugis.
Sementara, keturunan Puak Tulur Dijangkat tumbuh dan berkembang menjadi suku Dayak. Mereka berpencar meninggalkan tanah aslinya dan membentuk kelompok suku masing-masing yang sekarang dikenal sebagai suku Dayak Tunjung, Bahau, Benuaq, Modang, Penihing, Busang, Bukat, Ohong dan Bentian.
Suku Tunjung mendiami daerah Kecamatan Melak, Barong Tongkok dan Muara Pahu.
Suku Bahau mendiami daerah Kecamatan Long Iram dan Long Bagun.
Suku Benuaq mendiami daerah Kec. Jempang, Muara Lawa, Damai dan Muara Pahu.
Suku Modang mendiami daerah Kecamatan Muara Ancalong dan Muara Wahau.
Suku Penihing, Suku Bukat, Suku Ohong mendiami daerah Kecamatan Long Apari.
Suku Busang mendiami daerah Kecamatan Long Pahangai.
Suku Bentian mendiami daerah Kecamatan Bentian
b. Kelompok Suku Dayak
Keturunan Puak Tulur Dijangkat tumbuh dan berkembang menjadi suku Dayak. Mereka berpencar meninggalkan tanah aslinya dan membentuk kelompok suku masing-masing yang sekarang dikenal sebagai suku Dayak Tunjung, Bahau, Benuaq, Modang, Penihing, Busang, Bukat, Ohong dan Bentang.
1. Suku Tunjung mendiami daerah kecamatan Melak, Barong Tongkok, Muara Pahu
2. Suku Bahau mendiami daerah kecamatan Long Iram dan Long Bagun
3. Suku Benuaq mendiami daerah kec. Jempang, Muara Lawa, Damai dan Muara Pahu
4. Suku Modang mendiami daerah kecamatan Muara Ancalong dan Muara Wahau
5. Suku Penihing, Bukat, dan Ohong mendiami daerah kecamatan Long Apari
6. Suku Busang mendiami daerah kecamatan Long Pahangai
7. Suku Bentian mendiami daerah kecamatan Bentian Besar dan Muara Lawa.
Selain suku-suku tersebut, terdapat pula suku-suku lain yaiyu suku Dayak Kenyah, Punan, Basap, dan Kayan.
• Suku Kenyah merupakan pendatang dari Apo Kayan, Kab.Bulungan. Kini suku ini mendiami wilayah Kecamatan Muara Ancalong, Muara Wahau, Tabang, Long Bagun, Long Pahangai, Long Iram dan Samarinda Ilir.
• Suku Punan merupakan suku Dayak yang mendiami hutan belantara di seluruh Kalimantan Timur mulai dari daerah Bulungan, Berau hingga Kutai. Mereka hidup dalam kelompok-kelompok kecil di gua-gua batu dan pohon-pohon.
• Suku Basap menurut cerita merupakan keturunan orang-orang china yang kawin dengan suku Punan. Mereka mendiami wilayah Kecamatan Bontang dan Sangkulirang.
Suku Kayan berasal dari Kalimantan Tengah, suku ini sering juga disebut dengan Suku Biaju. Mereka mendiami daerah kecamatan Long Iram, Long Bagun dan Muara Wahau.
2. Bahasa
Masyarakat Kutai yang terdiri dari banyak suku dan sub suku memiliki bahasa yang beragam. Beberapa bahasa sub suku yang sudah tidak dipergunakan lagi atau sudah punah adalah bahasa Umaa Wak, Umaa Palaa, Umaa Luhaat, Umaa Palog, Baang Kelo, dan Umaa Sam, bahasa-bahasa tersebut dulunya lazim digunakan oleh masyarakat Dayak di hulu maupun hilir Mahakam.
tuani sianipar

































Tidak ada komentar:

Posting Komentar