Persidangan Sinode Tahunan (PST) GPIB 2024

Persidangan Sinode Tahunan (PST) GPIB 2024 akan dilaksanakan di Musyawarah Pelayanan Kalimantan Timur II sebagai tuan rumah

ERAU Selayang Pandang

ERAU SELAYANG PANDANG
A.    ISTILAH ERAU
Asal katanya dalam bahasa daerah Kutai ‘eroh’ yang artinya : ramai, riuh, rebut, suasana yang penuh suka cita. Suasana yang ramai, riuh rendah tersebut dalam arti banyaknya kegiatan kelompok orang yang mempunyai hajat dan mengandung makna, baik bersifat sacral, ritual, dan yang bersifat hiburan kegembiraan.

B.    RIWAYAT SINGKAT ERAU
Menurut legenda rakyat Kutai, disebuah dusun bernama Jaitan Layar, bermukim disebuah Gunung seorang Petinggi bersama istrinya. Puluhan tahun mereka hidup sebagai suami istri, namun Dewa tidak menganugerahkan seorang anak pun, sebagai penyambung keturunannya. Suatu malam, kedua orang tua ini dikejutkan oleh suara di luar rumah yang gegap gempita dan malam yang tadinya gelap gulita berubah menjadi terang benderang. Kemudian petinggi memberanikan diri keluar rumah untuk melihat keadaan sebenarnya.

Alangkah terkejutnya ia, karena dihalaman rumahnya dijumpai sebuah batu raga mas dan didalamnya terdapat seorang bayi yang diselimuti kain berwarna kuning, ditangan kanannya menggenggam sebutir telur ayam dan ditangan kirinya memegang sebilah keris mas.

Petinggi tersebut lebih trkejut lagi, setelah dilihatnya tujuh dewa berdiri dihadapannya dan diantaranya berucap: “Berterima kasihlah kamu, karena doamu dikabulkan untuk mendapatkan anak. Bayi ini adalah keturunan Dewa-dewa di khayangan, karenanya tidak boleh disia-siakan pemeliharaannya,  jangan dipelihara sebagai anak manusia biasa. Bilamana engkau akan memandikan anak ini, janganlah dengan air biasa, akan tetapi dengan air yang diberi bunga-bunga wangi. Dan apabila anakmu sudah besar, janganlah ia menginjak tanah sebelum diadakan “Erau” (pesta), dimana pada waktu itu, kaki anakmu ini harus diinjakkkan pada kepala manusia yang masih hidup dan pada kepala manusia yang sudah mati. “Dan selain itu, kaki anakmu ini diinjakkan pula pada kepala kerbau hidup dan kepada kerbau yang mati”. Dan demikian pula, bila anak ini untuk pertama kali ingin mandi ke “tepian” maka hendaklah terlebih dahulu diadakan upacara “erau” (pesta) sebagaimana pada upacara “tijak tanah”. Semua petunjuk dewa tersebut dilaksanakan oleh Petinggi Jaitan Layar dan istrinya.

Setelah tiga hari tiga malam, maka tanggallah (putus) tali pusat bayi itu. Maka semua penduduk Jaitan Layar bergembira, dengan menembakkan “meriam Sapu Jagat” sebanyak tujuh kali. Selama 40 hari dan 40 malam bayi itu dipangku secara silih berganti dengan hati-hati.

Sesuai dengan petunjuk Dewa, maka anak tersebut diberi nama Aji Batara Agung Dewa Sakti.
Pada waktu Aji Batara Agung Dewa Sakti berusia lima tahun, maka sukarlah dia ditahan untuk bermain-main di dalam rumah saja. Ia ingin bermain-main di halaman rumah dan dialam bebas dan mandi di tepian. Maka Petinggi Jaitan Layar mempersiapkan upacara tijak tanah dan upacara erau mengantar sang anak mandi ke tepian untuk pertama kalinya. 40 hari dan 40 malam diadakan pesta Erau dimana disediakan makanan dan minuman untuk penduduk. Gamelan Gajah Perwata siang malam ditabuh, membawa suasana bertambah meriah. Berbagai ragam permainan ketangkasan dipetunjukkan silih berganti.

Demikianlah sekilas riwayat singkat, untuk pertama kalinya dilakukan upacara erau pada upacara tijak tanah dan mandi ke tepian yang dilakukan oleh penduduk Jaitan Layar kepada Aji Batara Agung Dewa Sakti yang kemudian akan menjadi cikal bakal keturtunan Raja-raja Kutai Kartanegara Ing Marta Dipura.


C.    UPACARA ERAU DALAM PENGEMBANGANNYA
Sebagaimana diceritakan diatas, erau pertama kali dilaksanakan yaitu pada upacara tijak tanah dan mandi ke tepian ketika Aji Batara Agung Dewa Sakti berusia 5 tahun, setelah dia dewasa dan diangkat oleh masyarakat Jaitan Layar sebagai Raja Kutai Kartanegara Ing Marta Dipura yang pertama (1300-1325), juga diadakan upacara erau. Sejak saat itulah selalu diadakan setiap terjadi penggantian atau penobatan Raja-raja Kutai Kartanegara.

Dalam perkembangannya, upacara adat erau selain upacara penobatan Raja/Sultan, juga dalam kesempatan tersebut, Raja/Sultan akan memberikan gelar kepada tokoh, pemuka masyarakat yang dianggap berjasa terhadap pemerintahan Kerajaan/Kesultanan.

Upacara Adat Erau, pelaksanaannya dilakukan oleh Kerabat Keraton/Istana dengan mengundang seluruh tokoh pemuka masyrakat yang mengabdi kepada kerajaan. Mereka datang dari berbagai pelosok wilayah kekuasaan kerajaan dengan membawa bekal bahan makanan, ternak, buah-buahan dan tidak ketinggalan pula para artis seniman dan seniwati.

Dalam upacara adat Erau, Raja/Sultan serta kerabat keratin lainnya, memberikan jamuan makan kepada rakyat dengan memberikan pelayanan sebaik-baiknya, sebagai tanda terima kasih Raja/Sultan atas pengabdian rakyatnya.

Setelah berakhirnya masa pemerintahan Kerajaan/Kesultanan Kutai Kartanegara, Kutai menjadi daerah otonomi, tradisi Erau tetap dipelihara dan ingin dilestarikan, sebagai warisan budaya bangsa yang disesuaikan dengan alam pikiran dan pembangunan berdasarkan norma-norma Pancasila.

Kini ERAU menjadi kegiatan rutin Pemerintah Kabupaten Kutai, sebagai pesta rakyat, festival budaya, dalam rangka memperingati Hari jadi Kota Tenggarong sebagai pusat Pemerintah di Kabupaten Kutai Kartanegara.


D.    TATA CARA ADAT ERAU
Tata cara adat ERAU adalah sebagai berikut:
a.      Menjamu Benua
b.      Mendirikan Ayu
c.      Bebelian
d.      Joget Dewa
e.      Beganjur
f.        Bepelas
g.      Seluang Mudik
h.      Merebahkan Ayu
i.         Mengulur Naga dan Belimbur
j.         Syukuran


E.     SUSUNAN UPACARA ADAT ERAU

1.  MENJAMU BENUA
Menjamu Benua adalah upacara sebagai pemberitahuan kepada Yang Maha Kuasa (dahulu kepada Dewa-dewa penguasa alam) bahwa Raja/Sultan akan melakukan pesta rakyat dengan memohon keselamatan.

Menjamu Benua, biasa dilakukan beberapa hari sebelum Erau dimulai, yaitu dengan melakukan upacara di tiga tempat yaitu:
a.   Di Kepala Benua (Kampong Mangkurawang)
b.   Di Tengah Benua (Kampong Panji)
c.   Di Buntut Benua (Kampong Timbalu)

Dahulu, kampong Mangkurawang merupakan batas kota Tenggarong sebelah ulu dan kampong Timbau batas kota sebelah ilir.
Upacara Menjamu Benua ini, dilakukan oleh para petugas Adat yang terdiri dari Tukang Belian, Dewa, serta Pangkon.
Para pelaksana melakukan upacara dengan Bebelian, dilengkapi dengan peralatan juhan, telasak, rumbai dan setelan pakaian orang yang akan dieraukan. Waktu pelaksanaannya dari pagi hingga sore.

2.  TEMPONG TAWAR
Upacara Tempong Tawar dilakukan pada hari pertama Erau, yaitu dimulai dengan acara mendirikan Ayu, sebagai tanda bahwa Erau telah dimulai. Saat itu, dilakukan pula acara tempong kepada Sesepuh atau Pejabat untuk mendapatkan keselamatan dalam memimpin pemerintahan dan rakyatnya.

Tata caranya yaitu dengan mendudukkan para Sesepuh atau Pejabat tersebut pada sebuah balai yang terbuat dari bamboo kuning berkaki atau bertiang sebanyak 31 atau 41 buah.

Upacara Tempong Tawar ini dipimpin oleh seorang Pawang atau yang biasa disebut Dewa. Selesai upacara Tempong Tawar kepada para Sesepuh dan Pejabat, kemudian dilakukan pula upacara Tempong Tawar benda-benda tua atau barang tuha peninggalan para leluhur sebagai pensucian terhadap benda-benda pusaka. Barang-barang tersebut semuanya masih berada di Museum Negeri Mulawarman, antara lain:
·     Tali Juwita
·      Kalung Uncul
·      Keris Buritkang
·      Gong Raden Galuh
·      Gamelan Gajah Perwata
·      Meriam Sapu Jagat
·      Meriam Sari Gunung
·      Gamelan Eyang Ayu, dll.

Kelengkapan Juhan dalam Menjamu Benua:
·      Tambakan nasi ketan 6 piring makan
·      Tambakan nasi ketan 6 piring kecil
·      Panggang ayam 1 ekor
·      Ayam hidup 1 ekor
·   Peduduk selengkapnya (berisi beras, kelapa, gula merah, sirih,  kapur/penginangan, benang lawai, buah pisang)
·      Jambak dan ringgitan
·      Telur ayam kampong 7 butir
·      Juntaian

3.  ADAT DAN KESENIAN KUTAI
Adat dan kesenian Kutai, dilakukan pada malam hari di Istana/Keraton Kutai, dihadiri oleh seluruh kerabat Sultan dan para tokoh pemuka masyarakat/pejabat.
Acara dimulai dengan: - Belian Bekenjong, dengan mengelilingi seriding.
-   Kemudian dilanjutkan dengan tari Belian dan Dewa Memuja Ayu. Maksud kedua tarian ini adalah untuk memberitahukan kepada para dewa agar turut serta turun ke bumi dalam suasana suka cita pesta Erau serta memberikan semangat kepada para hadirin.
-   Setelah itu dilakukan pula tari Dewa memanah sambil mengelilingi karang. Tari Dewa Memanah, terkandung maksud agar dunia/ala mini bersih dari segala macam gangguan, malapetaka, dan bahaya yang dapat menimbulkan kesengsaraan terhadap manusia.
-   Selain Tari Dewa Memanah juga dilakukan Tari Dewa Besaong Manok (adu ayam).
-    Pada bagian lain, merupakan acara lanjutan kesenian adat kutai ini, dilakukan Dewa menurunkan Sangiyang Sri Gamboh dan Pangeran Sri Ganjur. Pada saat itulah dimulainya Tarian Beganjur, yang dilakukan oleh para kerabat keratin serta undangan lainnya.
-   Menjelang berakhirnya acara Beganjur, maka para Dewa kembali memulangkan Sangiyang Sri Gamboh dan Pangeran Sri Ganjur yang dipimpin oleh salah seorang keluarga Sesepuh Adat Kutai.

Acara Adat dan Kesenian Kutai ini dilakukan setiap malam, dengan materi dan acara yang sama sampai pada hari yang keenam menjelang malam penutupan.

Pada hari ke-enam malam ke-tujuh penutupan, dilakukan acara selain yang disebut diatas, yaitu acara Besawai dimana para pangkon, membawa beras Sri Weja Kuning, yang kemudian diserahkan kepada salah seorang sesepuh Adat untuk “Bekanjar” sambil menaburkan beras Sri Weja Kuning kepada pengunjung yang hadir. Pada saat itulah mulai ramai para pengunjung dan hadirin saling berlempar-lemparan beras yang telah disediakan.

Setelah “Bekanjar” laki-bini selesai, maka dilakukanlah “Berpesiang teluk dan rantau” yang dilakukan oleh tukang Belian.

Acara tersebut dilanjutkan lagi dengan “Seluang Mudik” dimana lelaqki sama lelaki, berlemparan beras, sedang perempuan dengan perempuan. Suasana akan bertambah ramai menjelang pagi (subuh).

Lanjutan acara setelah Seluang Mudik, para Dewa dan Tukang Belian melakukan kegiatan “menjala” secara berkeliling di Keraton dan kemudian dilakukan pula acara “menjuluk buah bawar”.

Sebagai penutup acara Adat dan Kesenian Kutai pada malam/pagi hari itu, diakhiri dengan pembacaan doa.

Dengan demikian maka berakhirlah seluruh rangkaian Upacara Adat Erau. Besok harinya akan dilakukan Upacara “Ngulur Naga” yang diberangkatkan dari Tenggarong menuju Desa Kutai Lama.

Acara ini merupakan simbolis mengenang kembali peristiwa kehadiran Puteri Karang Melenu yang menjadi isteri Permaisuri Aji Batara Agung Dewa Sakti, yang selanjutnya menurunkan Raja-Raja atau Sultan Kutai Kartanegara. Acara Mengulur Naga akan menjadi puncak pesta kegembiraan rakyat, karena pada saat itu orang hadir mengikuti acara ini, akan melakukan siram-siraman air, yang maksudnya adalah untuk mensucikan diri

Mereka yang hadir dan terlibat di dalam lokasi belimbur  tersebut tidak boleh marah apabila badanya basah tersiram oleh orang lain.   


4.    UPACARA MENGULUR NAGA

·    Riwayat Singkat Naga Erau

Di dalam legenda rakyat Kutai diriwayatkan bahwa di kampong Melanti, Hulu Dusun berdiamlah sepasang suami isteri  yaitu Petinggi Hulu Dusun dan Isterinya bernama Babu Jaruma.

Usia mereka sudah cukup lanjut dan belum juga mempunyai keturunan. Mereka selalu memohon kepada Dewata agar di karuniai anak sebagai penerus keturunanya.

Suatu hari,keadaan alam menjadi sangat buruk.Hujan turun dengan sangat lebat selama tujuh hari tujuh malam. Tak seorang pun penduduk Hulu Dusun yang berani keluar rumah. Pada hari ketujuh, petinggi Hulu Dusun dan isterinya Babu Jaruma pergi ke dapur untuk memasak. Namun ternyata layu bakar  untuk memasak  sudah habis, sedang untuk keluar rumah tidak mungkin,karena takut  kalau di sambar petir. Akhirnya diputuskan untuk mengambil salah satu kasu atap rumahnya untuk di jadikan kayu api.

Ketika kayu kasau itu di belahnya, dia terkejut melihat di dalamnya ada seekor ulat kecil sedang melingkar dan memandang kepada Petinggi dengan matanya yang halus,seakan- akan minta di kasihani dan di pelihara. Pada saat ulat itu di ambil petinggi, keajaiban alam pun terjadi. Hujan yang tadinya lebat di sertai giuntur dan petir selama tujuh hari tujuh malam, Seketika itu menjadi reda dan hari menjadi terang benderang, matahari memancarkan cahayanya dengan panas dan segar. Ulat kecil tadi di pelihara Babu Jaruma dengan baik dan kemudian ulat itu setiap harinya selalu membesar dan akhirnya merupakan seekor naga.

Suatu malam Petinggi Hulu Dusun bermimpi bertemu seorang Puteri yang jelita. Puteri itu berucap: “Bapak dan Ibu tak usah takut dengan Ananda, Meskipun Ananda sudah besar dan menakutkan orang di desa ini. Iziinkan Ananda untuk pergi, dan  buatkanlah ananda sebuah tangga agar bisa meluncur ke bawah “.

Pagi harinya, maka di buatkanlah tangga oleh Petinggi  yang terbuat dari kayu lampong  dan anak tangganya dari bambu yang diikat  dengan akar lembiding.

Ketika Naga itu bergerak akan  turun, kemudian terdengar  pula suara Putri yang pernah didengar Petinggi di dalam mimpinya tadi malam. “Bilamana Ananda telah turun ke tanah, maka hendaknya Ayah dan Bunda mengikuti kemana saja Ananda merayap. Disamping itupula Ananda minta agar Ayahanda membakar wejan hitam serta taburi aku dengan beras kuning. Jika aku merayap sampai ke sungai dan menenggelamkan diriku kedalam air, maka Ananda harapkan agar Ayahanda dan Bunda mengiringi buihku.

Sang Naga pun merayap menuruni tangga itu sampai ke tanah dan selanjutnya menuju ke sungai dengan diirimgi oleh petinggi dan isrtinya. Setelah sampai di sungai , berenanglah sang Naga berturut-turut 7 kali ke hulu dan 7 kali ke hilir dan kemudian berenang ke Tepian batu.

Di Tepian batu, sang Naga berenang kekiri 3 kali dan kekanan 3 kali dan akhirnya dia menyelam. 

Ketika sang Naga itu menyelam, timbullah angin topan yang dahsyat, air bergelombang, hujan gumtur dan petir bersahut-sahutan. Perahu yang di tumpangi Petinggi dikayuh ke tepi.
Kemudian ketika cuaca menjadi tenang, matahari timbul hanya disertai hujan rintik-rintik sedikit.
Petinggi dan istrinya menjadi heran, kemanakah sang Naga tadi ?

Tiba-tiba saja air sungai mahakam penuh dengan buih,Pelangi menumpukan warna-warninya ke tempat buih yang menggelembung meninggi dari permukaan air.

Babu Jaruma melihat seperti ada kumala yang bercahaya berkilau-kilauan. Mereka pun mendekati gelembung buih yang bercahaya tadi, dan alangkah terperanjatnya meraka karena ditumpukan buih itu terdapat seoarang bayi perempuan yang terletak di atas sebuah Gong.

Gong itu kemudian meninggi dan tampaklah seekor Naga sedang menjunjung gong tersebut. Semakin gong dan naga meninggi maik ke atas permukaan air, terlihat pula seeokor lembu yang menjunjung naga itu. Lembu itu berpijak di atas sebuah batu.
Lembu itu adalah “Lembu Suwana.”

Perahu petinggi segera merapat di tepi batu, kemudian batu itu tenggelam beserta Lembu Suwana dan Naga, hingga akhirnya yang tertinggal hanyalah gong yang berisi bayi dan kayangan itu.
Gong dan bayi itu segera diambil oleh Babu Jaruma dan dibawanya pulang.
Bayi itu dipelihara Babu Jaruma dengan sukacita. Setelah genap tiga hari maka putuslah tali pusat bayi dan sesuai dengan mimpin yang ditujukan kepadanya agar bayi itu di beri nama “PUTERI KARANG MELENU.”

Kelak setelah dewasa kedua anak dewa ini akan bertemu, yaitu     AJI BATARA AGUNG DEWA SAKTI dari Jaitan Layar dan PUTERI KARANG MELENU dari Hulu Dusun yang kemudian menjalin perkawinan dan melahirkan putera yang bernama : AJI BATARA AGUNG PADUKA NIRA.        

Demikanlah sekilas tentang ceritera keberadaan binatang mitos Naga, sebagai symbol kesuciaan dalam upacara belimbur untuk mengenang kehadiran Puteri Karang Melenu yang meruapkan ibu Suri dari keturunan Raja-raja Kutai Kertanegara.


Upacara mengulur Naga dan Belimbur  
Naga dibuat dari kerangka bambu, dengan ukuran panjang 31,5 meter. Kepalanya terbuat dari kayu lempong(sesuai denagn riwayatnya), berikut ekornya juga terbuat dari kayu lempong.
Setelah kerangka dan kepalanya terpasang menjadi satu dengan ekornya, kemudian tubuhnya dibungkus dengan kain kuning dan diberi bersisik warna-warni.
Lekuk badan Naga tersebut ada 5 atau 7 lekukan, tergantung panjang naga yang akan dibuat.
Setelah itu, pada bagian bawah badan naga di pasang kayu sebagai kaki untuk mendirikan naga tersebut.

Naga yang dibuat dipersiapkan untuk di ulur di Kutai Lama sebanyak dua ekor, dengan ukuran besar dan panjang yang sama.
Kemudian kedua ekor Naga tersebut di letakan di sisi kanan dan kiri Keraton/Istana, sejak awal Erau di mulai.

Pada saat hari penguluran Naga, di persiapkan para Dewa, Pangkon, dan Dewa Belian untuk mengiring naga tersebut turun dari Keraton/Istana menuju dermaga dan kemudian diletakan diatas kapal yang sudah dipersiapkan.

Setelah Naga berada diatas kapal, sebelum diberangkatkan ke Kutai Lama, terlebih dahulu diadakan Upacara “Beluluh” kepada para sesepuh /Pejabat yang di-Eraukan.
Mereka didudukan diatas Balai Tambak Karang kemudian di sawai di tempong tawari oleh Dewa atau Petugas Adat.

Seorang Pengkon atau Dewa yang membawa air tuli kemudian menyerahkan tempat air tersebut kepada sesepuh atau pejabat yang dieraukan untuk memercikan air tuli tersebut kepada yang hadir pada saat itu, sebagai tanda di mulainya “Belimbur”.

Dimulailah pelaksanaan belimbur dengan bersiram-siraman air, sementara itu Gamelan dibunyikan dan kapal motor yang membawa Naga diberangkatkan. Disepanjang jalan sungai gamelan terus-menerus di sembunyika, hingga sampai di Desa Kutai Lama.

Sesampainya di Kutai Lama tersebut dibawa secara bolak-balik sebanyak 7 kali ke hulu dan 7 kali ke hilir, sebagaimana diriwayatkan dalam legenda Kutai, ketika Naga petinggi Hulu Dusun minta diantar di sungai Mahakam.

Setelah dibawa berputar ke kiri dan ke kanan dari tepian batu, juga sebagaimana di riwayatkan dalam legenda Kutai dan kemudian secara perlahan-lahan Naga tersebut di turunkan ke sungai Mahakam.

Pada saat itu, masyarakat yang hadir di sekitar upacara biasanya mereka mendatangi naga tersebut dan berebut-rebutan untuk mengambil kain pembalut bungus Naga. Sementara itu, seorang petugas/pangkon di tugaskan untuk memotong kepala dan ekornya yang terbuat dari kayu lempong tersebut.

Kepala dan ekor Naga tersebut di bawa kembali ke Keraton/Istana untuk di simpan dan akan di pergunakan kembali pada erau yang akan datang.

Apabila waktu sudah menunjukan pukul 18.00, maka semua kegitan belimbur, bersiram-siraman air sudah di hentikan dan berakhir. Maka berakhirlah seluruh kegiatan Erau, dimana sebagai puncak kemeriahannya tadi adalah Belimbur.

Bagi Remaja muda/mudi kesempatan belimbur tersebut di manfaatkan untuk saling berkenalan dan mencari pasangan yang kelak mungkin akan berujung pada perjodohan.



·    Makna Belimbur
Belimbur untuk membersihkan diri dari segala kotoran, kejahatan, niat-niat jahat yang sering menguasai diri seseorang, serta memberikan kekuatan untuk menangkis segala bahaya dan malapetaka yang sewaktu-waktu datang menyerang dan melekat dfi diri manusia.


Ketentuan Belimbur yang harus ditaati
Keharusan  :
1.    Menggunakan air yang bersih.
2.    Menyiramkan air dengan sopan.
3.   Bagi wanita diharuskan memakai pakaian yang tidak tembus pandang apabila basah.
4.    Terbatas pada lokasi yang telah ditentukan.
5.    Tidak boleh marah, apabila terkena/tersiram air.


Larangan  :
1.    Membawa senjata tajam selain petugas keamanan.
2.    Menggunakan air kotor atau benda-benda keras.
3.    Memakai barang perhiasan yang berharga.
4.    Membawa bayi
5.    Mengendarai kendaraan di dalam lokasi belimbur.

  
F.  BENTUK PELAKSANAAN ERAU SAAT SEKARANG
Seperti telah diuraikan terdahulu Erau di lakukan untuk upacara Keraton , merupakan tradisi warisan zaman Kerajaan/Kesultanan Kutai Kertanegara sejak kelahiran Aji Batara Agung Dewa Sakti dan Puteri Karang Melenu, sampai masa kemerdekaan.
Pada tahun 1971 Erau yang pertama pada masa pemerintahan Bupati Drs.H.Ahmad Dahlan, tujuannya untuk pelestarian seni budaya.
Erau kini sudah di anggap sebagai awal untuk di jadikan komoditi ekonomi yang bisa di harapakan untuk mendapatkan devisa lewat kunjungan wisatawan Mancanegara (Wisman) dan Wisatawan Nusantara (Wisnu).
Untuk bisa menjaring lebih banyak kunjungan wisatawan, maka Erau itu sendiri perlu adanya penyempurnaan-penyempurnaan acara-acara yang di anggap bisa mempunyai daya pikat dan daya tarik pengunjung yang ingim menyaksikan pelaksanaannya.

G.  POLA ERAU SEBAGAI PESTA BUDAYA
Kebijakan Pemeritah Daerah menjadikan Erau sebagai pesta budaya yaitu dengan menetapkan waktu pelaksanaannya secara tetap pada bulan September yaitu di kaitkan dengan di peringatinya Hari jadi Kota Tenggarong.
Pola Erau, tidak lagi dikaitkan semata untukn upacara adat Kutai Keraton Kertanegara, tetepi lebih divariasi dengan berbagai penampilan ragam seni dan budaya yang ada, serta hidup dan berkembang di seluruh wilayah kecamatan dalam wilayah Kabupaten Kutai.
Oleh karena itu, dalam Erau sebagai Pesta Budaya terdapat dua hal yang penting dalam pelaksanaan kegiatannya, yaitu:
1.   Kegitan Pokok
2.   Kegiatan Penunjang

Kegiatan Pokok, yaitu pelaksanaan upacara-upacara adat erau Kutai Kertanegara yang telah di sesuaikn dengan alam fikiran dan pembangunan pada saat sekarang dan di sesuaikan dengan norma-norma Pancasila.

Kegiatan Penunjang, yaitu Kegiatan yang sama sekali tidak ada kaitannya atau hubungannya dengan Upacara Adat Erau Keraton Kutai Kertanegara.
Kegiatan Penunjang tersebut , Semata-mata sebagai tambahan dalam rangka pelestarian nilai-nilai seni dan budaya daerah, agar bisa terus hidup dan berkembang ditengah-tengah perkembangan zaman.


Yang Termasuk Kegiatan Pokok Erau
a.   Menjamu Benua
b.   Menidurkan Ayu
c.   Kesenian dan Adat Kutai
d.   Menyisiki Lembu Suwana, Tambak Karang
e.   Beluluh
f.    Bekanjar dan beganjur
g.    Seluang Mudik
h.    Berlian, Bekenjong
i.     Dewa Memanah, Besaong Manok, Menjala
j.     Bepelas, Tempong tawar
k.     Merebahkan Ayu, beburay, dan Syukuran
l.      Mengulur Naga dan Berlimbur
m.    Ziarah ke makam Aji Imbut
n.     Ziarah ke Kutai Lama

tuani sianipar