Persidangan Sinode Tahunan (PST) GPIB 2024

Persidangan Sinode Tahunan (PST) GPIB 2024 akan dilaksanakan di Musyawarah Pelayanan Kalimantan Timur II sebagai tuan rumah

T A T O


KEKAYAAN TRADISI PADA SUKU DAYAK

Banyaknya tradisi dan kesenian yang dimiliki suku Dayak, tidak terlepas dari banyaknya sub-sub suku Dayak. Pahlawan masyarakat Dayak yang menjadi gubernur pertama Propinsi Kalimantan Tengah dan namanya diabadikan menjadi Bandar udara di Palangkaraya, Tjilik Riwut, membagi suku Dayak menjadi 403-450 suku kecil.

Rinciannya yang disampaikan tahun 1959 tersebut sebagai berikut:

1.  Dayak Ngaju Grup terbagi empat suku besar
a.   Ngaju, terdiri atas 53 suku kecil
b.   Maanyan, terdiri atas 8 suku kecil
c.   Lawangan, terdiri atas 21 suku kecil
d.   Dusun, terdiri atas 8 suku kecil

2.  Dayak Apau Kayan Grup terbagi atas tiga suku besar
a.   Kenyah, terdiri atas 53 suku kecil
b.   Kayan, terdiri atas 10 suku kecil
c.   Bahau, terdiri atas 26 suku kecil

3.  Dayak Iban Grup, terdiri atas sebelas suku kecil
4.  Dayak Kalimantan, terdiri dari dua suku besar
a.   Klemantan, terdiri atas 47 suku kecil
b.   Ketungau, terdiri atas 39 suku kecil

5.  Dayak Murut Grup, terbagi atas tiga suku besar
a.   Idaan, terdiri atas 6 suku kecil
b.   Tidung, terdiri atas 10 suku kecil
c.   Murut, terdiri atas 28 suku kecil

6.  Dayak Punan Grup, terdiri atas tiga suku besar
a.   Basap, terdiri atas20 suku kecil
b.   Punan, terdiri atas 24 suku kecil
c.   At, terdiri atas 5 suku kecil

7.  Ot Danum, terdiri dari 61 suku kecil


KESAMAAN KARAKTERISTIK SUKU DAYAK DI KALIMANTAN

Meski tradisi suku Dayak sangat beragam, menurut Fridolin Ukur, ada beberapa kesamaan tradisi yang dipegang teguh masyarakat Dayak, yakni:

1.   Rumah Panjang, kecuali suku Dayak Punan, semua pada mulanya hidup secara komunal di rumah panjang yang disebut ou, lamin, betang dan ada pula yang menyebut lewu hante.
2.   Senjata khas suku Dayak adalah sumpit dan Mandau
3.   Anyaman-anyaman rotan merupakan kerajinan yang terdapat hamper pada semua suku Dayak
4.   Tembikar, meski tak begitu jelas asal-usulnya, namun tembikar seperti bejana, tempayan atau belang menjadi bagian dari tradisi suku Dayak di Kalimantan.
5.   Pertanian dengan sistem perladangan hamper dimiliki semua suku Dayak di Kalimantan
6.   Kedudukan perempuan dalam masyarakat, sistem genelologis dalam masyarakat Dayak adalah parental dimana garis keturunan ayah dan ibu dianggap sama
7.   Hampir semua suku Dayak di Kalimantan memiliki ciri seni tarian yang khas.

 

Telinga Panjang, Tradisi Khas Suku Dayak


Menyebut seni tato, banyak suku bangsa di Nusantara yang memiliki tradisi ini seperti suku Dayak, Mentawai, dan Papua. Namun, tradisi telinga panjang, hanya suku Dayak di Kalimantan yang memiliki tradisi unik dan khas ini. Itupun tidak semua suku Dayak, tetapi hanya beberapa subsuku Dayak tertentu.

Meski menjadi salah satu cirri khas atau identitas yang sangat menonjol sebagai penduduk asli Kalimantan, namun tradisi ini sekarang justru semakin ditinggalkan. Kalaupun ada yang bertahan, hanya sebagian kecil golongan generasi tua Dayak yang berumur diatas 60 tahun.

Selain jumlahnya sangat sedikit, mereka yang asalnya bertelinga panjang secara sengaja memotong ujung daun telinga mereka. Alasan yang sering dikemukakan, takut dianggap ketinggalan zaman atau khawatir anak-anak mereka merasa malu.

Menurut antropolog Mering Ngo, yang juga berasal dari suku Dayak, jika tato tradisional Dayak kini berkembang menjadi seni tato modern, tradisi telinga panjang justru semakin tenggelam dan ditinggalkan. Tidak ada generasi muda sekarang yang meneruskan tradisi ini, bahkan dipedalaman Kalimantan sekalipun, dengan beragam alasan.

“Cukup saya saja yang yang telinganya dibuat panjang.Ketujuh anak saya, satu pun tidak ada yang telinganya dibuat panjang,” tutur Pejung (82), warga suku Dayak Kayan yang telinganya dibuat panjang hingga sekitar 15 sentimeter.

“Saya kasihan jika anak-anak saya nantinya malu dan menjadi bahan ejekan. Padahal, telinga panjang harus mulai dilakukan sejak masih bayi,” tambah Pejung.

Menurut Mering Ngo, selain tidak ada penerus untuk melestarikan tradisi telinga panjang, juga tidak semua kelompok atau subsuku Dayak di Kalimantan memiliki tradisi telinga panjang ini. Di Kalimantan Barat, misalnya, tradisi telinga panjang hanya dikenal antara lain di kalangan masyarakat Dayak Iban, Kayan, Taman, dan Dayak Punan. Tradisi ini pun kebanyakan hanya berlaku di daerah pedalaman seperti di Kabupaten Kapuas Hulu.

Pembuatan telinga panjang tidak hanya dilakukan pada perempuan, tetapi juga pada laki-laki. Pembuatan telinga panjang biasanya dilakukan sejak masih bayi. Adapun tujuannya, menurut Mering Ngo, dikaitkan dengan penggolongan strata social seseorang di dalam masyarakat.

Di Dayak Kayan, misalnya, pembuatan telinga panjang menunjukkan orang tersebut berasal dari kalangan bangsawan.

Adapun pembuatan telinga panjang pada perempuan menunjukkan dia seorang bangsawan sekaligus untuk membedakan dengan perempuan yang dijadikan budak karena kalah perang atau tidak mampu membayar utang.

Lain lagi dengan desa-desa di hulu sungai Mahakam. Telinga panjang digunakan sebagai identitas untuk menunjukkan umur seseorang. Begitu bayi lahir, ujung telinga diberi manik-manik yang cukup berat. Setiap tahun, jumlah manik-manik yang menempel ditelinga bertambah satu.

“Karena itu, kalau ingin mengetahui umur seseorang, bisa dilihat dari jumlah manic-manik yang menempel di telinga. Jika jumlahnya 60, maka usianya pasti 60 tahun karena pemasangan manik-manik tidak bisa dilakukan sembarangan, Cuma setahun sekali,” ungkap Jacobus Bayau Lung, Ketua II Persekutuan Dayak Kalimantan Timur.

Tujuan pembuatan telinga panjang pun bukan untuk menunjukkan status kebangsawanan, tetapi justru untuk melatih kesabaran. “Bayangkan saja, betapa beratnya manik-manik yang tergantung di telinga. Tetapi, karena dipakai setiap hari, kesabaran dan rasa penderitaan mereka menjadi terlatih,” ujar Bayau Lung.

Sementara itu, di kalangan masyarakat Dayak Kayan, agar daun telinga menjadi panjang, biasanya daun telinga diberi pemberat berupa logam berbentuk lingkaran gelang atau berbentuk gasing ukuran kecil. Dengan pemberat ini daun telinga akan terus memanjang hingga beberapa sentimeter.

Sementara pada Dayak Iban, tidak diberi pemberat demikian, tetapi hanya dibiarkan terlihat seperti lubang besar seperti kalau kita membuat angka nol dengan menyatukan ujung ibu jari dengan ujung jari telunjuk.

Di Dusun Sungai Utik, Desa Apan, Kecamatan Embaloh Hulu, Kabupaten Kapuas Hulu, misalnya, ditemukan seorang Dayak Iban bernama Tuba.

Orang tua berumur sekitar 68 tahun tersebut memanjangkan telinganya sekitar tahun 60-an saat merantau ke Serawak dan Brunei Darussalam. Di sana dirinya selain memanjangkan telinga juga membuat tato di bagian leher, lengan dan paha.

Guru Besar Hukum Adat Universitas Tanjungpura Prof Dr Yohanes Cyprianus Thambun Anyang menyatakan, tradisi telinga panjang Dayak Iban hamper sama dengan Dayak Taman yang tidak member pemberat.

“Pada Dayak Taman, tradisi telinga panjang itu tidak terkait dengan strata social tertentu. Tradisi ini khususnya untuk perempuan hanya sebagai identitas keperempuannya,” papar pakar hukum adat ini.

Tetapi, kata Thambun, tradisi ini sudah ditinggalkan masyarakat Dayak Taman. “Ibu saya saja justru begitu datang ke Pontianak waktu itu meminta dipotong ujung daun telinganya karena khawatir nanti anak-anaknya malu”, ungkapnya.

Menurut  Thambun, memanjangkan telinga hanyalah salah satu tradisi menghias tubuh. Tradisi suku Dayak lainnya adalah membuat tato dan memasang gigi emas, Namun, dari ketiga tradisi menghias tubuh tersebut, hanya tato yang masih bertahan walaupun semakin kehilangan makna spiritualnya. Sedangkan membuat telinga panjang dan memasang gigi emas sudah ditinggalkan.

“Tradisi memasang gigi emas bagi Dayak Taman untuk menunjukkan yang bersangkutan sudah merantau jauh, sebab gigi emas yang bagus cuma ada di Serawak dan Brunei Darussalam,” tuturnya.

Mulai kapan tradisi telinga panjang ini ditinggalkan?
Menurut Mering, ini tidak diketahui persis, namun diperkirakan sama dengan tradisi tato ketika mulai masuknya para misionaris ke daerah pedalaman di perkampungan Dayak pada zaman colonial Belanda dulu.

Tradisi ini pun semakin terkikis habis ketika terjadi konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia di daerah perbatasan Kalimantan. Saat ini berkembang stigma di masyarakat, mereka yang berdaun telinga panjang dan tinggal di rumah-rumah panjang, yang dihuni beberapa keluarga, merupakan kelompok masyarakat yang tidak modern. Tidak tahan terhadap pandangan seperti itu, akhirnya beberapa warga memotong telinga panjangnya.

Stigma semacam ini terus berlangsung hingga sekarang. Kalangan generasi muda Dayak tidak mau lagi membuat telinga panjang karena takut dianggap ketinggalan zaman dan tidak modern.

Hanya sebagian kecil masyarakat Dayak yang masih memegang teguh tradisi berdaun telinga panjang, dan itupun jumlahnya sangat minim.
(M Syaifullah/Try Harijono)

 

Makna Tato bagi Masyarakat Dayak

Jangan kaget jika masuk ke perkampungan masyarakat Dayak dan berjumpa dengan orang-orang tua yang dihiasi berbagai macam tato indah di beberapa bagian tubuh. Tato yang menghiasi tubuh mereka itu bukan sekadar hiasan, apalagi supaya dianggap jagoan. Tetapi, Tato bagi masyarakat Dayak memiliki makna yang sangat mendalam.

Tato bagi sebagian masyarakat etnis Dayak merupakan bagian dari tradisi, religi, status social seseorang dalam masyarakat, serta bias pula sebagai bentuk penghargaan suku terhadap kemampuan seseorang. Karena itu, tato tidak bias dibuat sembarangan. Ada aturan-aturan tertentu dalam pembuatan tato atau parung, baik pilihan gambarnya, struktur social orang yang di tato maupun penempatan tatonya. Meski demikian, secara religi tato memiliki makna sama dalam masyarakat Dayak, yakni sebagai “obor” dalam perjalanan seseorang menuju alam keabadian, setelah kematian.

Karena itu, semakin banyak tato, “obor” akan semakin terang dan jalan menuju alam keabadian semakin lapang. Meski demikian, tetap saja pembuatan tato tidak bias dibuat sebanyak-banyaknya secara sembarangan, karena harus mematuhi aturan-aturan adat.

Setiap sub-suku Dayak memiliki aturan yang berbeda dalam pembuatan tato. Bahkan ada pula sub-suku Dayak yang tidak mengenal tradisi tato,” ungkap Mering Ngo, warga suku dayak yang juga antropolog lulusan universitas Indonesia.

Bagi suku Dayak yang bermukim di perbatasan Kalimantan dan Sarawak Malaysia, misalnya, tato disekitar jari tangan menunjukkan orang tersebut suku yang suka menolong seperti ahli pengobatan. Semakin banyak tato di tangannya, menunjukkan orang itu semakin banyak menolong dan semakin ahli dalam pengobatan.

Bagi masyarakat Dayak Kenyah dan Dayak Kayan di Kalimantan Timur, banyaknya tato menggambarkan orang tersebut sudah sering mengembara. Karena setiap kampong memiliki motif tato yang berbeda, banyaknya tato menandakan pemiliknya sudah mengunjungi banyak kampong.

Jangan bayangkan kampong tersebut hanya berjarak beberapa kilometer. Di Kalimantan, jarak antar kampong bias ratusan bahkan ribuan kilometer, dan harus ditempuh menggunakan perahu menyusuri sungai lebih dari satu bulan!

Karena itu, penghargaan pada perantau diberikan dalam bentuk tato,”tutur ketua II Persekutuan Dayak Kalimantan Timur (PDKT), Yacobus Bayau Lung.

Bisa pula tato diberikan kepada para bangsawan. Dikalangan masyarakat Dayak Kenyah, motif yang lazim untuk kalangan bangsawan (paren) adalah burung enggang yakni burung endemic Kalimantan yang dikeramatkan.

Adapun bagi Dayak Iban, kepala suku beserta keturunannya ditato dengan motif “dunia atas” atau sesuatu yang hidup diangkasa. Selain motifnya terpilih, cara pengerjaan tato untuk kaum bangsawan biasanya lebih halus dan detail dibandingkan tato untuk golongan menengah (panyen).

Bagi subsuku lainnya, pemberian tato dikaitkan dengan tradisi mengayau atau memenggal kepala musuh dalam suatu peperangan. Tradisi ini sudah puluhan tahun tidak dilakukan lagi, namun dulunya semakin banyak mengayau, motif tatonya pun semakin khas dan istimewa.

Tato untuk sang pemberani di medan perang ini, biasanya ditempatkan dipundak kanan. Namun pada subsuku lainnya, ditempatkan di lengan kiri jika keberaniannya “biasa”, dan dilengan kanan jika keberanian dan keperkasaannya di medan pertempuran sangat luar biasa. “Pemberian tato yang dikaitkan dengan mengayau ini, dulunya sebagai bentuk penghargaan dan penghormatan suku kepada orang-orang yang perkasa dan banyak berjasa,” tutur Simon Devung, seorang ahli Dayak dan Central for Social Foresty (CSF) Universitas Mulawarman Samarinda.

TATO atau parung atau betik tidak hanya dilakukan bagi kaum laki-laki, tetapi juga kaum perempuan. Untuk laki-laki, tato bisa dibuat dibagian manapun pada tubuhnya, sedangkan pada perempuan biasanya hanya pada kaki dan tangan.

Jika pada laki-laki pemberian tato dikaitkan dengan penghargaan atau penghormatan, pada perempuan pembuatan tato lebih bermotif religius.

“Pembuatan tato pada tangan dan kaki dipercaya bias terhindar dari pengaruh roh-roh jahat dan selalu berada dalam lindungan Yang Maha Kuasa,”ujar Yacobus Bayau Lung.

Pada subsuku tertentu, pembuatan tato juga terkait dengan harga diri perempuan, sehingga dikenal istilah tedak kayaan, yang berarti perempuan tak bertato dianggap lebih rendah derajatnya disbanding dengan yang bertato. Meski demikian, pandangan seperti ini hanya berlaku disebagian kecil subsuku Dayak.

Pada suku Dayak Kayan, ada tiga macam tato yang biasanya disandang perempuan, antara lain tedak kassa, yakni meliputi seluruh kaki dan dipakai setelah dewasa. Tedak usuu, tato yang dibuat pada seluruh tangan dan tedak hapii pada seluruh paha.

Sementara di suku Dayak Kenyah, pembuatan tato pada perempuan dimulai pada umur 16 tahun atau setelah haid pertama. Untuk pembuatan tato bagi perempuan, dilakukan dengan upacara adat di sebuah rumah khusus. Selama pembuatan tato, semua pria tidak boleh keluar rumah. Selain itu seluruh keluarga juga diwajibkan menjalani berbagai pantangan untuk menghindari bencana bagi wanita yang sedang ditato maupun keluarganya.

Motif tato bagi perempuan lebih terbatas seperti gambar paku hitam yang berada disekitar ruas jari disebut song irang atau tunas bamboo. Adapun yang melintang dibelakang buku jari disebut ikor. Tato dipergelangan tangan bergambar wajah macan disebut silong lejau.

Adapula tato yang dibuat dibagian paha. Bagi perempuan Dayak memiliki dibagian paha status sosialnya sangat tinggi dan biasanya dilengkapi gelang dibagian bawah betis.

Motif tato dibagian paha biasanya juga menyerupai silong jelau. Perbedaannya dengan tato di tangan, ada garis melintang pada betis yang dinamakan nang klinge.

Tato sangat jarang ditemukan dibagian lutut. Meski demikian ada juga tato dibagian lutut pada lelaki dan perempuan yang biasanya dibuat pada bagian akhir pembuatan tato di badan. Tato yang dibuat di atas lutut dan melingkar hingga ke betis menyerupai ular, sebenarnya anjing jadi-jadian atau disebut tuang buvong asu.

Baik tato pada laki-laki maupun perempuan, secara tradisional dibuat menggunakan duri buah jeruk yang panjang dan lambat-laun kemudian menggunakan beberapa buah jarum sekaligus. Yang tidak berubah adalah bahan pembuatan tato yang biasanya menggunakan jelaga dari periuk yang berwarna hitam.

“Karena itu, tato yang dibuat warna warni, ada hijau, kuning dan merah, pastilah bukan tato tradisional yang mengandung makna filosofis yang tinggi,” ucap Yacobus Bayau Lung.

Tato warna warni yang dibuat kalangan pemuda kini, hanyalah tato hiasan yang tidak memiliki makna apa-apa. Gambar dan penempatan dilakukan sembarangan dan asal-asalan. Tato seperti itu sama sekali tidak memiliki nilai religious dan penghargaan, tetapi Cuma sekadar untuk keindahan, dan bahkan ada yang ingin dianggap sebagai jagoan.
(M. Syaifullah/Try Harijono)
 


Tato, Tradisi yang Mulai Ditinggalkan

Tradisi membuat tato bagi sebagian masyarakat Dayak kini mulai ditinggalkan. Kalaupun ada kalangan generasi muda Dayak yang membuat tato itu lebih disebabkan factor keindahan. Padahal, dulu, tradisi ini sangat erat kaitannya dengan religi dan tidak bias dilakukan sembarangan. Diperlukan upacara ritual sebelum melakukan tato. Motif dan penempatan tato pun tidak bias dilakukan sembarangan, tetapi harus mematuhi peraturan adat.

Kini aturan-aturan baku tersebut mulai ditinggalkan. Tidak diketahui persis sejak kapan tradisi membuat tato secara perlahan mulai ditinggalkan masyarakat. Menurut antropologi Mering Ngo, yang juga berasal dari suku Dayak, tradisi membuat tato tidak terlepas dari tradisi mengayau atau memenggal kepala musuh yang dulu sering dilakukan. Namun, sejak dilakukan Pertemuan Tumbanganoi yang dihadiri para pimpinan suku pada zaman colonial Belanda awal tahun 1900-an, tradisi mengayau tidak lagi dilakukan.

Datangnya agama semit pada masa penjajahan Belanda, ikut mendorong ditinggalkannya tradisi mengayau sehingga terdisi membuat tato pun perlahan-lahan tersisihkan. Sekitar 1930, tardisi mengayau tidak lagi dilakukan sehingga pembuatan tato pun semakin ditinggalkan. Karena itu, hanya orang-orang tua yang sudah uzur yang kini tubuhnya masih dihiasi tato-tato tradisional.

“Tato yang menghiasi generasi muda sekarang, bukan tato tradisional yang sarat makna, tetapi Cuma tato hiasan,” ungkap Simon Devung, ahli Dayak dari Central for Social Forestry Universitas Mulawarman, Samarinda.

Ketua II Persatuan Dayak Kalimantan Timur (PDKT) Jacobus Bayau Lung menyebutkan, ditinggalkannya tradisi tato erat kaitannya dengan masalah social. Ditengah masyarakat sekarang berkembang persepsi, mereka yang ditato adalah jagoan dan bahkan seorang preman. Karena anggapan seperti ini, mereka yang ditato sulit mendapatkan pekerjaan. “Khawatir sulit mendapatkan pekerjaan, laki-laki yang sudah dewasa akhirnya tidak mau menjalankan tradisi tato,” ujar Jacobus Bayau Lung.

Edi V Petebang, salah seorang pemuda Dayak yang memimpin Redaksi Majalah Kalimantan Review, di Pontianak, menyebutkan, pemuda Dayak yang ditato sekarang ini tidak tahu makna dan lokasi pembuatan tatonya. Mereka membuat tato secara sembarangan kerena hanya untuk keindahan dan tidak ada kaitannya dengan tradisi. Hanya di kalangan orang-orang tua Dayak berumur dia atas 50 tahun, tradisi tato ini masih tetap lestari dan makna ritualnya masih tetap bias dinikmati.

Sumber: KOMPAS, Jumat 22 Oktober 2004 (Tanah Air)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar