Persidangan Sinode Tahunan (PST) GPIB 2024

Persidangan Sinode Tahunan (PST) GPIB 2024 akan dilaksanakan di Musyawarah Pelayanan Kalimantan Timur II sebagai tuan rumah

Etnografi DAYAK

ETNOGRAFI DAYAK DI KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA
KALIMANTAN TIMUR

I.   ASAL MASYARAKAT DAYAK di KUTAI KARTANEGARA
A. Asal Masyarakat Dayak di Kalimantan
Dayak atau Daya adalah suku-suku asli yang mendiami Pulau Kalimantan, lebih tepat lagi adalah yang memmiliki budaya terrestrial (daratan, bukan budaya maritime). Sebutan ini adalah sebutan umum karena orang Daya terdiri dari beragam budaya dan bahasa. Dalam arti sempit, Dayak hanya mengacu kepada suku Ngaju (rumpun Ot Danum) di Kalimantan Tengah, sedangkan arti yang luas suku Dayak terdiri dari atas 6 rumpun suku. Suku Bukit di Kalimantan Selatan dan Rumpun Iban diperkirakan merupakan suku Dayak yang menyeberang dari pulau Sumatera. Sedangkan suku Maloh di Kalimantan Barat diperkirakan merupakan suku Dayak yang datang dari pulau Sulawesi.

Ada banyak pendapat tentang asal-usul orang Dayak. Sejauh ini belum ada yang sungguh memuaskan. Pendapat umumnya menempatkan orang dayak sebagai salah satu kelompok suku asli terbesar dan tertua yang mendiami pulau Kalimantan. Gagasan (penduduk asli) ini didasarkan pada teori migrasi penduduk ke Kalimantan. Bertolak dari pendapat itu, diduga nenek moyang orang Dayak berasal dari beberapa gelombang migrasi. Gelombang pertama terjadi kira-kira 1 juta tahun yang lalu tepatnya pada periode Interglasial-Pleistosen. Kelompok ini terdiri dari ras Australoid (ras manusia prehistoris yang berasal dari Afrika). Pada zaman Preneolitikum, kurang lebih 40.000-20.000 tahun lampau, datang lagi kelompok suku semi nomaden (tergolong manusia modern, Homo sapiens ras Mongoloid).

Penggalian arkeologis di Niah-Serawak, Madai dan Baturong-Sabah membuktikan bahwa kelompok ini sudah menggunakan alat-alata dari batu, hidup berburu dan  mengumpulkan hasil hutan dari satu tempat ke tempat lain. Mereka juga sudah mengenal tehknologi api. Kelompok ketiga datang kurang lebih 5000 tahun silam. Mereka ini berasal dari daratan Asia dan tergolong dalam ras Mongoloid juga. Kelompok ini sudah hidup menetap dalam satu komunitas rumah komunal (rumah panjang) dan mengenal tehnik pertanian lahan kering (berladang). Gelombang migrasi itu masih terus berlanjut hingga abad 20. Menurut Prof.Lambut dari Universitas Lambung Mangkurat, secara rasial, manusia dayak dapat dikelompokkan menjadi: Dayak Mongoloid, Dayak Malayunoid, Dayak Austrolo-Melanosoid, dan Dayak Heteronoid.

Teori……………

B.  Masyarakat Dayak pada Masa Kini
Dewasa ini suku bangsa Dayak terbagi dalam enam rumpun besar, yakni Kenyah-Kayan-Bahau, Ot Danum, Iban, Murut, Klemantan dan Punan. Keenam rumpun itu terbagi lagi dalam kurang lebih 405 sub-rumpun. Dengan sedikit berbeda, Tjilik Riwut mengklasifikasikan mereka dalam 7 kelompok besar yakni Dayak Ngaju, Iban, Klemantan, Apu Kayan, Murut, Punan dan Ot Danum. Dari tujuh kelompok besar ini dibagi menjadi 18 suku sedatuk, dari 18 suku sedatuk terbagi lagi kedalam 405 suku kekeluargaan. Dayak Ngaju merupakan suku Dayak terbesar dan terkemuka diantara semua suku yang ada di Kalimantan. Dayak Ngaju ini memiliki 4 suku sedatuk yakni Dayak Ngaju, Maanyan, Dusun dan Lawangan (Riwut, 1993). Meskipun terbagi dalam ratusan sub rumpun, kelompok suku dayak memiliki kesamaan cirri-ciri budaya yang khas. Ciri-ciri tersebut menjadi factor penentu apakah suatu subsuku di Kalimantan dapat dimasukkan ke dalam kelompok dayak. Ciri-ciri tersebut adalah rumah panjang, hasil budaya material seperti tembikar, mandau, sumpit, beliung (kampak); pandangan terhadap alam, mata pencaharian (system perladangan), dan seni tari.

Perkampungan dayak biasanya disebut lewu/lebu, sedangkan perkampungan kelompok suku-suku Melayu disebut benua/banua. Di kecamatan-kecamatan di Kalimantan yang merupakan wilayah adat Dayak dipimpin seorang Kepala Adat yang biasanya terdiri satu atau dua suku Dayak yang berbeda, tetapi di daerah perkampungan suku-suku Melayu tidak ada system kepemimpinan adat kecuali raja-raja lokal.

C.  Asal Masyarakat Dayak di Kutai Kartanegara dan Pesebarannya
Penelitian etnografi di Kabupaten Kutai Kartanegara difokuskan pada sembilan kecamatan dimulai dari pesisir sampai daerah pedalaman berhasil mengamati enam suku dayak yang tinggal di sembilan kecamatan di Kab. Kukar. Keenam suku dayak ini sementara ini dianggap termasuk dalam komunitas yang cukup banyak ditemukan di daerah Kukar sehingga dapat dianggap mewakili keseluruhan komunitas Dayak di daerah ini. Sembila kecamatan yang menjadi lokasi survey merupakan daerah yang dianggap cukup banyak dihuni oleh komunitas dayak didaerahnya. Keenam suku dayak tersebut adalah:
1. Dayak Benuaq, di desa Pondok Labu, Kec. Tenggarong dan Desa Perian, Kec. Muara Muntai.
2.  Dayak Kenyah, di Desa Lung Anai, Kec. Loa Kulu, Desa Lekaq Kidau, Kec. Sebulu, Desa Tukung Ritan dan Ritan Baru, Kec. Tabang dan Desa Sungai Bawang, Kec. Muara Badak.
3.  Dayak Tunjung, di Desa Nangka Tujuh, Kec. Kota Bangun dan Desa Teluk Bingkai, Kec. Kenohan
4.  Dayak Punan, di Desa Muara Belimau, Kec. Tabang
5.  Dayak Bahau di Muara Keba, Kec. Tabang, dan
6.  Dayak Modang di Desa Long Bleh, Kec. Kembang Janggut.

D.  Asal Dayak Benuaq di Kabupaten Kutai Kartanegara
Sampai saat ini belum ada data yang pasti berkenan dengan asal usul orang Dayak Benuaq, namun demikian dari mitos yang dituturkan oleh tokoh adat suku Benuaq dapat diperkirakan bahwa mereka merupakan penduduk asli Pulau Kalimantan. Semula mereka berasal dari suku Lawangan di Tiwai (Muara Teweh) di Kalimantan Tengah. Lalu secara bertahap mereka pindah dan mendiami wilayah sekitar Jempang antara lain Desa Tanjung Isuy, Tanjung Jan, Tanjung Zone, Perigi, Mancong Lembonah, Muara Ohong, Pentat, Muara Nayan dan Pulau Lanting (Bonoh, 1984/85). Sebagian dari mereka yang tinggal di Tanjung Isuy, Muara Nayan kemudian berpindah kembali untuk kedua kalinya ke daerah Pondok Labu pada tahun 1966. Jumlah keluarga gelombang pertama yang pindah pada waktu itu sekitar 20 KK. Kemudian menyusul perpindahan masyarakat Dayak Benuaq ke Pondok Labu gelombang kedua pada tahun 1979 sebanyak 4 KK. Sekarang di desa Pondok Labu terdapat sekitar 150 KK Dayak Benuaq.

Perpindahan Suku Dayak dari Kalimantan Tengah ke Kalimantan Timur ini selalu mengikuti alur sungai sementara sebagian masyarakat yang berasal dari ras ot-Danum menyusuri Sungai Mahakam yang kemudian dikenal dengan suku Dayak Lawangan atau Lewangan atau Benuaq. Dari hulu sungai Mahakam kemudian kemudian menyebar ke daerah sungai Ratah dan sebagian menetap di daerah Muara Ratah, sebagian lainnya menyusur hilir sungai sampai ke Muara Pahu. Dari Muara Pahu, suku Dayak Benuaq ini kemudian menyebar ke arah pedalaman melalui sungai Kedang Pahu. Di daerah Kedang Pahu ini masih banyak daerah-daerah tempat tinggal orang Dayak Benuaq yaitu di Tanjung Laong, Muara Pagar, Muara Baroh, Teluk Tempudau, Tanjung Loangan dan Tanjung Palang (Bonoh, 1984/1985: 7). Komunitas Dayak Benuaq kini ditemukan pula di Desa Perian – Kecamatan Muara Muntai sebuah desa yang hamper berbatasan dengan Kab. Kutai Barat. Masyarakat Dayak di desa Perian saat ini sebagian besar telah memeluk agama Islam meskipun masih ada komunitas yang melaksanakan upacara ritual leluhurnya.

Persebaran komunitas Dayak Benuaq pada masa sekarang antara lain terdapat di wilayah Kutai Barat yaitu di daerah Bongan serta di wilayah Kutai Kartanegara terdapat di daerah Jahab, Pondok Labu dan Sanggulan.

Alasan utama kepindahan komunitas ini keluar dari daerah asal mereka karena ketika itu terjadi penebangan hutan besar-besaran dan mengganggu kehidupan mereka. Pemimpin rombongan mereka ketika itu adalah Bapak Burhat, yang ketika tiba didaerah Pondik Labu kemudian diangkat menjadi kepala adat. Atas kesepakatan bersama mereka kemudian mendirikan lamin sebagai tempat tinggal di tempat tersebut. Pada tahun 1984, tiang pertama lamin mulai berdiri.

Menurut pendapat Mollinckrodt yang dikutip oleh Yohannes Bonoh, suku Dayak yang ada di Kalimantan Timur ini adalah berasal dari Kalimantan Tengah, beliau mengatakan bahwa suku Dayak Lawangan termasuk dalam ras ot-Danum yang berasal dari Kalimantan Tengah, yaitu hulu sungai besar seperti Sungai Kahayan, Sungai Ruangan, Sungai Barito dan Sungai Kapuas. Dengan demikian, dapat diambil kesimpulan bahwa suku Dayak Benuaq yang juga dikenal sebagai suku Dayak Lawangan juga berasal dari Kalimantan Tengah (Bonoh, 1984/1985: 4).

Seorang ahli (Duman) mengatakan bahwa orang Benuaq sesungguhnya merupakan salah satu sub suku bangsa Dayak yang memiliki tradisi dan bahasa sendiri, orang benuaq termasuk dalam kelompok suku Dayak ot Danum. Selain menetap di wilayah tersebut, sebagian yang lain menyebar dan menetap di beberapa bagian wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara. Orang Dayak Benuaq yang menetap di Desa Pondok Labu tersebut, dapat dikatakan masih mendukung kebudayaan atau tradisi asli mereka, yang ditandai dengan adanya rumah panjang “Lamin” yang ditinggali bersama lebih dari satu keluarga. Lamin tadi, selain dari tempat tinggal, juga berfungsi sebagai pusat kegiatan adat, penyimpanan benda-benda pusaka, bahkan kini menjadi tempat berkumpul berbagai kalangan masyarakat yang memerlukan jasa konsultasi dengan tokoh adat Benuaq.

Sekalipun hidup terpencar di berbagai wilayah, akan tetapi budaya dan bahasa yang mereka dukung tetap sama, kalaupun ada perbedaan tidak lebih sebagai varian budaya, pengaruh lingkungan tempat mereka menetap. Dengan demikian, dalam berbagai peristiwa adat mereka berkumpul dengan mendukung symbol-simbol budaya yang serupa.

E.  Asal Dayak Kenyah di Kabupaten Kutai Kartanegara
Suku Dayak Kenyah termasuk dalam salah satu dari enam rumpun suku Dayak yang besar di Kalimantan yakni rumpun Dayak Kenyah-Kayan-Bahau. Atau termasuk dalam rumpun Dayak Apo Kayan dalam tujuh rumpun b esar menurut klasifikasi Tjilik Riwut. Pada awalnya Suku Dayak Kenyah menetap di Apo Kayan, sebuah wilayah yang identik dengan tanah yang paling tinggi, di Kalimantan Timur paling Timur. Secara administrative wilayah tersebut berada di perbatasan antara Propinsi Kalimantan Timur dengan Serawak Malaysia.

F.  Asal Dayak Tunjung di Kabupaten Kutai Kartanegara
Sebenarnya hingga kini belum ada data yang akurat tentang darimana asal usul Orang Dayak Tunjung di Kalimantan Timur. Sebagian daripada ahli yang menulis, menyatakan bahwa mereka adalah penduduk asli yang menetap disekitar Danau Jempang. Akan tetapi, tokoh adap yang tinggal di Desa Nangka Tujuh, Kecamatan Kota Bangun, Kab.Kutai Kartanegara bercerita tentang darimana mereka berasal. Konon nenek moyang orang Tunjung mendiami sebuah wilayah di Kecamatan Bigung Kabupaten Kutai Barat.

Karena komunitas mereka semakin bertambah, diputuskan untuk mencari daerah baru agar hidup mereka berkembang dan semakin maju. Sebagian ada yang berjalan mnuju wilayah Kalimantan Timur, dan singgah di Enggelam (sekarang Gelam), sebuah wilayah yang berada disekitar Danau Melintang dan Danau Semayang. Dari Enggelam, mereka melanjutkan perjalanan keberbagai daerah seperti Belayan, Rajak, Rimba Ayu dan Nangka Tujuh hingga sekarang. Di Desa Nangka Tujuh orang Tunjung membangun pemukiman tersendiri dan mengembangkan tradisi yang diwarisinya dari leluhur mereka.

Masyarakat  Dayak Tunjung yang menetap di Desa Teluk Bingkai umumnya merupakan kelompok masyarakat Dayak yang dating dari daerah ulu (sekitar Danau Jempang) secara berkelompok. Ketika mereka sampai di Teluk Bingkai maka secara otomatis pemimpin rombongan diangkat menjadi pimpinan mereka dalam satu desa yang disebut sebagai benua. Pemimpin adapt bergelar merhajaq dan semua sanak keluarganya disebut hajaq yang berarti golongan bangsawan. Kepala adapt dibantu oleh pengkawaq yang memiliki bawahan yang disebut mantiq tatau yang mempunyai tugas berhubungan langsung dengan orang kebanyakan. Selain itu dalam organisasi social mereka mengenal pula pemasuk yang jabatannya sebagai panglima perang dan pemancarak yang bertugas mengelola adapt. Dalam susunan formal pemerintahan tetap dipegang oleh kepela desa namun jika terkait dengan adapt kepala desa akan selalu berkomukiasi dengan kepala adapt dan tokoh masyarakat.

G. Asal Dayak Punan di Kabupaten Kutai Kartanegara
Pada awalnya orang Punan dikenal sebagai salah satu suku bangsa Dayak di Kalimantan Timur yang sangat nomadik, artinya bukan tata caranya berladang saja yang selalu berpindah-pindah, tetapi juga tempat tinggalnya. Dengan demikian, ada kesulitan untuk mendapatkan data dan informasi tentang kehidupan mereka, termasuk menetapkan wilayah administrative dimana mereka tinggal. Secara umum mereka mempunyai cirri bahwa mereka tidak menanam padi, tidak makan nasi, hanya hidup dari hasil buruannya, serta hasil ramuan buah-buahan atau tanaman tertentu yang bias dimakan. Konon merekapun sangat sulit untuk didekati. Beruntung, bahwa penelitian ini telah menemukan komunitas orang Punan yang berdomisili di Desa Muara Belinau, Kecamatan Tabang. Apa yang dijadikan cirri umum diatas, ternyata kini sudah berubah, karena mereka sudah hidup sebagaimana kelompok manusia lainnya, makan nasi, bahkan sudah hidup membaur dengan berbagai komunitas yang ada. Menurut keterangan kepala desanya, orang Punan berada di desa tersebut sejak tahun 1978, yakni ketika Departemen Sosial melalui Dinas Sosial Kab. Kutai Kartanegara melakukan pencatatan dan memukimkan orang-orang Dayak yang masih tinggal di hutan pada sebuah areal pemukiman khusus.

Orang Punan yang kini menempati Desa Muara Belimau masing-masing berasal dari lima wilayah, yakni Muara Tubok, Muara Keba, Muara Salung, Muara Tik dan Muara Belimau. Kelima wilayah itu berada di sungai Telen yang bermuara di Sungai Belayan. Pemukiman pertama adalah di Muara Sungai Atan, kemudian pindah lagi ke Muara Belinau di sekitar Sungai Lunuk.

Kisahnya berawal ketika orang Kutai banyak yang bekerja di hutan untuk mengambil kayu, dammar, rotan, dan sebagainya. Untuk menjaga keselamatan hutan mereka mengangkat orang Punan sebagai orang tua angkat. Ketika itu juga terjadi saling tukar menukar barang-barang yang diperlukan, misalnya sembako dengan dammar dan lainya.

Melihat dan menyadari kehidupan orang Punan yang sangat sulit, bahkan serba kekurangan, pemerintah kecamatan memikirkan nasib naka-anak Punan yang menderita sakit. Mereka yang menderita sakit lalu dibawa ke daerah Sungai Lunuk, Tabang untuk mendapatkan pengobatan. Setelah sembuh, banyak diantara mereka yang tidak kembali ke hutan dan menetap di Sungai Lunuk. Dilain pihak, para orang tua yang anaknya berada di Sungai Lunuk merasa rindu ingin bertemu anak-anaknya, kemudian mereka berkunjung dan akhirnya mereka pun menetap di sungai Lunuk. Perpindahan tersebut berlangsung selama dua bulan dan sebagai kepala adapt pertama diangkatlah Bapak Jahang (almarhum).

H. Asal Dayak Bahau di Kabupaten Kutai Kartanegara
Dayak Bahau merupakan salah satu kelompok masyarakat Dayak yang diduga merupakan pecahan dari Dayak Tunjung, yang lama kelamaan menjadi sebuah kelompok yang berbeda karena mengembangkan kebudayannya sendiri. Kini Dayak Bahau terbagi dalam tiga subkelompok yakni Bahau Modang, Bahau Busang dan Bahau Saq. Ketika subkelompok ini dapat dibagi lagi menjadi 14 kelompok yang lebih kecil lagi (Melalatoa 1995: 80). Masyarakat generasi tua masih jelas cirri-ciri fisik kedayakannya seperti pemakain tato dan telinga panjang. Tradisi ini masih dapat dilihat pada suku Dayak Kenyah, Bahau dan Kayan (Maunati 2006:149).

Orang Bahau yang menetap di Muara Keba, pada dasarnya hanya sebagian kecil saja dari kelompok Bahau keseluruhan yang menyebar diberbagai kecamatan dalam wilayah Kab. Kutai Kartanegara. Menurut legenda yang hidup dikalangan orang Bahau, nenek moyang mereka berasal dari Sungai Bram di Brunai. Karena ada peperangan dengan orang Iban, orang Bahau kemudian pindah menuju sungai Kayan atau Apo Kayan dan sebagain lagi ke hulu mahakam.

Dengan alasan untuk mencari kehidupan yang lebih baik beberapa lama kemudian sebagian dari mereka pindah lagi ke Long Merah, hingga sampai di sungai Belayan Muara Keba pada tahun 1995. Menurut cerita, perjalanan yang mereka tempuh memakan waktu hingga dua hari dua malam. Setiap rombongan yang berimigrasi jumlahnya bervariasi, namun tidak kurang dari 40 orang. Perjalanan yang mereka tempuh, selain melalui hutan belantara, juga disepanjang aliran sungai hingga tidak jarang anggota rombongan yang menderita sakit. Selain karena alas an diatas, berkembang juga cerita bahwa perpindahan orang Bahau ke Muara Keba karena didaerah ini sejak tahun 1960 menjadi penghasil emas yang besar.

Kini mereka hidup berbaur dengan sukubangsa lainnya dan mengembangkan kerukunan hidup yang baik, karena banyak diantara mereka yang menikah antar budaya. Sekalipun demikian, identitas Bahau tetap dipertahankan, bukan saja dalam berbahasa, tetapi juga dalam melestarikan tradisi nenek moyangnya.

Masuknya agama nasrani (Katolik dan Protestan) dalam kehidupan orang Bahau, tidak serta merta menghapuskan jejak tradisi lama yang mereka dukung. Agama local Kaharingan, sekalipun tidak terus terang dilaksanakan, dalam kenyatannya tetap mewarnai kehidupan orang Bahau.

I.   Asal Dayak Modang di Kabupaten Kutai Kartanegara
Masyarakat suku Modang tinggal di desa Long Bleh, kecamatan Kembang Janggut merupakan desa tertua yang ada di wilayah Belayan. Kemudian desa ini mengalami pemekaran dan saat ini di wilayah Belayan terdapat tiga desa tempat komunitas Dayak Modang.

Menurut penuturan kepala adapt yang informasinya disampaikan oleh orang tuanya, Desa Long Bleh terbentuk pada tahun 1945 bertepatan dengan berkibarnya merah putih yang pertama kalinya. Kini tiang bendera tersebut berdiri utuh dan mengingatkan mereka pada saat penting yakni Proklamasi Kemerdekaan RI. Asal-usul orang Modang sendiri konon dari Sungai Kejun Besar di daerah Apo Kayan. Sebelum tahun 1945, secara berkelompok orang Modang pindah dengan berjalan kaki menyusuri sungai Mahakam Dari hulu. Pertama, mereka sampai di daerah seberang Long Bleh Haloq, dan kemudian tahap demi tahap membuka daerah baru di tempat yang kini menjadi hunia orang Modang yakni Long Bleh (Modang). Pemukiman orang Modang di wilayah Kembang Janggut ini dibedakan menjadi dua, pertama mereka yang menetap di desa Long Bleh Modang, dan pemukiman lainnya adalah di Long Bleh Malih.

Perpindahan mereka dari hulu mahakam hingga ke pemukiman sekarang tidak berbeda dengan orang Dayak lainnya, yakni ingin merubah hidup menjadi lebih baik. Sekalipun tanah di hulu Mahakam cukup subur, akan tetapi mereka sulit memperoleh bahan pokok hidup lainnya seperti pakaian, atau bahan makanan. Pendidikan, juga menjadi salah satu alas an kepindahan mereka. Kini di tempat yang baru, mereka bias mengembangkan kehidupan dengan berbagai sarana yang bisa dimanfaatkan.

II.   RELIGI dan MITOS (penjelasannya sabar ya...)
A.    Religi dan Mitos Masyarakat Dayak Benuaq
B.    Religi dan Mitos Masyarakat Dayak Tunjung
C.    Religi dan Mitos Masyarakat Dayak Kenyah
D.   Religi dan Mitos Masyarakat Dayak Modang
E.     Religi dan Mitos Masyarakat Dayak Punan
F.     Religi dan Mitos Masyarakat Dayak Bahau

III.  SISTEM ORGANISASI SOSIAL (penjelasannya sabar ya....)

IV. SISTEM KEKERABATAN (penjelasannya sabar ya...)
A.   Sistem Kekerabatan Dayak Benuaq
B.   Sistem Kekerabatan Dayak Tunjung
C.   Sistem Kekerabatan Dayak Kenyah
D.   Sistem Kekerabatan Dayak Modang
E.    Sistem Kekerabatan Dayak Punan
F.    Sistem Kekerabatan Dayak Bahau

V.  POLA SUBSISTENSI

VI. SISTEM ILMU PENGETAHUAN

    Sistem ilmu pengetahuan masyarakat Dayak terkait dengan lingkungan dimana mereka tinggal yang sangat dekat dengan alam. Ada beberapa aspek ilmu pengetahuan yang dapat didokumentasikan antara lain; Arsitektur rumah lamin, obat tradisional dan kuliner. Ketiga aspek ini amat erat hubungannya dengan keseharian mereka, dan diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi.

    Hampir seluruh komunitas suku Dayak pada awalnya memiliki rumah lamin sebagai tempat tinggal mereka. Pada masa dahulu pembuatan lamin ini diperuntukkan untuk satu kelompok suku dayak sehingga dibuat berukuran sangat besar tergantung jumlah komunitas di dalam suku tersebut. Tidak heran jika di satu lamin ada yang berukuran mulai dari 30 meter sampai 100 meter. Lamin mereka yang bangun memiliki tiang antara 3-4 meter dari permukaan tanah. Tingginya lamin ini selain berfungsi untuk menghindari binatang buas juga dimaksudkan mejaga keamanan dari serangan musuh. Dalam lamin ini terdapat ruang/kamar-kamar yang disusun berderet, setiap kepala keluarga memiliki satu kamar selain dapur pada bagian ujung dari lamin. Lamin ini memiliki tangga naik yang jumlahnya bervariasi, namun untuk menerima tamu menggunakan tangga utama yang biasanya terletak pada bagian paling tangah dari lamin. Selain dapur ada pula ruang public yang digunakan untuk menyimpan senjata atau alat-alata berladang dan peralatan upacara. Di halaman bagian depan rumah binatang yang akan dikorbankan pada saat upacara adat. Selain itu terdapat pula rumah-rumahan kecil yang berfungsi sebagai rumah pemujaan.

    Adapun peralatan rumah lamin yang umum ditemukan adalah tikar, bantal dan selimut yang dibuat sendiri selain itu beberapa benda yang sering disimpan di dalam lamin adalah guci, gong, dan tanduk kerbau sebagai bagian dari perhiasan rumah. Namun kini pola hunian masyarakat Dayak tampaknya mulai berubah. Mereka tidak harus tinggal di dalam satu lamin lagi melainkan rumah rumah hunian yang mereka buat untuk satu keluarga. Keluarga baru dapat saja tinggal sementara di rumah keluarga wanita/pria sampai mereka mampu untuk membuat rumah sendiri. Beberapa komunitas dayak sudah tidak memmbangun Lamin lagi atau ada pula yang menggantinya dengan rumah adat yang sebagian besar mengambil alih fungsi lamin pada masa lalu seperti yang ditemukan pada Dayak Kenyah di Ritan Baru, Tabang. Meskipun ada pula yang tetap membangun lamin namun baik bentuk dan ukurannya tidaklah sebesar lamin-lamin masa lalu.
   Berikut beberapa aspek arsitektur lamin dan rumah adat yang ditemukan di Kabupaten Kutai Kartanegara
a.  Arsitektur Lamin Dayak Benuaq  
    Dalam bahasa Dayak Benuaq, lamin disebut sebagai lou yang berarti rumah panjang berpetak-petak. Lamin disebut rumah panjang karena ada yang mencapai puluhan bahkan ratusan meter panjangnya. Lamin dibuat berdasarkan kebutuhan penghuninya. Semakin banyak penghuni lamin, maka akan semakin panjang lamin itu dibuat (Haris Sukendar dkk,2006:94-95).

    Lamin di Pondok Labu merupakan rumah panggung dengan panjang keseluruhan sekitar 36 meter dan lebar 10 meter. Lamin sebagai rumah utama memiliki panjang sekitar 25 meter. Tinggi lantai lamin dari permukaan tanah 2 meter, dengan jumlah kamar 6 kamar tidur. Lamin ini juga dilengkapi dengan 2 dapur dan 2 kamar mandi yang terletak disebelah kiri dan kanan bangunan lamin. Lamin ini dikategorikan sebagai bangunan asli orang Dayak karena benar-benar difungsikan sebagai rumah tinggal, tempat berkumpul, dan tempat melakukan segala aktifitas komunitasnya (Haris Sukendar dkk,2006:95).

    Pada bagian depan lamin terdapat 8 tiang belontankng yang merupakan tiang berukir yang dipergunakan sebagai tempat mengikat hewan yang akan dipersembahkan dalam upacara adat, seperti kerbau. Selain itu pada bagian depan rumah juga terdapat balai (tempat meletakkan sesaji). Tiang rumah yang digunakan untuk menopang lamin ini ada 12 tiang, yang ditempatkan berjajar 6 tiang di bagian depan dan 6 tiang di bagian belakang lamin. Tiang-tiang tersebut terbuat dari kayu ulin dengan diameter kurang lebih 20 cm. Pada bagian atas tiang rumah yang terletak di bagian depan lamin masing-masing terdapat dua tanduk kerbau, yang merupakan kerbau persembahan pada upacara adat.

    Terdapat 3 tangga yang dapat dipergunakan untuk naik ke lamin. Pada bagian tengah terdapat tangga utama (tukar dusutn), berupa tangga yang terbuat dari papan kayu dengan 8 anak tangga. Tukar dusutn ini berukuran lebar 1 meter dan jarak antara anak tangga kurang lebih 20 cm. Dua tangga lainnya terletak dibagian kiri dan kanan tukar dusutn. Tangga (tukar) ini masing-masing terbuat dari kayu ulin utuh (berupa kayu bulat atau gelondongan), yang dipahat membentuk anak tangga. Jumlah anak tangga tukar bagian kanan rumah ada 9 anak tangga dan tukar bagian kiri rumah 10 anak tangga. Pada bagian ujung atas tukar ini dibentuk seperti kepala manusia.

    Pada bagian depan lamin terdapat 3 pintu masuk dan 4 jendela. Pintu masuk utama (benjawakng) terletak di tengah, tepat berhadapan dengan tukar dusutn. Benjawakng ini berukuran tinggi 2 meter dan lemar 90 cm. Sedang 2 pintu yang lain (jawakng) terletak di sebelah kiri dan kanan pintu utama dengan ukuran yang lebih sempit dari pintu utama, yaitu tinggi 2 meter dan lebar 80 cm. Keempat jendela pada bagian depan lamin berukuran sama besar, yaitu tinggi 80 cm dan lebar 60 cm. Pada bagian samping kiri dan kanan lamin masing-masing terdapat satu pintu dan satu jendela. Ukuran pintu pada bagian samping lamin adalah tinggi 2 meter dan lebar 80 cm, sedang ukuran jendela adalah tinggi 80 cm dan lebar 60 cm.
    Beberapa istilah bagian-bagian rumah dalam bahasa Dayak Benuaq:
    Tangga                  :  tukar
    Tangga utama        :  tukar dusut ng
    Teras                     :  ketala
    Pintu utama            :  benjawak ng
    Pintu lain                :  jawak
    Ruang dalam          :  luang lou
    Ruang santai          :  botuk
    Kamar tidur            :  nya oro ok
    Kaca cermin           :  sermin
             Dapur                    :  jayung
 
  Ada perbedaan istilah yang dipakai oleh masyarakat Benuaq dalam menyebutkan lokasi hunian mereka antara hunian yang digunakan secara tetap dan lokasi hunia yang digunalan pada waktu tertentu saja, yakni simpukng untuk menyebut lokasi hunian yang masih dipergunakan sehari-hari oleh mereka sebagai tempat tinggal dan tempat berkumpul dan bumut untuk lokasi hunian yang sudah tidak dipergunakan sebagai tempat tinggal dan berkumpul sehari-hari, jadi mereka hanya mendatangi tempat tersebut sewaktu-waktu saja, seperti misalnya pada saat musim buah, mereka akan dating ke lokasi tersebut untuk memanen buah.

   Meskipun terdapat sungai Tenggarong (anak sungai Mahakam) di sebelah utara lamin, namun lamin dan rumah-rumah penduduk lainnya tidak dibangun mengikuti arah sungai. Pemukiman masyarakat Dayak Pondok Labu ini terletak dekat sekali dengan jalan raya maka rumah-rumah penduduk pun dibangun mengikuti arah jalan raya. Tampaknya adanya perubahan terhadap orientasi arah hadap rumah hunian ini disebabkan oleh adanya perubahan pola subsitensi dan system transportasi dari jalur sungai ke jalur darat.

b.   Arsitektur Lamin Dayak Kenyah
 Lamin adat (serapo) masyarakat dayak Kenyah di Desa Lung Anai bukan merupakan lamin yang dihuni atau didiami oleh warga. Lamin ini hanya berfungsi sebagai tempat berkumpul dalam melaksanakan upacara-upacara adat atau acara-acara lain yang melibatkan warga masyarakat Kenyah. Selain itu juga sebagai tempat penyimpanan barang-barang adat yang merupakan milik bersama seluruh warga desa, seperti alat-alat musik, barang-barang kerajinan (seni kriya), senjata dan pakaian beserta perlengkapannya.

Rumah-rumah yang dihuni oleh maysarakat merupakan rumah tunggal dengan bentuk rumah panggung (atau mereka biasa menyebut rumah tomgkat). Dalam bahasa Kenyah, rumah mereka sebut sebagai amin. Rumah panggung ini tidak terlalu tinggi, jarak antara lantai rumah dengan permukaan tanah rata-rata hanya sekitar 30-50 cm. Hal ini sudah merupakan suatu perubahan dan penyesuaian terhadap lingkungan setempat, karena sewaktu mereka masih tinggal di daerah Apo Kayan, jarak antara lantai rumah dengan permukaan tanah dapat mencapai 1-2 meter tingginya.

Ukuran rumah tidak ada ketentuan khusus, namun biasanya sekitar 6x12 meter atau 5x10 meter. Terdapat dua atau tiga kamar dalam satu rumah. Dinding rumah biasanya menggunakan kayu katan ludang. Dinding rumah ada yang dicat dengan warna putih atau biru, ada pula yang tidak diberi cat warna. Tiang atau tongkat rumah menggunakan kayu leban atau kayu ulun dengan diameter sekitar 15-20 cm.

Atap rumah bervariasi, ada yang terbuat dari kayu (biasanya kayu payau) yang disebut sirap, berupa kayu yang dibelah dan ditipiskan dengan parang dengan ketebalan sekitar 5 mm, ada pula atap rumah yang menggunakan daun-daunan, yaitu daun lame dan daun nanga (mirip dengan daun pohon aren). Daun-daunan itu disusun berjajar dan dijepit dengan bilah bamboo. Selain menggunakan sirap dan daun, ada pula rumah yang memakai atap dari seng, dengan alas an biaya yang lebih murah serta ketahannya lebih lama, walaupun jika menggunakan atap dari seng, di dalam rumah terasa lebih panas dibandingkan jika atap rumah menggunakan bahan kayu atau daun.

Kamar mandi terletak di bagian belakang rumah, biasanya terpisah dari bangunan utama. Dapur juga berada di belakang rumah, kadangkala terpisah dengan bangunan utama, kadang berada di dalam bangunan utama, tetapi tetap berada di bagian belakang rumah. Sebagian besar masyarakat Dayak Kenyah memasak dengan menggunakan tungku berbahan baker kayu, namun sudah ada pula yang menggunakan kompor minyak tanah, bahkan ada yang memakai kompor gas.

Bagian-bagian rumah dalam bahasa Dayak Kenyah di Desa Lung Anai:
Tangga         : can
Atap             : sapau
Atap kayu     : sirap
Teras           : use
Pintu            : pamen
Jendela         : pa awang
Lantai           : asok
Dinding        : nding amin
Ruang tamu  : tengkan
Kamar tidur  : tilong
Dapur           : dapun
Tungku        : atang
Rak piring     : buan kiyut
Piring           : kiyut
Gelas bambu : lebek         
Kamar mandi          : lamin sung
Pekarangan   : lasan
Kandang       : buan

Pada lamin masyarakat Dayak di Lekaq Kidau memiliki ukuran 15x9 meter dan berdiri kurang lebih satu meter dari permukaan tanah dan ditopang dengan empat tiang berdiameter 43 cm yang berdiri kokoh di tengah ruangan. Keempat tiang tersebut diukir dan dihiasi dengan berbagai bentuk lukisan motif naga dan manusia dalam posisi berdiri dengan kedua tangan di pinggang. Dinding pembatas antara ruang depan dengan dinding bagian dalam dihiasi dengan lukisan khas suku Dayak antara lain berupa berbagai jenis hewan laut (seperti udang dan cumi-cumi), burung enggang dan tumbuh-tumbuhan. Hiasan dinding yang didominasi oleh warna putih, kuning dan merah ini menurut mereka melambangkan kesuburan. Pada bagian kiri bangunan tergantung hiasan berupa burung enggang yang terbuat dari kayu. Burung enggang merupakan totem khas masyarakat Dayak dan dianggap sebagai jenis burung yang dikeramatkan.

Selain menjadi tempat kediaman resmi ketua adat, lamin di desa Lekaq Kidau ini juga berfunsi sebagai fasilitas public, yakni tempat berkumpul komunitas dayak Kenyah ketika memperingati hari Natal atau hari-hari besar lain yang berkaitan dengan system kepercayaan mereka.

Balai adat masyarakat Dayak Kenyah di desa Ritan Baru dan Tukung, Tabang yang dinamai lamin Amin Bioq memiliki bentuk cukup unik. Rumah adat ini lebih mirip sebuah “stadion” dimana pada bagian keempat sisinya bangunan dibuat tempat duduk bertingkat-tingkat mengelilingi bagian tengah yang berupa lantai tanah. Balai adat ini tidak memiliki dinding/terbuka dengan atap yang dihiasi oleh patung berornamen Dayak pada sisi kiri dan kanan pintu masuk tersebut. Rumah adat ini tidak dihuni, sehingga fungsinya hanya sebagai tempat untuk kegiatan bersama.

c.   Kuliner
Kehidupan masyarakat Dayak yang erat dengan alam tercermin juga dalam aneka kuliner yang dimilikinya. Sebagai masyarakat peladang, mereka memiliki varitas padi local yang dibudidayakan sejak dahulu. Makanan utama mereka adalah beras yang dapat diolah dengan berbagai cara. Mengolah beras menjadi nasi umumnya dilakukan dengan mengukus beras di dalam rotan atau bamboo atau dibuat dalam bentuki ketupat. Namun adapula pembuatan nasi yang dimasak dalam bamboo dan dibungkus dengan daun tebu untuk upacara adat.

Dalam mengolah sayur-sayuran, masyarakat dayak sangat menggemari sayur yang menggunakan bumbu serai, laos, lombok, garam dan terasi. Untuk lauk biasanya ditambahkan berbagai jenis ikan yang dapat diganti dengan ayam atau daging sapi atau babi.
Berikut beberapa jenis kuliner pada masyarakat Dayak Benuaq:
1. Lepit Unek (sayur daging babi): berupa sayur bening, tidak memakai rempah-rempah dan santan. Daging babi direbus, dibumbui serai, garam dan cabai.
2.  Sanga lalu lola: daging babi diberi bumbu jahe, serai dan garam, direbus sampai kering airnya.
3. Lobat: daging babi beserta kulitnya direbus, diambil lemak-lemaknya. Lemak atau minyaknya dapat dimanfaatkan juga untuk menggoreng atau menumis sayuran.
4. Kradakng piak: ayam dipotong kepalanya, isi perut dan bulunya dibersihkan, dibumbui kemudian dibakar utuh.
5.  Campuran sayur untuk melengkapi masakan daging babi, kerbau ataupun ayam antara lain adalah jabau (daun singkong dan umbi singkong), ayak (ubi rambat), ketimun, kacang panjang, kacang merah, kacang hijau, jagung, cabai merah, cabai rawit, talas dan terung.

Masayarakat Dayak Tunjung mengenal berbagai jenis masakan tradisional yang menunya terbuat dari daging babi, ayam dan ikan.
Beberapa jenis makanan tersebut adalah:
1. Cehai pumbui (babi rebus): daging babi dipotong kecil-kecil, direbus. Diberi bumbu garam, kunyit, serai, jahe. Kadang dapat juga diberi campuran buah nangka muda.
2.  Cehai (babi panggang): babi dipotong kepala dan kakinya. Dibersihkan isi perutnya, diberi bumbu bawang merah, bawang putih, garam, kunyit, serai, cabe. Bumbu-bumbu tersebut dihaluskan, kemudian dioleskan merata pada daging, kemudian dipanggang.
3. Tutung saping: kulit dan daging babi dipotong kecil-kecil, dibumbui kemudian dibakar (seperti sate)
4. Krehat: kulit babi dipotong kecil kemudian digoreng kering. Dapat dimakan sebagai lauk nasi atau sebagai camilan, seperti kerupuk.
5. Cehai saping (selai babi atau daging babi asap): daging babi ditempatkan diwadah berlubang-lubang, kemudian diletakkan di atas bara selama beberapa waktu sampai kering. Daging babi asap ini dapat bertahan cukup lama, awet untuk disimpan sampai lebih dari dua minggu.
6. Babi masak kecap: daging babi direbus, dibumbyi dawang merah, bawang putih, garam, kecap manis, kecap asin, dan ketumbar.
7. Ayam masak bening: daging ayam dipotong kecil-kecil, direbus dengan campuran singkong parut, diberi bumbu serai, kunyit dan garam.
8. Klunyet (nasi campur singkong): singkong direbus, sewaktu airnya mendidih, masukkan beras kira-kira dua gelas. Setelah air kering, matikan api dan diamkan kira-kira 15 menit, kemudian ditumbuk.
9.  Kanan parut: singkong diparut, diperas, masukkan kedalam kukusan dan dikukus selama kurang lebih 1 jam, dihidangkan dengan kelapa muda yang diparut.
10. Tumpi: sejenis kue yang terbuat dari beras ketan yang ditumbuk halus, dicampur air, gula dan sedikit garam, dibentuk bundar kemudian digoreng.
11. Daun singkong direbus kemudian dibuang airnya, diperas, diiris tipis-tipis, kemudian dioseng. Diberi bumbu bawang merah, garam, cabai. Dapat dicamour kelapa parut (tetapi bukan diambil santannya)
12. Labu kuning masak ikan: ikan direbus, setelah mendidih, masukkan labu dan umbi singkong.

Beberapa jenis makanan yang biasa dibuat oleh masyarakat Dayak Modang sudah sangat dipengaruhi oleh agama islam yang melarang penganutnya memakan daging babi sehingga jenis lauk pauknya biasanya seperti:
1.  Ayam Kare
2.  Ayam Goreng
3.  Ayam Sop
4.  Lejong Keladi (talas) : daunt alas, kulit payau (rusa) atau kulit sapi, terung asam, terung pipit  (berduri), direbus, lalu diberi bumbu jabe, garam, sereh dan laos.
5.  Lejong Daun Ubi : daun singkong ditumbuk, kulit payau (rusa), terung pipit direbus, lalu diberi bumbu laos, jahe dan garam
6.   Rujak

d.   Upacara Pengobatan dan Obat Tradisional
Salah satu warisan budaya masyarakat Dayak yang selama ini terabaikan adalah pengetahuan akan cara pengobatan dan obat tradisional yang telah dikenal sejak dahulu. Hal ini disebabkan antara lain terbatasnya orang-orang yang memiliki pengetahuan tentang hal tersebut, disamping itu pengetahuan tersebut disampaikan secara lisan sehingga seringkali tidak terdokumentasi secara baik, padahal masyarakat dayak telah memiliki kemampuan meramu obat-obatan yang relevan sampai saat ini. Sebagai contoh untuk merencanakan jumlah anak yang diinginkan mereka melakukannya dengan memakan daun suluh dari satu jenis pohon tertentu (Riwut, 2003:316). Masyarakat dayak juga mengenal upacara pengobatan yang dikenal sebagai upacara Beliatn (baca belian). Upacara ini harus dilaksanakan karena menurut pandangan mereka seseorang yang terkena suatu penyakit disebabkan oleh perbuatannya sendiri yang membuat dewa-dewa/leluhur mereka murka sehingga memberikan bala/bencana kepada orang yang tersebut dengan memberinya penyakit. Untuk menghilangkan bala tersebut maka perlu diadakan upacara beliatn dengan harapan para dewa/leluhur mau memafkan dan memberikan kembali kesehatan orang yang terkena bala tersebut.

Ada beberapa jenis upacara Beliatn, yang paling popular dan sering diselenggarakan adalah Beliatn Bawo dan Beliatn Sentiyu. Beliatn Bawo merupakan upacara penyembuhan yang dapat dipimpin tabib perempuan, biasanya untuk pengobatan penyakit yang ringan seperti demam pada anak-anak. Sedangkan Belaitn Sentiyu merupakan upacara beliatn terbesar yang dipimpin oleh seorang tabib atau lebih. Upacara ini biasanya berlangsung hingga 4 hari 4 malam.

Persiapan menjelang upacara adalah kesibukan panjang bagi seluruh warga desa, terutama para penghuni rumah panjang atau lamin tempat berlangsungnya upacara. Beberapa hari sebelum diadakan Beliatn Sentiyu, berbagai piranti upacara mulai dipersiapkan. Patung-patung kecil yang melambangkan hantu pengganggu, ornament janur, ramuan dari dedaunan, beberapa ekor babi yang disembelih untuk diambil darahnya, serta menyiapkan masakan khas untuk upacara beliatn yaitu tumpi dan lemang yang terbuat dari beras ketan.

Upcara pengobatan belian sentiyu melibatkan sejumlah pelaku yakni: pemeliatn (penyembuh), rotatn (pasien), penu’ung (pemusik) dan pengugul pengegugu baru (orang yang membantu pemeliatn menyiapkan segala perlengkapan upacara). Dalam praktek pengobatan beliatn sentiyu, seorang pemeliatn akan memeriksa rotatn dengan cara:
a)   Kakaap (meraba tubuh rotatn yang dirasakan sakit)
b)   Nyegook (menghisap bagian kepala rotatn)
c) Nyentaau (mendiagnosa dengan menggunakan lilin untuk mengetahui penyakit rotatn
d) Tafsir mimpi (menanyakan mimpi yang pernah dialami rotatn atau keluarganya)
e)   Ngentaas (memanggil roh kelelungan para pengentaas)

Saat upacara dimulai pada malam hari, orang-orang yang sakit dibaringkan di lamin. Kerabatnya duduk disamping pasien, menyaksikan jalannya ritual. Sementara itu sang tabib, diiringi musik tetabuhan, menari sambil melantunkan mantra dalam bahasa kutai. Makin lama, ketika memasuki saat intrans, gerakan tariannya makin cepat dan tak terkendali, seolah kemasukan roh. Pada tarian penyembuhan itu perangkat yang diperlukan adalah sesajian berupa beras, kue, lemang, ayam dan telur. “Sesajian itu diperlukan untuk dipersembahkan kepada roh-roh leluhur agar membantu penyembuhan pasien yang dibaringkan di sekitar penari.

Sambil terus menari, tabib Beliatn mendekat kea rah pasien-pasien yang terbaring pasrah. Ia mengoleskan ramuan pada tubuh si pasien. Bagian belakang tubuh si pasien juga dihisap, untuk menyedot roh jahat yang mengganggu. Sementara itu, musik tetabuhan terus mengiringi hingga larut malam. Kadang-kadang upacara ini berakhir hingga dini hari, tergantung banyak sedikitnya jumlah pasien. Karena upacara Beliatn Sentiyu ini berlangsung selama 4 hari 4 malam, seluruh pasien dan segala piranti upacara masih berada di lamin. Malam berikutnya, ritual upacara berlangsung lagi. Bunyi tetabuhan dan hentakan kaki para tabib Beliatn pada lantai lamin yang terbuat dari papan menjadi musik penggiring saat malam-malam berlangsungnya upacara Beliatn. Pada malam terakhir, yaitu malam keempat, disembelilah seekor babi untuk diambil darahnya. Lengkingan si babi kesakitan di tengah malam menambah suasana magis. Kemudian darah babi itu dioleskan pada tubuh pasien, sementara dagingnya dimasak esok paginya sebagai lauk.

Selepas upacara Beliatn Sentiyu yang berlangsung 4 hari 4 malam itu, para pasien belum diijinkan untuk pulang ke rumah masing-masing. Mereka masih berada pada masa tuhing, yaitu masa tabu untuk menjalani berbagai pantangan. Masa tuhing ini berlangsung hingga 4 hari. Setelah itu barulah pasien diijinkan kembali ke tempat tinggalnya.

Selain masih mempercayai pengobatan dengan Upacara Belian mereka juga mengenal berbagai jenis tanaman obat yang diyakini mampu mengobati beberapa jenis penyakit yang umum di daerah mereka seperti:

     1. Obat sakit perut
  •     Tanaman Gelinggam (bhs Benuaq), satu jenis tanaman yang dikenal sebagai anti racun oleh masyarakat suku Benuaq. Cara penggunaan dengan mengikis dan merebus bagian batangnya dan diminumkan setelah disaring. Bagian akar dari tumbuhan ini dapat digunakan sebagai obat sakit perut.
  •          Tanaman Peai (bhs Benuaq), tanaman ini dapat digunakan sebagai obat sakit perut atau mencret. Cara menggunakannnya dengan merebus bagian batang dan hasil rebusan tersebut disaring lantas diminum.
  •    Tanaman Benuang Rangkang (bhs Benuaq), cara menggunakannya yakni dengan merebus segenggam daun dan hasil rebusan disaring selanjutnya langsung dapat diminum. Tanaman ini digunakan pula dalam upacara keagamaan.
  •          Tanaman Kunjeng (bhs Tunjung), daunnya dicampur dengan batang kapuk, direbus, diminum airnya.
     2.   Obat penawar racun
          Tanaman Koyur (bhs Benuaq), dipercaya oleh masyarakat Dayak Benuaq untuk     menghilangkan racun yang masuk kedalam tubuh. Cara menggunakannya dengan mengikis bagian batang dan disiram dengan air panas dan diminum. 
  
3. Obat bedak dingin
  •     Tanaman Kokang (bhs Benuaq), diambil pada bagian pucuk dari tanaman    ini biasanya digunakan untuk campuran membuat bedak dingin atau pupur.
  •      Beras direndam selama 2 minggu, diganti airnya setiap dua atau tiga hari hari sekali, direndam dengan air mentah, kemudian ditumbuk halus. Setelah menjadi bubuk atau bedak, dicampur sedikit dan dioleskan ke tubuh atau muka. Bedak dingin ini bermanfaat untuk pelindung muka dari sengatan sinar matahari.
    4.  Obat luka sengatan/patil ikan
       Tanaman Biowo (bhs Benuaq), digunakan pada bagian daunnya dan dipanaskan di atas api lalu ditempelkan pada bagian yang sakit, selain itu tanaman ini juga digunakan untuk upacara Beliatn. Tanaman ini juga dapat menyembuhkan penyakit mencret dengan memakan akar pohon sepanjang satu jari ditambah pinang.

   5.  Obat sakit batuk
  •        Buah Pinang Muda, dibelah, langsung dimakan isinya.
  •     Jeruk Nipis, diperas airnya diberi sedikit garam atau kecap dan langsung diminum
  •    Tanaman Krehau (bhs Tunjung) yang diambil bagian daun dan akarnya dibersihkan lalu direbus, hasil rebusan disaring dan airnya diminum.
  •    Tanaman Kacapiring, diambil daunnya yang masih kuncup, diparut, diremas-remas sampai berlendir, kemudian disaring. Hasilnya seperti agar-agar. Masukkan sedikit gula pasir, kemudian diminum.
   6.  Obat sakit panas
  •   Daun Kapuk, daun Nangka Belanda dan daun Selasih dimasukkan kedalam semangkuk air dingin, diremas-remas, masukkan kedalam kain tipis, dikompreskan ke dahi.
  •   Daun Kayu dan daun Genjilap (cocor bebek) diremas-remas kemudian dikompreskan ke dahi.
  •       Pegokng (ilalang), diambil batangnya, direbus, kemudian airnya diminum.
  •     Bunga Cepilai (bhs Tunjung), diremas-remas atau digosok-gosok, kemudian dikompreskan ke dahi.
  •      Bawang Merah, bawang Putih, kulit buah Pinang tua dan santan mentah kental, diseka atau dioleskan ke seluruh tubuh.
  •     Daun Kembang Sepatu, dicampur dengan bawang merah dan bawang putih, ditambah sedikit air hangat. Kemudian diseka atau dioleskan ke seluruh tubuh.
   7.   Obat penghitan rambut
  •    Daun Kayu Ulin diberi minyak kelapa, dicampur kemiri yang telah dibakar, ditumbuk halus dan dioleskan ke rambut, diamkan beberapa saat baru kemudian dibersihkan (keramas). Dapat dipergunakan setiap hari.
  •   Tanaman Geringgang (bhs Tunjung), daunnya digosok-gosok langsung pada rambut, diamkan beberapa saat baru kemudian dibersihkan (keramas).
   8.   Obat sakit gatal
  •     Daun Belong Kokang (bhs Tunjung) direndam, kemudian dibuat pupur (bedak), digunakan sebagai bedak dingin, dioleskan pada bagian tubuh yang gatal.
  •     Daun Merpetak (bhs Tunjung) ditumbuk dan dijadikan bedak. Dioleskan pada bagian tubuh yang gatal
  •      Daun Berap (bhs Tunjung) dipakai sebagai sabun dan shampoo, digunakan untuk membersihkan bagian tubuh yang gatal
  •       Daun Pare, diremas-remas lalu digosokkan ke bagian tubuh yang gatal.
   9.   Obat setelah melahirkan
         Tanaman Krehau (bhs Tunjung), daunnya dicampur air dan dipakai mandi.
Akarnya direbus, airnya diminum.

  10.  Obat sakit pinggang
         Akar Merulek (pasak bumi) direbus, saring, diminum airnya.  

  11.  Obat sakit gigi
         Daun Kunjeng (bhs Tunjung) direbus, disaring, diminum airnya.

  12.  Obat sakit bengkak
      Tanaman Alokai (bhs Tunjung), bunganya direma-remas, dioles atau digosokkan pada bagian yang luka.

  13.  Obat sakit luka terbuka (berdarah) 
  •    Tanaman Buncar (bhs Tunjung) diambil bagian daunnya lalu diremas-remas, langsung ditempel pada luka
  •      Pisang Kampar diambil bagian getah dari bagian batangnya lalu dioleskan pada bagian tubuh yang luka.

VII.     BAHASA

VIII.    KESENIAN dan KERAJINAN
Salah satu aspek dalam kehidupan manusia yang tidak dapat dilepaskan adalah kegiatan seni, baik seni tari, seni musik, seni suara dan berbagai ketrampilan yang menghasilkan karya seni yang indah. Orang dayak sangat menghormati warisan nenek moyangnya termasuk didalamnya menjaga warisan budaya. Sejak dahulu kala orang dayak telah memiliki beragam bentuk kesenian baik itu seni tari, sastra, nyanyian, kerajinan tangan, ukiran, dll. Semuanya ini sangat erat kaitannya dengan kehidupan alam sekitarnya.

Tana’kejin merupakan sebutan yang diberikan untuk daerah Apo Kayan, daerah yang dikenak sebagai pusatnya pulau Kalimantan, yang juga diyakini merupakan cikal bakal penyebaran orang dayak, yang artinya negeri tmpat orang-orang menari. Sebutan itu menggambarkan bahwa seni tari khususnya telah dikenal oleh orang dayak yang diwariskan dan dikembangkan pada generasi berikutnya sampai sekarang.

Bagi masyarakat tradisional, lingkungan alam terdiri dari benda nyata dan roh-roh halus. Roh-roh lebih berkuasa daripada manusia, dan pengaruh jahatnya dapat dihindari dengan upacara yang sesuai. Motif-motif pada kayu, anyaman, dan tekstil merupakan perlindungan terhadap roh-roh jahat. Naga yang diukirkan pada kayu merupakan bentuk pemujaan kepada kepada sang dewi naga dan mencipta roh naga yang baru dengan tempat tinggalnya, sehingga didapatlah perlindungan bagi si pengukir.

Alam sangat erat kaitannya dengan berbagai seni kehidupan orang dayak, termasuk diantaranya dengan berkesenian. Dalam tarian, pakaian dan perhiasan sampai koreografi tarinya juga memasukkan banyak unsure alam. Burung Enggang (hornbill) merupakan burung yang dinilai sebagai lambang kegagahan, kejayaan dan persatuan. Gerakan burung ini banyak digunakan sebagai bentuk koreografi tari oleh orang dayak. Bulu dan paruh burung enggang juga digunakan untuk hiasan kepala, jubah dan juga dipegang di tangan ketika menari. Dalam seni anyaman dan seni ukir, burung enggang juga banyak digunakan sebagai motif dan hiasan.

Pada mulanya kegiatan berkesenian orang Dayak dilakukan sebagai manifestasi akan kepercayaannya yang diwujudkan dalam acara-acara ritual atau adapt seperti dalam upacara mamat (perburuan kepala), upacara beliant (pengobatan), papatai (tarian perang). Tetapi dalam perkembangannya, kegiatan seni pada saat ini sudah lebih ditujukan sebagai hasil karya kebudayaan yang mempunyai nilai bagi perkembangan pariwisata. Secara garis besar kesenian dapat dikelompokkan menjadi: senirupa, seni suara, seni tari dan seni musik.

a.  Seni Rupa
Seni adalah ekspresi jiwa yang dituangkan melalui berbagai media dan merupakan alat komukiasi dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam masyarakat dayak seni merupakan aktifitas sehari-hari dan hamper dapat ditemukan pada berbagai aspek kehidupan mereka yang pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi:
a)    Seni Lukis
Seni lukis pada masyarakat dayak terlihat pada ragam hias pada pakaian, tato. Suatu desa masyarakat dayak biasanya akan dikelilingi lukisan roh pelindung baik yang diukir maupun dilukiskan pada bangunan rumah, yang dipercaya dapat menghidarkan anggota desa tersebut dari roh-roh jahat yang mengganggu. Motif hias hariamau dan pohon kehidupan diwarnai dengan kapur, jelaga dan karat merah pada mas lalu merupakan cirri bangunan tetua adapt. Di rumah-rumah orang dayak dari mulai tiang, hiasan teritis atap dan hiasan dipucak atap, sering dilukis dengan lambing-lambang roh pelindung seperti naga, burung enggang atau tanduk kerbau, dan pohon-pohon serta sulur-suluran yang dari segi pengerjaan sederhana sampai ukiran halus yang indah dengan bentuk-bentuk stilirnya. Hiasan itu ditampilkan dalam aneka motif yang ada hubungannya dengan system kepercayaan setempat, antara lain motif burung enggang, macan, wajah manusia (udoq), anjing, naga, monyet, tempayan dan motif-motif geometris. Hiasan burung enggang selalu ditempatkan paling atas baik itu pada hiasan rumah panjang atau lamin mereka maupun dalam hiasan tiang totem. Pada bagian tengahnya ditempatkan motif manusia, binatang, atau benda-benda lainnya, sedangkan bagian bawah terlukis motif naga atau unsure geometris lainnya.

Pada masyarakat dayak Tunjung, motif tumbuhan berupa sulur-suluran daun pakis, kuncup bunga teratai, daun-daun yang merambat sering menjadi pilihannya. Dalam hal pewarnaan, mereka mengenal teknik pembuatannya dimana untuk menghasilkan warna hitam menggunakan asap dammar yang dicampu dengan getah pohon pelantan. Warna merah dibuat dari rendaman kayu sepang, warna kuning dibuat dari umbi kunyit, warna putih dari kapur sirih (Syahbandani dkk,1998:60)

Ragam seni lukis tampak juga pada rajahan atau tato yang pada masa lalu berfungsi untuk mempercantik diri tetapi juga sekaligus penanda social. Pada perempuan, tato menandakan tingkatan status social seseorang. Sedangkan bagi kaum laki-laki, tato merupakan lambing kejantanan dan keberhasilan dalam berperang. Gambaran tato sendiri seringkali merupakan cara untuk menangkal pengaruh jahat. Tato juga mempunyain makna religius. Orang kenyah percaya bahwa dialam baka nantinya segala sesuatu kebalikan dari yang ada di dunia ini, tanda tato hitam akan bersinar terang dalam kegelapan hingga jiwa si mati dapat menemukan jalan yang harus ditempuhnya.

Pekerjaan mentato ini dilangsungkan ditempat terbuka atau diserambi. Pada orang Kenyah penggambaran motif-motif yang dianggap sakti hanya boleh dilakukan oleh laki-laki yang sudah lanjut usia dengan dibayar oleh sebutir manik, sedangkan yang membuat tatonya sendiri adalah seorang perempuan dengan mempergunakan duri atau jarum yang diberi gagang, kemudian dipukulkan berulang kali ke kulit orang yang ditato. Hal ini dimaksudkan agar campuran jelaga, air tebu dan lemak babi dapat masuk kebawah kulit. Semakin hitam hasil tato semakin bagus.

b)    Seni Ukir
Seni ukir ditemukan pada peralatan rumah tangga juga merupakan wahana berkreasi dengan bahan dan teknologi yang beragam. Pengerjaan mengukir termasuk kegiatan laki-laki. Bentuk seni ukir orang dayak dituangkan menggunakan teknik ukir dengan alat sebuah pisau yang bermata kecil dan bergagang panjang. Bahan yang digunakan biasanya kayu keras yang biasa dibentuk menjadi alat rumah tangga seperti patung, lesung, bening (keranjang untuk menggendong bayi), lesung, pangkal pedang, tutup guci, alat musik dari kayu dan dayung. Selain itu bahannya juga seringkali menggunakan tanduk rusa dan keramik. Motif hiasan yang biasanya digunakan seperti motif naga, daun, wajah, motif tumpal dan bunga. Motif yang biasanya dipakai oleh Dayak Kenyah adalah motif binatang naga, babi, manusia dan burung. Sedangkan pada suku Bahau dan Modang lebih suka motif binatang, babi, tikus dan kombinasi figure binatang tertentu. Dayak Benuaq dan Tunjung lebih memilih motif bunga-bunga dan daun-daunan.

c)    Seni Kriya
Seni kriya byang dihasilan oleh masyarakat Dayak diketahui sangat bervariasi yang umumnya merupakan benda-benda yang dipergunakan sehari-hari. Artinya hasil seni kriya mereka pada dasarnya dihasilkan untuk memenuhi kebutuhan mereka meskipun pada masa kini lebih bersifat komersil. Mengayam manik-manik, tudung kepala (seraung) dan tikar merupakan pekerjaan perempuan. Untuk membuat keranjang dibagi pengerjaannya antara perempuan dan laki-laki. Perempuan membuat keranjang dengan anyaman halus dan ukurannya lebih kecil, dibandingkan keranjang yang dibuat oleh laki-laki yang biasanya lebih besar dan lebih kokoh untuk pekerjaan di lading atau berburu.
Beberapa hasil seni kriya tersebut antara lain:
1.  Ulap Doyo
Kain dari serat daun doyo ini merupakan hasil kerajinan yang hanya dibuat oleh wanita-wanita suku dayak Benuaq. Tanaman doyo yang menyerupai pandan tumbuh dengan subur di Tanjung Isuy. Serat daunnya kuat dan dapat dijadikan benang untuk ditenun. Bahan yang terkenal untuk pakaian adapt tradisonal Dayak Benuaq adalah kain tenunan serat daun doyo. Dari tumbuhan inilah masyarakat Dayak Benuaq membuat benang yang kuat untuk ditenun. Daun Doto dipotong sepanjang 1-1,5 mtr dan direndam dalam air. Setelah daging daun hancur lalu seratnya diambil. Biasanya warna tenunan kain doyo (ulap doyo) memiliki tiga warna: merah, hitam dan warna coklat muda.

Ulap doyo dianggap sebagai tenun ikat yang sangat khas Dayak Benuaq. Motifnya stilasi dari bentuk flora, fauna dan alam mitologi, sebagaimana lazimnya motif hias masyarakat dayak lainnya. Pada bidang yang berwarna terang, pada kain bercorak hias itu muncul titik-titik hitam yang dihasilkan dari pengikatan sebelum dicelup bahan pewarna. Titik-titik hitam inilah yang hamper tak ditemui pada tenun ikat manapun di daerah lain. Dari kain tenun serat doyo ini dibuatlah daster, kopiah, baju, sarung dan sebagainya.

Akulturasi dengan budaya lain juga meresap hingga ke pedalaman. Maka masyarakat Benuaq pun kemudian mengenal kain tenun kapas dengan warna-warni yang sangat kontras dengan warna serat tenun mereka. Dan dengan sangat kreatif mesyarakat Benuaq mengaplikasikan kain-kain tersebut pada karya tenun ikat mereka. Hasilnya adalah busana upacara yang dibuat dari kombinasi tenunan serat doyo dengan kain warna-warni sebagai corak hias yang artistic, misalnya busana adapt yang dipakai oleh pemeliat (ahli pengobatan tradisional).

Dalam pelbagai upacara adapt seperti misalnya upacara kematian, pengobatan, panen hasil bumi, dan sebagainya, kaum perempuan mengenakan ulap doyo yang berfungsi seperti kain panjang (tapeh). Agar bebas bergerak ulap ini diberi belahan yang jika dipakai belahan ini berada di bagian belakang. Ulap yang berbelah ini disebut ulap sela. Ulap yang dikenakan sehari-hari biasanya berwarna hitam sedangkan yang dikenakan saat mengikuti upacara adapt diberi hiasan kain perca warna-warni bermotif bunga atau dedaunan. Sebagai baju biasanya dipakai kebaya tanpa lengan atau yang berlengan panjang. Sedangkan kaum pria biasanya menggunakan tenunan serat doyo ini untuk baju tanpa lengan dan celana pendek.

2.  Anjat
Anjat adalah tas yang terbuat dari anyaman rotan dan memiliki dua atau tiga sangkutan. Anjat biasanya digunakan untuk menaruh barang-barang bawaan ketika bepergian. Anjat ini berukuran sedang sehingga hanya memuat barang dalam kapasitas yang terbatas. Anjat ini tidak memiliki tutup pada bagian atasnya namun terdapat tali yang dimasukkan dalam anyaman gelang kecil di bagian atas anjat yang apabila tali ini ditarik maka anjat ini akan mengecut/menutup. Untuk ukuran yang lebih besar meskipun dibuat dengan bahan yang sama biasa disebut dengan keranjang. Keranjang dibuat sesuai keperluannya diperuntukkan untuk mengangkat hasil lading sehingga berukuran cukup besar. Biasanya keranjang memiliki diameter bawah sekitar 50 cm dan diameter atas 70 cm dengan tinggi sekitar 70 cm dan tidak memiliki tutup pada bagian atasnya. Barang jalinan dan keranjang anyaman sangat banyak variasi bentuk dan kegunaannya. Anyaman rotan lainnya adalah Lampit semacam tikar yang terbuat dari jalinan rotan dipasang sejajar, dan tikar-tikar lain dianyam dari rotan kasar, kulit pohon atau pandan. Orang Punan membuat tikar tidur dengan motif hitam dan putih. Seraung dibuat dari daun-daun palas biru yang dihias dengan tempelan potongan kain persegi dan manik-manik atau sulaman.

3.  Manik-manik
Orang dayak mengenal manik-manik sebagai hiasan sejak zaman logam masuk ke Kalimantan. Manik-manik dari tulang, batu atau dammar dari zaman purba banyak ditemukan pada situs-situs penggalian. Orang dayak membedakan manik-manik besar dari kaca berwarna-warni dan manik-manik halus yang biasa dianyam pada benang. Manik-manik besar berbeda bentuk dan warnanya satu dan lainnya. Manik-manik ini bernilai tinggi dan disimpan sebagai benda pusaka, biasanya dijadikan kalung dan digunakan ketika upacara-upacara adapt berlangsung. Pada masyarakat Kenyah di Long Anai, dikenal manik-manik yang dinamakan lukuk sakalak dan bowang, lukuk sakalak merupakan manik-manik yang berbentuk bulat dan berwarna hijau berbintik-bintik dengan diameter sekitar 2,5-3 cm. Biasanya manik ini digunakan oleh raja-raja Kenyah.

Bentuk yang dihasilkan dari kerajinan manik ini antara lain kalung, gelang, hiasan pada topi, bening, pakaian, ikat pinggang dan peralatan rumah lainnya.

4.  Bening 
Bening adalah keranjang yang terbuat dari bulatan kayu yang dibelah dan bagian bawahnya diberi tempat dudukan dan digunakan untuk menggendong anak balita berukuran panjang antara 30-40 cm.

Pada kedua sisi diberi tali yang digunakan untuk menyangkutkan pada bahu. Untuk menambah indahnya bening ini  pada tepian atasnya dihiasi dengan gantungan kepeng perak, manik-manik dan taring babi. Sedangkan taring babi merupakan symbol keberanian dan kejantanan. Keindahan keranjang ini memiliki nilai tertentu dalam masyarakat dayak. Penggunaan hiasan-hiasan itu bertujuan sebagai penolak bala dan pengharapan akan keselamatan sang anak.

Untuk menghias bening ada dua cara yakni dengan mengukir langsung pada bagian luar bening ada pula yang membuatnya dengan manik-manik yang dianyam. Adapun motif yang digambarkan sangat tergantung pada suku dayak itu sendiri. Pada masyarakat Dayak Kenyah sangat popular menggambarkan motif binatang seperti harimau, sedangkan Dayak Tunjung hiasan motif pohon atau daun hayat lebih disukai (Hasjim Achmad, 1984:13).

5.  Seraung dan Beloko 
Searung adalah Topi berbentuk lebar yang biasa digunakan untuk bekerja di lading atau untuk menahan sinar matahari dan hujan. Seraung dibuat dari daun pandan yang telah dikeringkan. Kinin banyak diolah seraung-seraung ukuran kecil untuk hiasana rumah tangga. Beloko adalah topi pandan yang biasa digunakan pada saat kegiatan upacara.

6.  Mandau 
Mandau merupakan senjata tradisional khas suku Dayak yang menyerupai pedang. Mandau terbuat dari besi dengan gagang terbuat dari kayu atau tanduk yang diukir. Untuk tanduk rusa gagang mandau akan berwarna putih sedangkan tanduk kerbau akan menghasilkan gagang mandau warna hitam. Sedangkan jenis kayu yang biasa digunakan untuk pegangan mandau adalah jenis kayu kayamiling yang telah direndam dalam tanah. Pada bagian ujung gagang mandau biasanya diberi hiasan berupa bulu binatang atau rambut manusia yang untuk merekatkannya menggunakan getah kayu sambun. Sebelum pembuatan dimulai, terlebih dahulu dilakukan upacara adapt sesuai dengan tradisi dari masing-masing suku dayak.

Untuk sarung mandau biasanya digunakan kayu garunggung yang telah tua. Kayu ini memiliki sifat mudah dibentuk dan tidak mudah pecah. Sarung mandau ini biasanya diberi ukiran dan tali untuk mengikatkan mandau pada pinggang yang terbuat dari tali rotan.

b.  Seni Suara  
Orang Kenyah mengenal kidung (kentau) atau bentuk syair yang dilakukan yang
berisi nilai-nilai, aturan, pengetahuan dan kepercayaan yang ada pada
masyarakat Kenyah. Dayung merupakan kentau yang disajikan dalam berbagai
kesempatan yang bersifat santai, hiburan ini dilakukan sambil duduk dan
bersahutan. Kentau ada yang dilakukan pada saat mebuka lading. Peladang saling
bersahutan bertanya dan menjawab tentang tahap-tahap membuka lading yang
telah selesai dilakukan. Kegiatan ini juga sebagai motivasi bagi pemilik lahan
untuk menyegarkan tahapan untuk membuka ladangnya. Nidau merupakan kidung
yang dinyanyikan dalam rangka upacara kematian orang tua-tua atau kerabat
tertentu. Kidung berkisah (kesa) perjalanan si mati kea lam gaib dan seolah-olah
menggambarkan kepada si mati tentang keadaan orang-orang yang
ditinggalkannya. Dengan demikian orang yang masih hidup dapat terus
berkomunikasi dengan roh kerabatnya yang sudah meninggal.

Beberapa seni suara yang dikenal oleh masyarakat Dayak adalah :
1.  Kendrau 
Kendrau, merupakan seni suara yang dipadu dengan tarian yang berisi
harapan, semangat, kata-kata sambutan yang dilakukan, kematian,
kesedihan dan kegembiraan, dilakukan oleh kaum perempuan.
        2.    Lemaloq
Jenis suara seperti pantun yang berisi mantra-mantra.

c.  Seni Tari  
Tarian orang dayak beragam ada yang masih tradisional bahkan ada yang
sudah dikreasikan. Tarian tradisonal berdasarkan fungsinya dapat
dikelompokkan menjadi tiga jenis yakni: 
1. jenis tarian keagamaan seperti untuk pengobatan, atau mengundang roh gaib seperti tarian pada upacara belian bawo, sentiyu dan kwangkai,
2.  tarian adat biasanya dilaksanakan pada saat upacara adat, dan
3.  tarian hiburan/pergaulan seperti leleng.
Tarian-tarian ini dimainkan baik oleh perempuan maupun laki-laki, tunggal
maupun berkelompok.

Kelengkapan tari lainnya adalah mandau dan tameng (klempit), besunung,
bahan yang dipakai di sekeliling bahu biasanya terbuat dari kulit macan atau
beruang; bulu burung enggang atau merak, biasanya digunakan untuk hiasan
topi atau hiasan besunung dan dipegang ditangan untuk kelengkapan tari
bagi perempuan. Sikap burung enggang sering digunakan dalam gerak tari,
sedangkan paruhnya untuk hiasan kalung atau topi. Burung dalam
kepercayaan masyarakat dayak pada umumnya dianggap sebagai binatang
suci, yang menghubungkan manusia dengan roh nenek moyang dan yang
kuasa. Beloko atau topi dari anyaman rotan njuga digunakan sebagai
kelengkapannya; selain itu ada kalung yang terbuat dari manik-manik dan
taring harimau; seleng atau kelat bahu yang terbuat dari kayu atau getah kayu
yang sudah diberi warna hitam; abad atau cawat yang terbuat dari kulit kayu,
yang pada sekitar tahun 1970an mulai diganti dengan kain yang bermanik
manik; gelang atau lekok yang terbuat dari manik-manik atau getah juga;
tabid yaitu ikat pinggang yang menutupi dan melindungi paha belakang serta
seleng kaki atau gelang kaki.

Tarian yang biasa dilakukan antara lain:
1.      Tari Kancet / Tari Perang 
    Tarian ini menceritakan tentang keperkasaan seorang pahlawan Dayak Kenyah berperang melawan musuhnya. Gerakan tarian ini sangat lincah, gesit, penuh semangat dan kadang-kadang diikuti oleh pekikan si penari. Ada dua macam yaitu tarian yang dibawakan oleh hanya 2 orang laki-laki dengan maksud mengadu kekuatan, dan tarian yang dilakukan 2 orang laki-laki dan 1 orang perempuan yang menceritakan tentang perebutan sang perempuan, siapa yang menang berperang berarti dialah yang berhak untuk sang perempuan.

     Dalam Kancet Pepatai, penari mempergunakan pakaian tradisional suku Dayak Kenyah. Sang perempuan menggunakan baju (besung) dari kulit binatang, topi (bloko), dan rok (ta’aban). Panari laki-lakinya memakai celana, cawat hitam, tabit yaitu kain panjang yang menutupi paha belakang, topi (tapung pe’), baju (talun) dari kulit kayu dan dilengkapi dengan peralatan perang seperti mandau, perisai dan baju perang. Tari ini diiringi dengan lagu Sak Paku dan hanya menggunakan alat musik Sampeq.
          2.     Tari Datun Julut
     Menurut riwayatnya, tari bersama ini diciptakan oleh seorang kepala suku Dayak Kenyah di Apo Kayan yang bernama Nyik Selung, sebagai tanda syukur dan kegembiraan atas kelahiran seorang cucunya. Kemudian tari ini berkembang kesegenap daerah suku Dayak Kenyah. Tarian ini merupakan tarian bersama gadis Dayak Kenyah dengan jumlah tak pasti, boleh 10 hingga 20 orang. Alat musik yang digunakan adalah sampe dan jatun utang. Biasanya dilaksanakan pada malam atau siang hari sedangkan kostum yang digunakan seperti yang biasa digunakan pada penari Kancet Ledo hanya saja lebih sederhana. Tarian ini biasanya diadakan dilapangan atau dihalaman rumah atau dapat pula ditampilkan diatas pentas.
          3.     Tari Hudoq
    Dari jenis topeng yang digunakan tari hudoq dibagi dua macam yaitu Hudoq Kibha yang topengnya merupakan keranjang anyaman yang dibalik dan dimasukkan kedalam kepala, serta Hudoq Kita’ yang topengnya berbentuk wajah manusia biasa yang banyak dihiasi dengan ukiran khas Dayak Kenyah. Ada dua jenis topeng dalam tari Hudoq Kita’, yakni yang terbuat dari kayu dan yang berupa cadar terbuat dari manik-manik dengan ornament Dayak Kenyah. Untuk kostum penari Hudoq menggunakan pakaian dari kulit kayu dan daun pisang yang berumbai. Dibuat dengan rapi menutup seluruh tubuh penari. Perlengkapan lainnya adalah tongkat kayu yang dipegang tangan kanan.

    Tarian hudoq ini dilakukan pada saat upacara menyambut tahun baru, upacara pesta menanam padi (musim tanam) maupun untuk menyampaikan rasa terima kasih pada dewi padi yang telah memberikan hasil panen yang baik dan dewa Po Metau sebagai pencipta alam semesta. Pesta tersebut diadakan untuk memperoleh kekuatan dalam mengatasi gangguan hama perusak tanaman dan mengharapkan diberikan kesuburan dengan hasil panen yang banyak. Pada zaman dahulu alat musik yang mengiringi tarian ini adalah kedire dan jatungutang. Saat ini kedire sudah jarang dipergunakan dan ditambah dengan sampeq.

    Pelaksanaan tarin hudoq biasanya dilakukan dilapangan yang luas dimana para penonton mengelilingi penari membentuk lingkaran. Jumlah penari sampai 11 orang. Sebelum dimulai, pawing memberitahukan perlunya diadakan upacara tersebut. Setelah itu roh-roh gaib diundang untuk hadir dimana roh-roh tersebut akan masuk ke dalam tubuh penari Hudoq. Pada saat tarian dilaksanakan, pawing akan membaca mantra (bememang) yang isinya meminta restu dari roh yang disesuaikan dengan maksud upacara tersebut dilaksanakan.
          4.     Tari Hudoq Kita
    Tarian Hudoq Kita dikenal oleh Dayak Kenyah pada prinsipnya sama dengan Hudoq yang dilaksanakan oleh Dayak Bahau dan Modang. Tarian ini dimaksudkan untuk menyambut tahun tanam atau untuk menyampaikan rasa terima kasih pada roh-roh gaib yang telah memberikan hasil tanaman mereka pada musim panen. Perbedaannya pada kostum dan topeng yang dikenakan dimana kostum Hudoq Kita menggunakan baju biasa dengan kain sarung. Demikian pula pada topeng yang digunakan pada Hudoq kita berbentuk wajah manusia biasa. Topeng ini berukuran cukup besar dan memakainya tidak direkatkan di muka melainkan dipegang.
          5.     Tari Kancet Ledo / Tari Gong
    Kancet Ledo atau kancet lasan leto merupakan bentuk tarian tunggal yang dilakukan oleh perempuan, yang menggambarkan kelemahlembutan seorang gadis bagai sebatang padi yang meliuk-liuk lembut ditiup oleh angina. Tarian ini harus dilakukan oleh mempelai wanita Dayak Kenyah ketika akan dipersandingkan dengan mempelai laki-laki. Biasanya dilakukan didepan tempat duduk pengantin dimana para undangan yang dating akan menyaksikan tarian tersebut.

   Tari ini dibawakan dengan memakai pakaian tradisonal suku Dayak Kenyah dan pada kedua tangannya memegang rangkaian bulu-bulu ekor burung enggang. Biasanya tarian ini ditarikan di atas sebuah gong, sehingga Kancet Ledo disebut juga Tari Gong. Tarian ini diiringi oleh alat petik sampe berdawai tiga dengan lagu khusus yaitu lagu dot diot.
          6.     Tari Kancet Lasan
    Tari Kancet Lasan merupakan tarian tunggal wanita dan laki-laki Dayak Kenyah yang sama gerak dan posisinya seperti Tari Kancet Ledo, namun sipenari tidak mempergunakan gong dan bulu-bulu burung enggang dan juga sipenari banyak mempergunakan posisi merendah dan berjongkok atau duduk dengan lutut menyentuh lantai. Tarian ini lebih ditekankan pada gerak-gerak burung enggang ketika terbang melayang dan hinggap bertengger di dahan pohon, sehingga sering dikatakan bahwa tarian ini menggambarkan kehidupan sehari-hari burung enggang, burung yang dimuliakan oleh suku Dayak Kenyah karena dianggap sebagai tanda keagungan dan kepahlawanan.

    Kancet lasan laki yang merupakan tarian tunggal dilakukan oleh seorang laki-laki biasanya ada gerak-gerak yang diberi tekanan pada hentakan kaki. Tarian ini juga sebagai seleksi bagi para laki-laki agar dapat ikut ke medan perang. Laki-laki yang gagah, lincah, cekatan dan perkasa merupakan calon prajurit yang handal.
          7.     Tari Kancet ‘ung
    Merupakan tarian anak muda yang dikenal juga dengan tari seraung yaitu tari yang menggambarkan kekayaan suku Dayak Kenyah dibidang kerajinan tangan. Tarian ini dibawakan oleh perempuan muda dengan baju (aban), topi (tapung aban) dan rok (ta’aban) yang dibuat dari manik-manik dengan hiasan kecil-kecil yang melingkar saling berkaitan yang juga melambangkan persatuan atau tidak terpisahkan. Secara tidak langsung tarian ini juga merupakan promosi bagi hasil kerajinan mereka.
           8.     Tari Leleng
    Tarian ini menceritakan seorang gadis bernama Utan Along yang akan dikawinkan secara paksa oleh orangtuanya dengan pemuda yang tak dicintainya. Utan Along akhirnya melarikan diri kedalam hutan. Tarian gadis suku Dayak Kenyah ini ditarikan dengan diiringi nyanyian lagu Leleng.

    Biasanya tarian ini dibawakan oleh anak-anak wanita berumur antara 6-12 tahun yang biasanya ditarikan secara missal di halaman atau lapangan. Namun seringkali tari Leleng atau tarian bersama ini dibawakan oleh seluruh penari dan penonton yang hadir. Tarian ini menggambarkan kebersamaan diantara seluruh peserta upacara adat.
          9.     Tari Ngerangkau
   Tarian ngerangkau adalah tarian khusus yang diadakan untuk upacara Kwangkai. Tarian ini dimaksudkan untuk mengundang roh si mati untuk diajak bersama-sama dengan sanak famili bersuka ria. Menurut kepercayaan Dayak Benuaq dan Tunjung, dalam tarian ini roh orang yang meninggal akan dating dan menari bersama-sama.

    Tarian ini tidak ada batasan jumlah penarinya dan dapat ditarikan oleh kaum laki-laki dan wanita serta hanya diperuntukkan bagi orang dewasa saja. Tempat pelaksanaannya di rumah keluarga yang mengadakan upacara Kwangkai sedangkan waktu penyelenggaraan di malam hari sampai dinihari.

    Tarian ini baru dapat dilaksanakan jika penari sudah mendapat isyarat dari sang pawing. Saat tarian dilaksanakan, sang pawing akan terus menerus bememang yakni menceritakan riwayat hidup si mati. Kostum yang digunakan untuk laki-laki menggunakan pakaian sehari-hari dengan memakai kain cawat, rompi dan ikat kepala dari kain berwarna merah yang disebut kesapu. Pakaian wanita terdiri dari kain taah atau tapeh silak, kebaya lengan panjang dengan leher bundar dan ikat kepala berwarna merah pula (Zailani, 1999:75-76)
          10.    Tari Ngeleway
   Tari ngeleway dikenal sebagai tarian pelengkap pada upacara perkawinan Dayak Benuaq dan Tunjung. Tarian ini dilaksanakan ketika acara naik kepala yang dilakukan di lapangan dan dipimpin oleh pawing. Tarian ini bias dilakukan oleh laki-laki dan wanita dari semua golongan umur. Untuk penari ngeleway wanita memakai kain ta’ah, kebaya lengan panjang dengan leher bundar dan selendang sedangkan penari laki-laki menggunakan cawat, baju dari kulit jomo dan kesapu dan kain yang bercorak kotak-kotak serta mandau yang diikatkan di pinggang. Pelaksanaannya selalu pada siang hari saat kedua mempelai dipersandingkan (Ibid:79).
         11.    Tari Gantar
    Tari gantar dikenal oleh Dayak Benuaq dan Tunjung sebagai tarian adat yang sacral (ada pula yang menggolongkan sebagai tarian pergaulan). Tarian gantar dikenal sebagai tarian untuk menyambut para pahlawan yang baru pulang dari peperangan. Tarian ini dimainkan oleh para wanita yang mempergunakan alat semacam tongkat di tangan kiri dan sepotong bamboo di tangan kanan. Ditarikan secara missal dilapangan terbuka.

         d.  Seni Musik

    Masyarakat Dayak memiliki bermacam-macam alat musik baik berupa petik, pukul, tabuh dan tiup. Musik juga merupakan sarana yang tidak kalah pentingnya untuk penyampaian maksud-maksud serta puja dan puji kepada roh-roh gaib. Selain itu seluruh tarian Dayak menggunakan  alat musik yang digunakan untuk mengiringi tari-tarian tersebut yang selalu hadir dalam upacara adat, pesta pernikahan dan acara kematian. Masing-masing suku memiliki kekhasan sendiri. Pada Dayak Kenyah mereka memiliki alat petik dan tiup saja yaitu alat petik Sampe dan alat tiup yang dinamakan Kadire yang dibunyikan hanya dengan mempermainkan hawa udara pada rongga mulut. Suku Kenyah tidak menggunakan alat musik tabuh atau pukul secara sembarangan. Alat tabuh hanya dipakai untuk memberikan tanda suatu peristiwa tertentu seperti bahaya banjir, peperangan dan berita kematian. Pada Suku Bahau, Modang, Benuaq dan Tunjung tidak memiliki alat petik tetapi lebih banyak menggunakan alat pukul dan tabuh seperti kelentang, tubun dan kendang. Suku-suku inipun memiliki gong (Zailani Idris, 1999:53).

    Beberapa alat musik ada yang dibuat sendiri berukuran cukup besar sehingga untuk memainkannya diperlukan dua orang atau lebih. Adapun jenis alat musik yang dikenali adalah jenis alat musik petik dan pukul.
Beberapa alat musik tersebut antara lain:
1.    Sampe  
  Sejenis gitar atau ala musik petik dengan dawai berjumlah tiga atau
  empat buah. Biasanya diberi hiasan atau ukiran khas suku Dayak.
         2.    Jatungutang
  Sejenis alat musik pukul dari kayu yang berbentuk gambang. Memiliki 12
  kunci, tergantung dari atas sampai bawah dan dimainkan dengan kedua
  belah tangan.
         3.    Kadire
  Alat musik tiup yang terbuat dari pelepah batang pisang dan memiliki 5
  buah pipa bamboo yang dibunyikan dengan mempermainkan udara pada
  rongga mulut untuk menghasilkan suara dengung. Bentuk lainnya Kadire
  mempunyai enam buah lubang suara seperti suling yang terbuat dari buah
  labu yang dikeringkan pada bagian bawahnya dan terdapat 6 buah suling
  diatasnya yang dapat mengeluarkan nada-nada indah. Lubang tiupnya ada
  dibagian samping buah labu. Kadire juga merupakan alat musik utama
  dalam tarian Hudoq.
         4.    Klentangan
 Alat musik pukul yang terdiri dari enam buah gong kecil tersusun menurut
 nada-nada tertentu pada sebuah tempat dudukan berbentuk semacam
 kotak persegi panjang (rancak). Bentuk alat musik ini mirip dengan
bonang di Jawa. Gong-gong kecil terbuat dari logam sedangkan tempat
dudukannya terbuat dari kayu.

IX.  PENUTUP
    Masyarakat Dayak di kawasan Kabupaten Kutai Kartanegara ada enam kelompok besar dengan sejumlah subsuku yang tersebar hamper diseluruh wilayah Kutai.Keadaan lingkungan yang kurang memberikan kemudahan dalam hubungan antar masyarakat akan menjadikan suku dayak, hidup dalam lingkungan terbatas. Keadaan inilah yang menimbulkan tumbuhnya komunitas suku dayak yang memiliki bahasa maupun budaya yang berbeda antara satu dan lainnya. Walaupun terjadi perbedaan-perbedaan hasil budayanya tetapi tampaknya prinsip dasar keprcayaan mempunyai persamaan antara satu dan lainnya. Pada dasarnya suku dayak memiliki kreatifitas dan dinamika kehidupan yang begitu kompleks. Budaya dan tradisi yang diwariskan oleh nenek moyangnya merupakan modal dasar untuk memposisikan suku dayak dalam budaya dan peradaban yang tinggi. Peradaban dalam arti norma-norma dan nilai luhur dipegang secara ketat. Jiwa kebersamaan dan toleransi serta jiwa gotong royong menjadi dasar kuat.

    Kepercayaan suku dayak yang didasari kepercyaan animisme dan dinamisme yang menganggap bahwa ada zat tertinggi (supernaturalnpower) suatu kekuatan diluar jangkaun pemikiran mereka merupakan salah satu pengaruh munculnya berbagai budaya suku dayak. Selain percaya akan adanya kekuatan supernatural membuat mereka menciptakan berbagai benda untuk keperluan pemujaan dalam bentuk sebaik-baiknya, agar dewa-dewa dan Tuhan mereka akan senang. Dengan demikian maka berbagai upacara yang berkaitan dengan pemujaan kepada dewa-dewa misalnya dalam upacara persiapan pembabatan hutan untuk budidaya tanaman, upacara yang berkaitan dengan mengayau, upacara bersih dewa, upacara pembuatan lamin (rumah panjang) dan lain-lain dilakukan dengan mengerahkan seluruh rakyat yang dilakukan dengan suka rela. Berbagai macam bentuk dan corak serta berbagai uborampe (offering) yang diperlukan dalam upacara sangat bermacam-macam. Bentuk-bentuk pola hias yang tampak dalam upacara mengingatkan pada upacara megah meriah. Tiang-tiang lamin dipahatkan dengan berbagai bentuk pahatan anthropomorpik dan binatang yang memiliki symbol-simbol tertentu. Bentuk-bentuk pahatan manusia secara utuh disamping pahatan dalam bentuk bagian muka manusia (topeng) yang biasanya dikaitkan dengan kekuatan-kekuatan gaib.

   Dalam tradisi megalitik (masa prasejarah) pahatan ini dianggap sebagai penolak bala atau kekuatan yang akan mengancam keselamatan masyarakat. Dewa-dewa antara lain dewa tanaman, dewa pemberi berkah, dewa air (hujan) digambarkan dalam bentuk menakutkan. Sementara dewa yang memberikan berkah digambarkan seperti burung. Dewa-dewa ini memakai pakaian gelap dengan muka yang ditutup oleh topeng menakutkan berbagai macam. Pola-pola hias sangat beragam dalam bentuk motif geometris (motif terukur). Pola-pola hias geometris biasanya dipakai untuk menghiasi berbagai kerajinan dari rotan, berbagai kerajinan yang mempergunakan hiasan manik-manik. Pola-pola hias yang menggambarkan gurita, muka manusia, manusia kangkang dalam berbagai bentuk dan corak ditemukan di lamin dan lumbung-lumbung padi suku Dayak Kenyah. Perhiasan seperti kalung, hiasan kepala, parang dan lain-lain dipergunakan bahan manik-manik, gigi dan taring binatang, kuku binatang, kepala burung enggang, tengkorak kepala monyet dan lain sebagainya. Dengan demikian maka warna-warna yang dipergunakan dalam pakaian  dengan pola hiasnya kelihatan begitu hidup, meriah tetapi anggun. Upacara dilakukan dengan meriah yang biasanya diikuti dengan berbagai tari-tarian dengan 40 atau lebih penari.

    Selain dipengaruhi dan ditentukan oleh kebutuhan-kebutuhan yang berkaitan dengan magis religius beserta dewa-dewa dan berbagai ruh yang mendiami berbagai benda atau binatang kemajemukan budaya juga terjadi karena perkembangan pola piker dan lingkungan alam disekelilingnya.

   Suku Dayak dan budayanya merupakan suatu warisan nenek moyang yang potensial dalam penelitian untuk mengungkapkan dan mengembangkan budaya bangsa. Keberadaan suku bangsa Dayak dan budyanya dapat dimanfaatkan dalam studi etnoarkeologi atau analogi ethnografi untuk mengungkap manusia dan budaya pada prasejarah. Disamping itu juga memberikan bukti-bukti tentang kemampuan manusia beradaptasi dan memanfaatkan lingkungan untuk mempertahankan hidupnya. Oleh karena itu maka budaya suku Dayak bukan hanya bersifat local tetapi juga nasional dan regional. Kemajemukan budaya Dayak menambah kekayaan (memperkaya) budaya bangsa. Budaya Dayak dapat memberikan informasi yang sangat berarti tentang munculnya suku bangsa di Indonesia, asal-usul, kepercayaan (religi), cara mencari makan, seni, ilmu pengetahuan dan teknologi dan lain sebagainya. Kehidupan suku Dayak dan budayanya dapat dipergunakan sebagai panduan dan kunci dalam studi etnografi, arkeologi dan sejarah bangsa. Secara ringkas disini akan disimpulkan berbagai hasil studi yang diharapkan akan mampu menjawab berbagai permasalahan tentang suku Dayak dan kaitannya dengan pengembangan budaya bangsa sebagai berikut:
1.  Suku Dayak dan budayanya merupakan suatu bagian atau sempalan bangsa dan budaya besar yaitu Austronesia yang juga merupakan nenek moyang suku-suku bangsa di Nusantara.
2. Nenek moyang suku Dayak pada awalnya bermukim di daerah Yunan, Tiongkok Selatan dan Vietnam yang kemudian bermigrasi ke daerah bagian selatan melalui Vietnam, Kamboja, Thailand, Malaysia, Sumtra dan Jawa terus ke daerah timur. Sebagian lagi ke timur melalui Formosa, Philipina, Talaud, Sulawesi, Kalimantan dan terus ke timur, Ambon, Pasifik.
3.  Suku Dayak berasal dari bangsa Austronesia yang merupakan penutur bahasa Austronesia yang telah mengenal berbagai ilmu pengetahuan dan teknologi antara lain ilmu perbintangan, teknologi pembuatan alat batu, pembuatan gerabah, menguasai teknologi transportasi (perahu), teknologi tuang logam, tenun, ukir, dan lain-lain. Kepercayaan pada awalnya adalah pemujaan terhadap arwah nenek moyang yang dianggap merupakan zat tertinggi dan menentukan kehidupan di dunia maupun di alam kematian.
4.  Suku Dayak awal mulanya merupakan pemeluk tradisi/budaya megalitik yang telah mengenal teknologi pembuatan bangunan-bangunan batu besar, seperti menhir (batu tegak), arca megalitik, arca menhir, dolmen, teras berundak dan lain sebagainya yang diperlukan dalam pemujaan leluhur. Setelah mereka sampai ke tempat bermukim sekarang, tidak tersedia bahan baku yang berupa monolit (batu besar) untuk dibuat sarana memenuhi kebutuhan pemujaan leluhur atau untuk penguburan. Oleh karena itu mereka membuat berbagai sarana dari kayu yang bentuk-bentuknya sama dengan hasil tradisi megalitik.
5. Kehidupan suku Dayak didasari oleh kepribadian luhur yang mengedepankan persatuan, gotong-royong, toleransi. Cara-cara dan cirri kehidupan ini telah dilambangkan dalam cara bermukim di rumah lamin. Pola-pola hias yang satu dan lainnya tidak terputus yang merupakan simbol satuan yang tidak terpisahkan antara satu dan lainnya. Berbagai sktifitas kehidupan dilakukan secara bergotong-royong, seandainya ada yang tidak melaksanakan akan diberi sangsi berupa benda atau binatang ternak.
6.   Budaya Dayak mempunyai sifat multi sector, multidimensi dan multifungsi yang dapat dimanfaatkan dalam berbagai aspek kehidupan, untuk ilmu pengetahuan, budaya, pendidikan, ideology, ekonomi, persahabatan dan lain sebagainya.

Sumber: Dinas Pariwisata dan Budaya Kabupaten Kutai Kartanegara, bekerjasama dengan Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional.

tuani sianipar