Persidangan Sinode Tahunan (PST) GPIB 2024

Persidangan Sinode Tahunan (PST) GPIB 2024 akan dilaksanakan di Musyawarah Pelayanan Kalimantan Timur II sebagai tuan rumah

Potensi Pariwisata

POTENSI PARIWISATA
KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA
TAHUN 2007


 


KUTAI KARTANEGARA
Kabupaten Kutai Kartanegara dengan luas ± 27.263 km² terletak dibagian Timur Pulau Kalimantan, sebuah wilayah yang dihiasi sejumlah sungai, utamanya sungai induk adalah sungai Mahakam yang dapat dilalui kapal besar sampai ke daerah pedalaman. Terdiri atas 18 Kecamatan dan 220 Desa/Kelurahan. Pada umumnya pusat pemukiman masyarakat di Kabupaten Kutai Kartanegara adalah di tepi sungai atau Daerah Aliran Sungai (DAS). Menurut data statistik (tahun 2006) sebanyak 51,56% desa berada di wilayah sekitar daerah aliran sungai, sisanya berada di dataran dan di daerah lereng atau punggung bukit.

Keberadaan pemukiman penduduk yang sebagian besar berada di tepian sungai adalah karena tidak terlepas dari kondisi lingkungan alam Kutai Kartanegara, yaitu berada di tepi Sungai Mahakam anak sungai yang merupakan salah satu sungai yang terbesar dan terpanjang di Pulau Kalimantan. Oleh karena itu sarana transportasi yang paling dominant digunakan adalah sarana transportasi air, dalam hal angkutan barang terutama di daerah pedalaman yang belum dapat ditempuh dengan jalan darat. Namun saat itu sudah ada jalan darat yang menghubungkan ibukota Propinsi Kalimantan Timur dan Kabupaten, Kutai Barat dan Kutai Timur.

Di pesisir sungai di huni oleh beraneka ragam etnis suku dan dengan segala macam seni budaya yang masih bersifat tradisional, sehingga menciptakan heteroginitas social dengan segala fasilitas geografis dan topografi yang membuat Kalimantan Timur sangat potensial bagi upaya pengembangan kepariwisataan, baik saat ini maupun dimasa yang akan datang.

Kekayaan sumber daya alam berupa hasil tambang, terutama minyak bumi dan batu bara. Kutai Kartanegara sejak dahulu dikenal akan sumber daya alamnya terutama hasil hutan berupa dammar, rotan, ulin, dan lain-lain. Bahkan juga terdapat sarang burung wallet yang sudah dikenal akan khasiatnya. Berlimpahnya sumber daya ala mini menjadi salah satu factor pendukung mengapa Kutai Kartanegara menjadi primadona untuk investasi domestic dan mancanegara dalam sector bisnis.

Selain memiliki kekayaan alam yang melimpah, Kutai Kartanegara juga memiliki kekayaan khasanah budaya dan adapt istiadat yang masih tetap ada hingga sekarang dan menjadi potensi pariwisata yang menjanjikan bagi kemajuan Kutai Kartanegara yang sedang menggalakkan sektor pariwisata sebagai sektor andalan selain sumber daya alam. Potensi pariwisata berupa adapt istiadat dari Suku Kutai dan Dayak sebagai penduduk asli Kutai Kartanegara dan diperkaya dengan adapt istiadat suku di luar penduduk asli, yaitu Banjar, Jawa, Bugis, Madura, dan lain-lain.








POTENSI PARIWISATA

A.    Sejarah dan Peninggalan Kerajaan Kutai Kartanegara
1.    Sejarah
Kecamatan Muara Kaman diyakini sebagai tempat bersejarah dimana berdirinya Kerajaan Hindu pertama dan tertua di Indonesia, hal ini ditandai dengan ditemukannya tujuh buah yupa prasasti yang bertuliskan sejarah tentang berdirinya kerajaan ini. Dapat dikatakannya bahwa keberadaan yupa di Muara Kaman ini sangat penting bagi rekontruksi sejarah nasional, terutama periode awal munculnya kerajaan yang bercorak Hindu-Buddha di Indonesia. Hal ini berarti bahwa peradaban paling awal di Indonesia lahir di wilayah Kutai Kartanegara.

Berdasarkan paleografi, huruf yang tertera pada yupa ini ditulis dengan huruf Pallawa awal dan bahasa Sansekerta yang berasal dari abad ke 5 masehi. Bahasa sansekerta adalah bahasa yang hanya digunakan oleh Kaum Brahmana dalam kitab-kitab Veda. Dari tujuh Yupa ini diketahui bahwa yupa ini didirikan oleh para brahmana sebagai peringatan peobatan Raja Mulawarman, yang menyebutkan bahwa Kudungga dan Aswawarman adalah kakek dan ayahnya, yang juga sebagai raja sebelum dirinya. Sayangnya setelah pemerintahan Mulawarman berakhir, tidak ada informasi apapun mengenai keadaan kerajaan di Muara Kaman. Barulah pada abad ke-13 M dan seterusnya diperoleh informasi dari Kitab Silsilah Kutai mengenai Kerajaan Martapura di tanah hulu, Muara Kaman. Hal ini dikatakan sebagai periode gelap dalam rekontruksi sejarah Kerajaan Kutai, antara abad ke-5 dan abad ke-13 M.
Kerajaan Kutai Hindu dikenal juga dengan sebutan Kutai Ing Martapura. Sejak abad ke-14 berubah nama menjadi Kutai Kartanegara. Setelah menyatu dengan Kerajaan Pantai/Pesisir maka nama kerajaan tersebut menjadi Kutai Kartanegara Ing Martapura pada abad ke-17.

Pada pemerintahan raja keenam, yaitu dipimpin oleh Raja Adji Raja Mahkota (1525-1600), kerajaan ini mulai memeluk agama Islam. Sejak pemerintahan raja keenam inilah, agama isalm menjadi agama mayoritas masyarakat Kutai. Pada masa pemerintahan Adji Raja Muhammad Parikesit, beliau membangun sebuah mesjid yang diberi nama Masjid Jami’ Adji Amir Hasanoeddin di Istana Sultan Kutai yang sekarang menjadi Museum Mulawarman.

Pada tahun 1945, ketika Indonesia telah memproklamasikan kemerdekaannya, Kesultanan Kutai masuk ke dalam federasi Kalimantan Timur dengan status Daerah Swapraja. Pada 27 Desember 1949, Kutai bergabung ke dalam Republik Indonesia Serikat, kemudian 10 April 1950 Federasi Kalimantan Timur bergabung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kutai Kartanegara pernah menjadi Daerah Istimewa dan statusnya kembali berubah menjadi Kabupaten bersama dengan Berau, Bulungan dan Pasirsebagai bagian dari Propinsi Kalimantan Timur.

Dengan ditetapkannya sebagai Kabupaten, maka Kutai pun dipimpin oleh seorang Bupati dan berakhirlah masa Kesultanan Kutai dengan Sultan yang terakhir yaitu Sultan Adji Muhammad Parikesit yang kemudian terpilih menjadi Bupati Kutai yang pertama.

Kemudian pada tahun 1999, tradisi kesultanan Kutai Kartanegara dihidupkan kembali oleh Pemerintahan Kabupaten Kutai Kartanegara sebagai upaya pelestarian sejarah dan budaya Kutai. Pemangku adapt Kutai yang merupakan Putra Mahkota Kesultanan Kutai dinobatkan menjadi Sultan Kutai dengan gelar Sultan Aji Muhammad Salehuddin II pada tanggal 22 September 2001 dan ditandai dengan pemasangan Mahkota atau Ketopong.

2.    Peninggalan Kerajaan Kutai Kartanegara
a.     Museum Negeri Mulawarman
Bangunan Keraton Kutai Kartanegara terletak di Ibukota Kabupaten Kutai Kartanegara (Tenggarong), Kraton peninggalan Kerajaan Kutai Kartanegara ini sekarang telah beralih fungsi menjadi Museum Mulawarman, didirikan pada tahun 1932 oleh Pemerinthana Belanda yang menyerahkan Keraton kepada Sultan Adji Muhammad Parikesit pada tahun 1935. Bahan bangunannya didominasi oleh beton mulai dari ruang bawah tanah, lantai, dinding, penyekat hingga atap.

Di halaman depan Museum terdapat duplikat Patung Lembu Swana yang merupakan lambing Kerajaan Kutai Kartanegara. Arsitektur dari museum ini mengadopsi dari arsitektur tradisional Suku Dayak yang ada di Kutai.

Museum Mulawarman dulunya merupakan bekas Keraton Kutai Kartanegara. Museum ini menyimpan berbagai kolekasi benda-benda yang mempunyai nilai sejarah / seni yang tinggi.
Museum ini memiliki koleksi-koleksi sejarah yang terkenal, antara lain:
§         Singgasana, sebagai tempat duduk Raja dan Permaisuri. Kursi ini terbuat dari kayu, dudukan dan sandarannya diberi berlapis kapuk yang berbungkus dengan kain yang berwarna kuning, sehingga tempat duduk dan sandarac kursi tersebut terasa lembut. Kursi ini dibuat dengan gaya eropa, penciptanya adalah seorang Belanda bernama Ir.Vander Lube pada tahun 1935.
§         Patung Lembu Swana Lambang Kesultanan Kutai, dibuat di Birma pada tahun 1850 dan tiba di Istana Kutai pada tahun 1900. Lembu Swana diyakini sebagai kendaraan Tunggangan Batar Guru. Nama lainnya adalah Paksi Liman Janggo Yoksi, yakni Lembu yang bermuka gajah, bersayap burung, bertanduk seperti sapi, bertaji dan berkukuh seperti ayam jantan, berkepala raksasa dilengkapi pula dengan berbagai jenis ragam hias yang menjadikan patung ini terlihat indah.
§         Kalung Uncal, benda ini merupakan atribut dan benda kelengkapan kebesaran Kesultanan Kutai Kartanegara yang digunakan pada waktu penobatan Sultan Kutai menjadi Raja atau pada waktu Sultan merayakan ulang tahun kelahiran dan penobatan Sultan serta acara sacral lainnya.
§         Meriam Sapu Jagad Peninggalan VOC, Belanda
§         Prasasti Yupa, yang terdapat di Museum ini adalah tiruan dari Yupa yang asli yang terdapat di Museum Nasional di Jakarta. Prasasti Yupa adalah prasasti yang ditemukan di Bukit Brubus Kecamatan Muara Kaman. Ke 7 prasasti ini menandakan dimulainya zaman sejarah di Indonesia yang merupakan bukti tertulis pertama yang ditemukan dan berhuruf Pallawa bahasa Sansekerta.
§         Seperangkat Gamelan dari Keraton Yogyakarta 1855
§         Arca Hindu dan 7 Replika Prasasti Yupa
§         Seperangkat Meja Tamu peninggalan Kerajaan Bulungan
§         Ulap Doyo, hasil kerajinan Suku Dayak Benuaq
§         Minirama tentang sejarah Kerajaan Kutai Kartanegara
§         Koleksi Numismatika (mata uang dan alat tukar lainnya)
§         Koleksi Keramik dari Cina, Jepang, Vietnam dan Thailand
§         dll
b.    Kedaton Kutai Kartanegara
Kedaton terletak di pusat Kota Tenggarong, di belakang Museum Mulawarman dan di depan Monumen Pancasila Tenggarong atau jalan Monumen Barat. Dan letaknya tidak jauh dari Museum Mulawarman, Planetarium Jagad Raya dan Masjid Jami’ Adji Amir Hasanoeddin. Dibangun pada tahun 2001 dan sejarah dibukanya obyek wisata ini adalah untuk melestarikan budaya Kutai. Pihak Kesultanan membuat Lembaga Adat dan Dewan Adat di setiap daerah-daerah yang merupakan wilayah Kerajaan Kutai sebagai wadah untuk melestarikan budaya, fungsinya sebagai perpanjangan tangan dari Kesultanan Kutai.
Arsitektur Kedaton Kutai Kartanegara merupakan perpaduan gaya modern dan gaya istana Kerajaan Kutai Kartanegara. Ruangan istana nampak megah dan mewah dengan tatanan Singgasana Sultan di kelilingi oleh kursi yang terbuat dari emas. Di sebelah kiri Singgasana terdapat tempat tidur tradisional khas Kutai dan di ruangan itu juga terdapat gamelan Jawa.

Di dalam Kedaton juga terdapat banyak ukiran yang berciri khas adapt Kutai, Dayak dan Jawa untuk menunjukkan bahwa Kerajaan Kutai Kartanegara memiliki hubungan sejarah yang erat dengan suku Dayak dan Kesultanan Jawa.

3.    Masjid Jami’ Adji Amir Hasanoeddin Tenggarong
Masjid Jami Hasanuddin masuk wilayah Kesultanan Kutai Kartanegara dan crri khas kerajaan Kutai yang ada pada zaman Raja Adji Mahkota berupa mushola kecil dan dibangun menjadi masjid berukuran besar pada tahun 1930 pada saat Kerajaan Kutai diperintah oleh Sultan Adji Mohammad Parikesit (1920-1959).
Pembangunan Masjid Jami’ Adji Amir Hasanoeddin tahap pertama dilaksanakan pada saat Kerajaan diperintah oleh Sultan Adji Mohammad Sulaiman dan tahap kedua dilaksanakan oleh cucunya yaitu Sultan Adji Muhammad Parikesit dan diprakarsai oleh seorang Menteri Kerajaan yang bernama H.Adji Amir Hasanoeddin dengan gelarnya Haji Adji Pangeran Sosro Negoro. Nama Menteri inilah yang kemudian diabadikan menjadi nama Masjid ini.

Koleksi yang terdapat dalam Masjid ini adalah Menara masjid, Tiang Guru, Mimbar masjid dan Sudut Mihrab masjid.

Bangunan mesjid dirancang permanent bercorak rumah adapt Kalimantan Timur. Atapnya tumpang tiga dengan puncaknya berupa bentuk limas segi lima. Pada setiap tingkatan ditandai ventilasi yang jumlahnya bervariasi, bergantung pada besar kecilnya bangunan. Masjid ini memiliki peran besar bagi masyarakat Tenggarong dan sekitarnya. Karena mengandung nilai-nilai historis yang tidak bisa dilupakan begitu saja oleh umat Islam, masjid ini sudah ditetapkan sebagai salah satu masjid yang bersejarah di Indonesia.

B.    Kawasan dan Obyek Wisata di Kabupaten Kutai Kartanegara
1.    Kawasan Wisata Alam Bukit Bangkiray
Kawasan wisata alam Bukit Bangkirai ini berada di areal PT.Inhutani I Unit Manajemen Hutan Tanaman Industri (UMHTI) dan diresmikan pada tanggal 14 Maret 1998 oleh mantan Menteri Kehutanan Ir.Djamaluddin Susyohadikusumo. Merupakan kawasan yang berperan penting untuk mengembangkan monument hutan alam tropika basah.

*  Canopy Bridge (Jembatan Tajuk), merupakan jembatan yang menghubungkan pohon canopy satu dengan pohon canopy lain setinggi 25-30 mtr dari permukaan tanah dengan panjang keseluruhan 64 mtr dan menghubungkan 5 pohon Bangkiray. Dari atas jembatan dapat dilihat formasi Tajuk Tegakan Dipterocarpacea sebagai cirri dari Hutan Hujan Tropis yang cukup indah dan membentuk stratum atas yang saling sambung menyambung.
* Pada kawasan Bukit Bangkiray terdapat rumah panjang yang dapat dipergunakan untuk ruangan sarasehan atau ruang serba guna yang berbentuk rumah adapt Dayak dengan kapasitas 50-70 orang.
*         Cottage dan Restaurant, terdapat 5 cottage bergaya rumah adapt panggung dengan fasilitas yang lengkap.
*         Jalam setapak (Trek), merupakan sarana Adventure Jungle untuk menjelajahi kawasan Hutan Bangkiray, dilengkapi dengan fasilitas untuk mengamati flora/fauna yang unik dan langka seperti beruang madu, jenis-jenis burung, babi hutan, monyet dan lainnya. Serta aneka ragam flora seperti jenis-jenis anggrek dan tanaman langka lainnya.
*         Jungle Tracking, dengan 7 trek yang panjangnya 150 mtr s/d 6 km
*         Pondokan (shelter), sebagai tempat istirahat dan makan bersama, juga sebagai tempat untuk mengamati satwa-satwa liar.
*         Jungle Cabin dan Mini Canopy Bridge, merupakan bangunan yang bernuansa alam dan berada di alam hutan.

Keanekaragaman Flora
*         Pohon Bangkiray, merupakan mascot utama dari Bukit Bangkiray
*         Koleksi Anggrek, yaitu Anggrek Hitam, Anggrek Tebu, Anggrek Mata, Anggrek Bintang Berpijar, dan lain-lain
*         Kebun Buah-buahan Hutan, yaitu Buah Manggis, Buah Mentega, Buah Lai, Buah Rambai Palembang, Ramania dan Buah Kalangkala.

Keanekaragaman Fauna
*         Burung-burung, terdapat 113 jenis burung, antara lain Punai, Kirik-kirik Biru, Kacep, Murai Batu, Sepah, dll.
*        Jenis fauna lainnya seperti Owa-owa, Beruk, Lutung Merah, Monyet Ekor Panjang, Babi Hutan, dan Bajing Terbang
*         Penangkaran Rusa, jenis yang ditangkarkan adalah Rusa Sambar.

Program Adopsi Pohon
Program ini merupakan program yang mengajak pihak luar berpartisipasi menjadi orang tua asuh terhadap pohon yang tumbuh dan berada di kawasan Bukit Bangkiray dengan cara membayar iuran untuk keperluan pemeliharaan pohon tersebut.
Juga ada Program Tanaman Memorial yang merupakan suatu bentuk respon bagi pengunjung yang ingin memiliki kenang-kenangan setelah berkunjung ke wisata Bukit Bangkiray dengan cara menanam di areal yang telah disediakan oleh Pengelola Kawasan Bukit Bangkiray.

2.    Kawasan Wisata Agrowisata Batuah
Kawasan ini terletak di jalan utama Samarinda dan Balikpapan. Dengan luas 35 Ha, kawasan ini berkonsep pertanian, alam dan wisata dan berada diantara pertanian rakyat desa Batuah Kecamatan Loa Janan Kabupaten Kutai Kartanegara.

Terdapat berbagai macam jenis anggrek di Agrowisata ini, diantaranya adalah Anggrek Alam, Dandrobium, Anggrek Vanda, Anggrek Bulan dan tanaman hias lainnya. Anggrek-anggrek di tempat ini juga dapat dibeli dengan harga yang relative murah.

Selain Anggrek, juga terdapat Rumah Kaktus dan merupakan salah satu obyek yang dapat dikunjungi. Terdapat 10 rumah kaktus yang berjejer rapid an berwarna-warni. Sama dengan anggrek, kaktus ini pun dapat dibeli dengan harga yang relatif murah.

Dikawasan inipun terdapat kolam pemancingan yang juga merupakan salah satu andalan dari Agrowisata Batuah. Terdapat 3 buah kolam yang berada di lekukan perbukitan yang dapat menampung ± 100 orang pemancing.

Fasilitas lainnya adalah Jogging Treck dan Camping Ground. Dengan lokasi yang terhampar luas serta berada pada dataran tinggi ditengah-tengah kebun buah-buahan sehingga setiap pengunjung dapat menikmati suasana alam yang indah dengan angin sepoi-sepoi dan adanya aroma keharuman bunga yang menyegarkan.

Aneka buah-buahan yang terdapat di Agrowisata ini, diantaranya adalah jenis-jenis Rambutan seperti Binjai, Lebak Bulus, Rapiah, Antalagi, dll, Durian, nanas, Salak Pondoh, Jambu, dll

Fasilitas yang terdapat di Agrowisata ini adalah café, fergola dengan payung bunga, saung tempat istirahat, toilet dan villa dengan gaya rumah panggung yang disewakan bagi pengunjung yang ingin bermalam.

3.    Kawasan Wisata Pantai Tanah Merah Samboja
Pantai Tanah Merah Samboja terletak di Desa Tanjung Harapan Samboja, 14 km dari persimpangan jalan raya Balikpapan-Samarinda (km 50) dan berjarak 127 km dari Tenggarong dengan luas ± 8 Ha

Pantai ini berpasir putih dan ditumbuhi pohon cemara yang tumbuh lebat memperindah pesisir pantai. Meruapakan tempat yang sangat cocok untuk berkreasi dan berkemah sambil berburu kepiting dan memancing ikan. Tempat ini dapat dicapai dengan menggunakan kendaraan roda dua dan empat.

4.    Danau Semayang dan Danau Melintang
Danau Semayang dan Danau Melintang terletak tidak jauh dari Kota Bangun. Dua Danau ini akan menyatu saat arus sungai Mahakam turun. Tapi saat air sungai Mahakam naik di waktu malam hari, dua danau ini terpisah.
Danau Semayang berada di sebelah kiri dan Danau Melintang di sebelah kanan.

Di dua danau ini wisatawan dapat menikmati pemandangan hamparan sungai yang tenang dan juga kicauan burung. Keindahan alam ini mencapai puncaknya pada saat matahari terbit dan terbenam. Seolah-olah matahari terbit dan tenggelam di tengah rimba Pulau Kalimantan. Di dua danau ini juga terdapat spesies ikan pesut yaitu lumba-lumba air tawar yang sangat jarang dijumpai.

Selain sebagai kawasan wisata alam, Danau Semayang dan Danau Melintang juga dijadikan sumber mata pencaharian bagi penduduk Desa Semayang Kenohan dan Desa Pela.

5.    Kawasan Wisata Pulau Kumala
Kawasan wisata Pulau Kumala terletak di tengah sungai Mahakam dengan luas 76 Ha merupakan perpaduan antara tehnologi modern dan budaya tradisional. Di desain menjadi Taman Wisata Rekreasi dan ditata rapi dengan perpaduan arsitektur bertehnologi modern dan budaya tradisional.

Sejak tahun 2000 Pulau Kumala dibangun menjadi Kawasan Wisata. Pembangunan kawasan wisata Pulau Kumala dilakukan secara bertahap dan berkembang. Dan terus menerus dilakukan penambahan fasilitas rekreasi yang akan dapat terus menarik pengunjung, khususnya bagi pengunjung yang membawa keluarganya untuk berakhir pecan dan menikmati segala fasilitas di Pulau Kumala yang eksotis.

Pulau ini dibangun menyerupai TMII di Jakarta, dan dibangun untuk menampilkan kebudayaan Kalimantan dengan perpaduan antara suku Kutai, Dayak dan Jawa. Hal ini dapat dilihat dengan adanya Lamin, serta bangunan Candi yang disebut Pura Pasak Pulau sebagai salah satu tempat ibadah penganut Hindu di Kabupaten Kutai Kartanegara, serta patung besar Lembu Swana yang berada di bagian ujung pulau yang menghadap kea rah jembatan Kutai Kartanegara yang megah.

Untuk menyebrangi Pulau Kumala dapat menggunakan angkutan air berupa Longboat atau perahu tradisional (Ketingting/Ces), biaya yang dikenakan untuk menyeberang dengan ces sebesar Rp.2.500,-/orang, dan lama penyeberangan sekitar 10 menit, namun bila pengunjung berminat, juga dapat menggunakan Kereta Gantung yang terletak di Tenggarong Seberang untuk menyeberang ke Pulau Kumala. Di Pulau ini dapat dinikmati tempat rekreasi dan arena bermain untuk keluarga dan anak-anak.

6.    Waduk Panji Sukarame
Waduk ini terletak di Kelurahan Panji Sukarame dan berada diatas lahan 32 Ha, merupakan taman rekreasi yang sangat bagus untuk dinikmati dengan adanya pemandangan alam dan air waduk yang tenang. Luas lahan adalah ± 32 Ha. Di sekeliling waduk banyak terdapat gazebo atau pondok berteduh untuk tempat beristirahat bagi para pengunjung. Di areal waduk ada cafĂ© atau warung untuk tempat makan dan minum serta panggung untuk tempat pertunjukan musik.

7.    Taman Anggrek Sendawar
Lokasi Taman Anggrek Sendawar berada dalam kawasan Waduk Panji Sukarame dan terletak dibelakang Waduk dengan luas ± 2 Ha. Taman Anggrek ini mempunyai ± 43 koleksi Anggrek yang dikumpulkan dari berbagai daerah kecamatan. Dibukanya obyek wisata ini adalah untuk melestarikan kekayaan flora khas yang ada di Kalimantan.

8.    Museum Kayu Tuah Himba
Museum Kayu Tuah Himba terletak tidak jauh dari Kawasan Waduk Panji Sukarame yaitu berjarak sekitar 600 mtr dari waduk. Dibangun dengan bangunan kayu panggung yang berukuran 20x20 m². Bangunan ini dikelilingi oleh pohon-pohon tinggi menyerupai hutan lindung. Pengunjung dapat menyaksikan beraneka ragam koleksi yang berkaitan dengan kehutanan, khususnya hutan Kalimantan yang akay akan berbagai jenis pohon. Yang melatarbelakangi dibukanya obyek wisata ini adalah karena adanya buaya yang telah diawetkan dalam Museum Kayu tersebut.

Koleksi dari Museum Kayu, antara lain:
*        Kerajinan Kutai yang terbuat dari rotan, al: Lemari Kursi, Lampu, Tempat Tidur, dll
*         Kerajinan Dayak, al: Anjat, Patung, Mandau, Ukiran Dayak (kayu ulin)
*         Miniatur Rumah khas Dayak
*         Jenis-jenis Kayu di hutan Kutai Kartanegara
*         Koleksi jenis Kayu 200 buah
*         Koleksi jenis-jenis Daun Kayu yang dikeringkan 200 buah
*         Koleksi Biji-bijian
*         Koleksi potongan Log atau Batangan Pohon yang tumbuh di hutan Kalimantan
*         Buaya Muara yang diawetkan (jantan dan betina)
*         Koleksi Kepiting pemakan sari kelapa.

9.    Planetarium
Planetarium Jagad Raya terletak di jalan Diponegoro, disebalah kiri Museum Mulawarman dan dibangun pada tahun 2002 dan diresmikan pada tanggal 16 April 2003.
Tempat ini merupakan sarana wisata ilmu pengetahuan untuk menikmati keindahan alam semesta berupa bintang-bintang, planet dan segala sesuatu di angkasa luar. Planetarium ini merupakan yang ketiga di Indonesia setelah Planetarium Jakarta dan Planetarium Angkatan Laut di Surabaya yang berfungsi sebagai sarana pendidikan astronomi bagi publik.
Planetarium ini merupakan tempat Teater Bintang atau Teater Alam, karena dapat memperlihatkan isi alam semesta serta susunannya.

Alat peraga yang digunakan berupa Proyektor Skymaster ZKP 3 buatan perusahaan Carl Zeiss Jerman, dengan tinggi maksimum 2750 mm dan berat mencapai 250 kg, lensa yang dimilikinya adalah 100 lensa. Memproyeksikan gambar matahari, bulan, komet, meteor, bintang, rasi, galaksi, dll.Selain proyektor utama, pada Skymaster ZKP 3 juga terdapat pendukung lainnya berupa proyektor effect dan 8 buah proyektor slide yang berfungsi untuk memproyeksikan gambar.

Ruang yang digunakan sebagai ruang peragaan memuat 92 kursi yang ditempatkan melingkari proyektor dan saat pertunjukan dimulai, ruangan terttutup rapat sehingga tidak ada cahaya yang masuk dan sirkulasi udara di atur dengan pendingin ruangan.
Tarif Dewasa Rp.7.500,- dan Anak-anak Rp.5.000,-

10.                      Jembatan Kutai Kartanegara
Kota Tenggarong sebagai ibukota Kabupaten Kutai Kartanegara, terdapat banyak pilihan obyek wisata yang dapat dinikmati ataupun dikunjungi oleh wisatawan, diantaranya yaitu Jembatan Kutai Kartanegara, Jembatan ini merupakan saran penghubung antara Tenggarong Seberang dengan Kota Tenggarong. Panjang Jembatan adalah 580 meter. Dibangun menyerupai Golden Gate yang terdapat di San Fransisco. Jembatan ini juga merupakan akses menuju Kota Samarinda yang dapat ditempuh hanya 30 menit. Setiap kendaraan roda empat dikenakan retribusi Rp.1.000. Melewati Jembatan Kutai Kartanegara ada pemandangan menarik yang dapat disaksikan, yaitu hamparan sebuah pulau kecil yang memisahkan Kota Tenggarong dan Kecamatan Tenggarong Seberang, yaitu Pulau Kumala, sebuah pulau yang telah disulap menjadi Kawaasan Wisata Rekreasi yang banyak diminati oleh wisatawan Nusantara karena merupakan kawasan rekreasi keluarga yang hamper mirip dengan Taman Mini Ancol di Jakarta.

Dikawasan Jembatan Kutai Kartanegara juga terdapat Jam Bentong yang merupakan sebuah tugu yang terdapat 4 buah jam besar yang disekelilingnya terdapat taman-taman yang terlihat asri dan indah jika dilihat dari atas jembatan. Di dekat jembatan dibangun sarana olah raga panjat dinding sebanyak 2 buah. Kawasan ini setiap sorenya selalu dipenuhi oleh pengunjung yang dapat menikmati keindahan jembatan Kutai Kartanegara serta memandangi Pulau Kumala dari kejauhan.

11.                      BOS (Borneo Orang Utan Survival)
Awal sejarah berdirinya BOS adalah tahun 1991 yang merupakan proyek rehabilitasi orang utan, beberapa kali berganti nama hingga akhirnya terbentuklah Yayasan Penyelamatan Orangutan Borneo (The Borneo Orangutan Survival Foundation) atau disingkat BOS.

BOS-Satwa terletak di jalan Balikpapan-Handil Km.44 kel Margomulyo, Kecamatan Samboja Kabupaten Kutai Kartanegara, dengan alamat website: www.orangutan.or.id
Kegiatan utama dari BOS adalah melakukan rehabilitasi satwa sebelum dilepaskan ke habitat aslinya.
Areal BOS-Samboja adalah seluas ± 1800 Ha dan menjadi tempat perlindungan satwa liar, terutama bagi Orangutan dan Beruang Madu yang tidak dapat dilepas liarkan kea lam karena penyakit, umur yang sudah tua dan cacat lainnya.

Terdapat enam pulau buatan yang sengaja diperuntukkan sebagai tempat orangutan. Kawasan konservasi satwa juga dilengkapi dengan Sekolah Hutan yang menyediakan tempat bermain dan pengenalan kembali ketrampilan yang diperlukan orangutan untuk hidup setelah dilepas liarkan ke habitat aslinya.

BOS juga memiliki sebuah program eco wisata yang disebut SAMBOJA LODGE yang mengedepankan misi kelestarian lingkungan di dalamnya. Beberapa paket yang ditawarkan dalam program Samboja Lodge adalah mengikuti beberapa kegiatan harian Yayasan BOS dalam Program Rehabilitasi Satwa (Orangutan dan Beruang Madu), kegiatan rehabilitasi lahan kritis, kegiatan kebun organic, kegiatan pembuatan pupuk organic (kompos) dan pengamatan kehidupan liar yang ada di sekitar areal BOS-Samboja Lestari.

Adat Istiadat dan Budaya Kerajaan Kutai Kartanegara
1.    Festival ERAU
ERAU adalah suatu ritual dalam budaya Keraton Kutai Kartanegara yang telah menjadi perekat persatuan masyarakat. Setiap kali ritual Erau diselenggarakan, berbondong-bondong masyarakat berdatangan dari dalam maupun luar daerah untuk menyaksikan dan berpartisipasi dalam acara ini.

Awalnya  Festival ERAU diselenggarakan oleh Keraton Kutai Kartanegara dalam rangka Penobatan Raja, peringatan penobatan Sang Raja maupun penobatan Putra Mahkota Kerajaan pada Pesta Adat Erau, kerabat keratin mengundang seluruh tokoh pemuka masyarakat yang mengabdi pada kerajaan untuk datang ke ibukota untuk turut merayakan Erau bersama-sama yang dilaksanakan dalam waktu yang ditentukan.

Kemudian sejak tahun 1970, upacara Erau tidak lagi dilaksanakan untuk memperingati naik tahtanya Sultan, melainkan dalam rangka perayaan Ulang Tahun Kota Tenggarong yang berdiri pada tanggal 29 September 1782.

Atas petunjuk Sultan, maka Erau dapat dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten Kutai dengan kewajiban untuk mengerjakan beberapa upacara Adat tertentu yakni Menjamu Benua, Mendirikan Ayu, Menyisik Lembu Suana dan Tambak Karang, Beluluh, Bekanjar, Beganjur, Bekenjong, Dewa Memanah, Besaong Manok, Menjala, Bepelas, Tepong Tawar, Merebahkan Ayu, Beburay, Mengulur Naga dan Belimbur dan telah terjadwal dalam acara.

Propsesi ERAU dimulai dengan Menjamu Benua yakni upacara untuk memberi makan pada orang-orang halus (orang gaib) penjaga kota di bagian hulu, tengah dan hilir Benua (kota). Kemudian Mendirikan Ayu, dengan didirikannya Tiang Ayu maka pesta Adat ERAU pun secara resmi dibuka.

Salah satu prosesi adapt yang unik dalam festival Erau ini adalah Belimbur. Pada acara ini Sultan Mandi Rangga Titi dengan menggunakan air yang diambil dari Kutai Lama. Pada waktu yang sama pula, seluruh masyarakat boleh saling menyiram/melimbur dengan air bersih. Tidak ada yang boleh marah apabila terkena siraman air dari orang lain. Makna dari acara Belimbur ini adalah untuk membersihkan jiwa seluruh penghuni Keraton dan rakyat di Kerajaan Kutai Kartanegara.

Upacara terkahir dalam prosesi Erau adalah “Merebahkan Ayu” yang dilakukan oleh para Pangeran atau kerabat yang dituakan (senior). Rebahnya Ayu menandakan berakhirnya perayaan Erau. Sesudahnya dilakukan pembacaan doa keselamatan dan dilanjutkan dengan acara berlemparan atau betebak beras disusul dengan pukulan gong golong, dengan pukulan sekehendak hati pemukulnya.

Selanjutnya seluruh kerabat dan masyarakat luas saling bersalaman memohon maaf atas kekhilafan baik dalam pergaulan dan bertutur dalam pergaulan sehari-hari. Dengan demikian usailah perayaan Erau, ritual yang dalam berabad-abad lamanya mempersatukan perbedaan masyarakat Kutai Kartanegara.

2.    Upacara Perkawinan Adat Kutai
Kerajaan Kutai sebagai Kerajaan Hindu tertua di Indonesia memiliki beberapa peninggalan budaya yang masih tetap dijaga kelestariannya. Salah satu bentuk adat yang tetap dilestarikan hingga kini adalah Upacara Perkawinan Adat Kutai.

Pakaian yang dikenakan bagi pengantin bangsawan adalah dengan mengenakan pakaian kebesaran bangsawan Kutai Kartanegara. Pengantin laki-laki mengenakan mahkota, baju lengan pendek dan hiasan dada yang mewah. Pakaian bawah berupa celana dengan hiasan selendang bentuk lidah-lidah dengan ikat pinggang semacam stagen.

Pengantin perempuan bermahkota, baju blus dengan hiasan dada bulan bersusun. Gelang panjang pada kedua pergelangan tangan merupakan suatu tanda kebesaran. Pakaian bawah berupa sarung tenun bermotif dan dipadukan dengan hiasan bentuk lidah yang menjurai ke bawah mulai dari pinggang.



Rangkaian upacara adat pernikahan yang dilaksanakan adalah:
·         Meminang/Bedatang
Orang tua calon mempelai pria mengunjungi orangtua calon mempelai wanita untuk mananyakan kesediaan sang wanita untuk dijadikan wanita.
·         Nyorong Tanda
Adalah suatu bentuk lamaran resmi setelah tercapai kesepakatan kedua belah pihak pada saat meminang. Sebilah keris diserahkan sebagai tanda kesungguhan pihak mempelai pria untuk memperistri perempuan idamannya.
·         Bepacar
Pacar adalah nama daun yang dipergunakan untuk mewarnai jari pengantin. Maknanya adalah sebagai syi’ar kepada khalayak ramai bahwa kedua mempelai adalah sepasang pengantin baru dan sebagai kelengkapan hiasan untuk pengantin.
·         Besiram (Mandi-mandi) dan Bealis
Dilaksanakan sebelum upacara Akad Nikah dan Naik Pengantin. Mempelai dimandikan dengan air bunga dan mayang kelapa muda. Setelah dimandikan, mempelai berpakaian menurut adapt tradisional dan didudukkan diatas tilam kesturi dengan segala kelengkapan untuk upacara bealis. Makna dari upacara ini adalah untuk mendapatkan berkah dari kedua orang tua dan memperoleh “lemak manis” kehidupan berkeluarga dikemudian hari.
·         Naik Pengantin
Upacara ini merupakan acara puncak dari acara perkawinan Adat Kutai, terdiri dari mengarak pengantin pria yang diiringi oleh barisan Rebana/Hadrah menuju ketempat mempelai wanita. Ketika sampai dikediaman mempelai wanita, rombongan disambut dengan Shalawat Nabi dengan menghamburkan beras kuning sebagai rasa syukur menyambut kedatangan mempelai pria. Sebelum dipertemukan dengan pengantin wanita, rombongan pengantin pria harus melalui beberapa rintangan yang disebut dengan “Lawa”, yaitu kain yang dibentangkan oleh keluarga pengantin wanita. Pihak keluarga pengantin pria diharuskan mengisi “Lawa” tersebut dengan uang sebagai permintaan agar rintangan itu dibuka. Setelah melewati beberapa “Lawa”, pengantin pria tiba di pelaminan. Pelaminan atau yang disebut “Geta” penuh dengan ornament dan hiasan mempunyai makna sebagai lambing kesejahteraan hidup berumah tangga. Di atas Geta kedua mempelai duduk bersila berhadapan, saling menukar kembang genggam, saling menyuapi sirih dan kemudian dikurung dalam kain dan dijahit, besaong lilin dan beradu berdiri. Setelah kedua pengantin bersanding, dilaksanakan penghitungan mahar oleh beberapa sesepuh kedua mempelai. Dengan demikian mempelai pria dinyatakan memenuhi persyaratan pernikahan dan berhak secara adapt untuk mempersunting mempelai wanita idamannya.
Acara kemudian dimeriahkan dengan pembacaan tarsul yakni syair saling memuji diantara kedua mempelai.
·         Naik Mentuha
Kedua mempelai diantar ke rumah orangtua mempelai pria, dengan beberapa upacara kecil seperti: mempelai wanita mencuci kaki mempelai pria di atas cuek batu tebal dan memotong daun nipah.
Makna upacara ini adalah sebagai rasa patuh dan saying kepada orangtua serta memohon doa restu, sebagai tanda bahwa kedua mempelai sudah siap melepaskan diri untuk mengarungi bahtera kehidupan.

Adat Istiadat dan Budaya Suku Dayak
1.    Upacara Adat Belian (Suku Dayak Tunjung)
Belian pada masyarakat Dayak Tunjung bermakna prosesi pengobatan penyakit, baik penyakit yang menimpa manusia maupun yang menimpa alam seperti musim kemarau yang berkepanjangan dan timbulnya hama pada tanaman dan buah-buahan serta tidak suksesnya panen dan juga bencana alam.

Ada banyak macam dan bentuk dari Upacara Belian, namun upacara prosesi Belian yang terbesar adalah Acara Gugu Tahun, yaitu prosesi yang dilakukan untuk mengundang para Dewa/Dewi Nayuk Seniang agar memberikan berkah dan rahmat baik kesuburan, kesehatan, kemurahan rezeki dan kedamaian hidup. Biasanya prosesi tersebut dimulai dengan acara sebagai berikut:
a.     Ngeruran  Ngerimek
Tujuannya adalah untuk mengundang para tokoh adapt masyarakat keluarga besar yang berada di luar kampong untuk meminta bantuan dan dukungan baik secara materi maupun moril serta tanaga untuk suksesnya acara tersebut.
b.    Timek atau Memukul Gendang sambil membaca mantra
Tujuan prosesi ini adalah untuk mengundang para Neyuk Seniang dan para Dewa Dewi agar hadir pada acara tersebut bahwa mereka diundang sebagai tamu kehormatan dan dimohon membawa segala kemampuannya untuk memberikan berkah dan rahmat kepada para umat manusia agar terciptanya suasana damai, tentram, sehat, murah rejeki sejahtera, subur dan terhindar dari bencana. Prosesi timek ini diikuti pula tahapan lain yang sangat banyak dan memakan waktu paling sedikit 16 hari atau 2x8 dengan membunuh babi dan paling banyak 56 hari atau 8x8 dengan membunuh kerbau.
c.     Botor Buyang
Tujuan Botor Buyang sebagaimana tersebut diatas sebanyak 18 macam adalah untuk menyuguhkan pada Nayuk Seniang karena awalnya permainan Botor Buyang adalah permainan para natuk dalam setiap prosesi adat agar hati para Dewa Nayuk yang diundang bersuka ria dengan diajak dalam permainan tersebut sehingga mereka senang dan gembira dan terbukalah hati mereka untuk mengabulkan semua keinginan dan permintaan manusia. Tetapi apabila permainan tersebut tidak dilaksanakan maka para Nayuk/Dewa bisa merasuk dalam tubuh manusia yang mengakibatkan kerasukan atau berkelahi karena selalu ingin marah, bias pula mengakibatkan penyakit parah yang mendadak. Kemudian apabila terdapat kesalahan perbuatan manusia bias dirubah menjadi batu dan dikutuk Dewa seperti cerita Malin Kundang yang berubah menjadi batu.
d.    Blontang
Tujuan Blontang adalah untuk memberi persembahan atau makanan upah kepada para Dewa/Nayuk setelah mereka memberi berbagai macam keselamatan pada manusia, zaman dahulu kala persembahan ini dengan memotong atau menyembelih manusia dengan cara menombak pakai jarum sampai kepada senjata yang paling besar, setelah itu baru disembelih. Namun setelah Indonesia merdeka, prosesi ini dilarang oleh Undang-undang maka diganti dengan kerbau yang kerbau tersebut dibeli dari hasil permainan Botor Buyang.

2.    Upacara Kwangkai
Kwangkai dalam bahasa Dayak bermakna ‘adat bangkai mai’ atau ‘upacara adapt bagi orang yang telah meninggal dunia’. Maksudnya adalah suatu proses kegiatan komunitas Dayak Tunjung untuk memindahkan tulang belulang yang setelah melalui upacara Tohoq atau upacara Kenyau, kemudian memindahkannya ke pemakaman baru dengan terlebih dahulu dibawa ke dalam Lamin atau Rumah Adat. Upacara ini sifatnya kolektif dan selalu diserta dengan pesta besar yang melibatkan banyak orang dan menjadi upacara peringatan kematian seseorang, dan semakin meriah acaranya maka semakin mewah kehidupan arwah di alam lain.

Upacara kwangkai menurut kepercayaan orang dayak adalah sebagai upaya balas budi anak terhadap orangtua mereka yang sudah meninggal, upacara ini dilaksanakan selama paling kurang empat belas (14) hari dengan acara penutup memotong kerbau.

Selama kurang lebih sebulan setiap malam berlangsung upacara memberi makan kepada roh. Dilakukan oleh pawing perempuan (penyentangi) yang meminyaki, menyisir dan membedaki tengkorak dengan sikap yang cermat dan khidmat. Selanjutnya diadakan tarian khusus untuk upacara adapt kematian, yang terdiri dari empat belas laki-laki dan empat belas perempuan, pada waktu menari para penari laki-laki menggendong kepala tengkorak yang dibungkus kain batik. Selama menari, selain diiringi irama musik, sang pawing juga melantunkan mantra yang isinya menceritakan perjalanan roh menuju kea lam arwah. Tarian dilakukan setiap malam hingga upacara Kwangkai selesai.

Upacara berakhir dengan dimakamkannya kembali tulang belulang dipemakaman yang dinilai lebih terhormat.

3.    Senjata Tradisional Dayak
Secara umum senjata tradisional masyarakat Dayak adalah:
a.      Mandau
Mandau dulunya digunakan untuk berburu oleh kaum laki-laki masyarakat Dayak, tapi saat ini biasanya tidak digunakan untuk berburu lagi tapi dijadikan symbol keperkasaan bagi kaum lelaki dayak. Pasangan Mandau adalah perisai kayu yang disebut lekau yang semula digunakan sebagai tameng untuk menahan serangan musuh dalam perang. Mandau dan Lekau saat ini juga banyak digunakan sebagai pelengkap dalam tari-tarian perang.

b.     Tombak
Gagang dari tombak biasanya terbuat dari kayubesi (ulin) yang dilubangi dan memakai mata tombak yang diikatkan pada gagangnya. Tombak digunakan untuk berburu dan melumpuhkan jenis hewan buruan yang lebih besar, seperti babi hutan dan rusa.

c.      Sumpit
Sumpit terbuat dari mata kayubesi (ulin) yang dilubangi dan memakai mata tombak yang diikatkan pada ujung sumpit. Anak sumpit biasanya mengandung racun dan jika mengenai binatang buruan, binatang itu akan cepat mati.

Selain alat-alata tersebut diatas, masih ada alat tradisional lain yaitu jenis-jenis pisau seperti pisau ukir, pisau serut dan pisau pahat, juga berbagai jenis beliung.

Desa Budaya
Kehidupan budaya etnik masyarakat Dayak di pulau Kalimantan merupakan sebuah kebudayaan yang unik dan dapat dijadikan salah satu potensi bagi pariwisata di Kutai Kartanegara. Dayak bukanlah nama kelompok etnis atau suku bangsa. Masyarakat suku-suku bangsa di pedalaman Kalimantan lebih suka disebut orang dayak. Kata ini berasal dari bahasa Dayak tepatnya bahasa Iban yang artinya manusia, namun ada juga yang mengartikannya sebagai pedalaman atau hulu.
Dayak di pulau Kalimantan konon berasal dari Asia Tengah yang datang dalam beberapa gelombang migrasi di zaman glacial (zaman es) sekitar 3000-1500 tahun sebelum masehi.

1.    Lekaq Kidau
Lekaq Kidau terletak di tepi sungai Mahakam, desa ini dihuni oleh Suku Dayak Kenyah dan merupakan Desa Budaya yang dikelola oleh Pemerintah Kabupaten Kutai kartanegara.

Di desa ini terdapat sebuah Lamin atau rumah adapt suku Dayak Kenyah. Lamin ini berukuran 15 x 9 mtr dan berdiri kurang lebih 1 mtr dari permukaan tanah dan ditopang dengan empat tiang berdiameter 43 cm yang berdiri kukuh di tengah ruangan. Di dalamnya terdapat berbagai koleksi adat, misalnya pakaian adapt yang digunakan sebagai pelengkap upacara dan untuk melakukan tari-tarian adapt dalam menyambut tamu dan untuk kegiatan keagamaan.

Selain menjadi tempat kediaman resmi ketua adapt, Lamin di Desa Lekaq Kidau ini juga berfungsi sebagai fasilitas public, yakni tempat berkumpul komunitas Dayak Kenyah ketika memperingati hari Natal atau hari besar lain yang berkaitan dengan system kepercayaan mereka.

Dinding pembatas dari Lamin ini dihiasi dengan lukisan khas suku Dayak, misalnya berbagai jenis hewan laut (udang, cumi-cumi), burung enggang, dan tumbuh-tumbuhan. Hiasan dindingn yang didominasi oleh warna putih, kuning dan merah ini melambangkan kesuburan. Pada bagian kiri bangunan tergantung hiasan burung enggang yang terbuat dari kayu. Burung Enggang merupakan totem khas masyarakat Dayak dan dianggap sebagai burung yang dikeramatkan.
Juga terdapat koleksi senjata tradisional seperti Mandau, Tombak, dan Sumpit yang masih disimpan sebagai kelengkapan Lamin. Mandau umumnya tidak digunakan untuk senjata, tetapi sebagai symbol keperkasaan bagi kaum laki-laki Dayak. Fungsi mandau yang semula sebagai alatb tebas sudah lama digantikan oleh parang. Berbeda dengan mandau, tombak dan sumpit hingga saat ini masih difungsikan sebagai alat berburu. Sumpit digunakan untuk berburu hewan jenis burung, sedang tombak untuk berburu dan melumpuhkan hewan buruan yang lebih besar seperti babi hutan.

2.    Pondok Labu
Desa Pondok Labu dihuni oleh komunitas Dayak Benoaq yang berasal dari wilayah Ulu (pedalaman). Pada sekitar tahun 1966 mereka pindah dari Kampung Marnayan di daerah Ulu dan memilih tempat di daerah Pondok Labu untuk dapat kediaman baru mereka.

Dayak Benoaq juga memiliki rumah adapt yang disebut Lamin atau Lou yang artinya Rumah Panjang yang berpetak-petak. Disebut rumah panjang karena ada yang mencapai puluhan meter panjangnya dan dibuat berdasarkan kebutuhan penghuninya, semakin banyak penghuni lamin maka akan semakin panjang lamin itu dibuat.

Panjang lamin ini sekitar 36 mtr dan lamin ini dapat dikategorikan sebagai bangunan asli orang Dayak karena benar-benar berfungsi sebagai rumah tinggal, tempat berkumpul dan tempat melakukan semua aktivitas komunitasnya. Di dalam ruangan besar terdapat seperangkat alat musik gendang yang digunakan dalam upacara Belian (pengobatan tradisional), senjata tradisional serta berbagai perlengkapan rumah tangga. Di bagian depan lamin terdapat tujuh buah belontang atau patung kayu dengan model dan bentuk yang berlainan dan tidak jauh dari lamin terdapat tempelak yaitu wadah tempat menyimpan tulang belulang anggota keluarga yang telah meninggal dunia dan di tempatkan pada suatu areal pemakaman keluarga yang tidak jauh dari lamin tersebut.
Untuki memasuki lamin tersedia 2 jenis tangga, yaitu tangga yang diperuntukkan untuk penghuni lamin dan tangga yang diperuntukkan bagi tamu yang berkunjung.

3.    Lung Anai
Desa ini terletak di kawaswan Kecamatan Loa Kulu dan dihuni oleh suku Lepo Jalan, Dayak Kenyah yang bermutasi dari Apo Kayan dan menempati Desa Lung Anai sejak tahun 1985. Desa ini mulai dipromosikan sebagai desa wisata oleh Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara sejak tahun 2003. Mata pencaharian penduduknya adalah berladang, nelayan dan kerajinan tangan.

Upacara adapt yang tetap dilangsungkan masyarakat Desa Lung Anai sampai saat ini adalah upacara besar Ala Tow sebelum Nugal (tanam padi), upacara Malang Tauw (sebelum panen) dan tujuannya untuk mengusir hama-hama dan upacara Ujung Undat (setelah panen disertai dengan menumbuk padi di lesung panjang yang dilakukan oleh para ibu) dan diiringi musik tradisional serta tarian. Babi hutan panggang disajikan saat upacara adapt berlangsung.

Kerajinan patung dan ukiran di desa ini juga sangat menarik dan terbuat dari kayu meranti serta ulin, di desa inipun kita masih bias menemui orang Dayak yang bertelinga panjang dan mengenakan pakaian tradisional Dayak Kenyah.

4.    Desa Tukung Ritan
Penduduk asli Desa Tukung Ritan adalah Dayak Kenyah, desa ini dibangun pada tahun 1970-an oleh empat penduduk asli Apo Kayan. Mereka dipercaya masyarakat Tukung Ritan yang memahami adapt istiadat Dayak Kenyah.
Perjalanan menuju desa ini hampir mengelilingi Sungai Mahakam. Desa Tukung Ritan awalnya bergabung dengan Ritan Baru yang berada di seberang sungai Mahakam. Rumah adapt Tukung Ritan disebut Uma dan desa ini dipimpin oleh Kepala Desa dan Kepala Suku yang keduanya memiliki tanggungjawab berbeda.

Masyarakat desa Tukung Ritan tetap memegang teguh adapt istiadat yang merupakan warisan nenek moyangnya, hal ini terlihat dalam upacara-upacara adat seperti Bunut yaitu ritual penobatan raja atau mengangkat pimpinan baru. Upacara lainnya yaitu upacara penyambutan tamu, tarian perang, tarian burung enggang yang diiringi alunan musik khas Dayak Kenyah, upacara yang dilakukan saat merayakan panen dan upacara sebelum panen.
Sebagai masyarakat Tukung Ritan menggantungkan hidup dengan membuat kerajinan tangan, pengrajin laki-laki membuat mandau, perisai, hanjat, bening, sumpit dan sebagainya. Kerajinan di desa ini terkenal dengan kualitasnya yang bagus dan harga yang terjangkau.

****** tuani sianipar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar