Persidangan Sinode Tahunan (PST) GPIB 2024

Persidangan Sinode Tahunan (PST) GPIB 2024 akan dilaksanakan di Musyawarah Pelayanan Kalimantan Timur II sebagai tuan rumah

Asal usul PESUT


KISAH ASAL-USUL
TERJADINYA PESUT
                                     

            Konon khabarnya dahulu kala disalah satu rantauan sungai Mahakam, terdapat sebuah dusun yang didiami oleh beberapa pasang keluarga tani. Kehidupan mereka, disamping berladang, juga membuat kebun dan ada pula yang berusaha  sebagai nelayan. Setiap tahun sehabis musim panen, ramailah penduduk dusun itu mengadakan pesta upacara adat memelas tahun, yang diisi dengan berbagai pertunjukan keahlian dan kesenian yang mereka miliki. Pihak lelaki mengadu kepandaian dengan cara mereka sendiri, seperti main pencak silat, adu bintih, adu besut, adu gasing dan logo. Pihak perempuan pun tidak mau ketinggalan. Disamping turut menari secara adat, ada pula yang turut dalam pertandingan-pertandingan yang sifatnya ringan. Sudah barang tentu dalam hal ini yang merupakan acara pokok adalah memelas tahun, yang dilaksanakan oleh seorang dukun beserta orang-orang tua berpengalaman. Biasanya upacara iini berlangsung sampai berbulan-bulan lamanya. Disaat inilah kesempatan bagi para muda mudi untuk saling mengenal dan memilih jodoh. Tidaklah mengherankan bila upacara adat ini selesai, disana sini menyusul pula upacara-upacara perkawinan serba sederhana.

            Ditengah masyarakat yang tinggal didusun itu, terdapatlah suatu keluarga terdiri dari suami isteri bersama anaknya dua orang, lelaki dan perempuan. Mereka hidup rukun dan damai dalam sebuah pondok. Dikiri kanannya ditanami bermacam-macam tanaman seperti ubi jalar, ubi kayu, lombok, pepaya dan pisang, sehingga untuk keperluan sehari-hari tidaklah terlalu susah mendapatkannya. Nampaknya mereka ini hidup lebih sempurna daripada tetangga atau anggota masyarakat lainnya didusun itu. Segala kesulitan ditanggulangi dan diatasi mereka sekeluarga dengan cara yang bijaksana mungkin. Begitulah mereka beberapa tahun dapat hidup rukun dan damai, sehingga tetangga sekitarnya ada juga yang iri hati melihatnya.

            Pada suatu saat terjadi peristiwa yang sangat menyedihkan bagi keluarga ini. Entah disebabkan oleh apa, sang istri jatuh sakit. Walaupun telah diusahakan pengobatan secara tawar menawar dari para dukun, namun penyakitnya tidak juga berkurang. Usaha yang terakhir yang harus dilakukan adalah pengobatan dengan cara besar-besaran, yakni belian, yang dilakukan oleh seorang dukun. Dilaksanakanlah pengobatan itu selama tiga malam berturut-turut. Untuk itu keluarga yang lainnya tidak boleh keluar, demikian pula para tamu tidak diperkenankan masuk rumah selama tiga hari, menandakan bahwa pengobatan dilakukan secara besar-besaran, pengobatan menurut adat yang disebut belian, karena keadaan penyakit yang parah sekali.

            Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih, istrinya bukan menjadi sembuh, malah penyakitnya bertambah parah. Seminggu kemudian meninggallah istri yang sangat dikasihi itu, padahal ia semasa hidupnya sangatlah bijaksana dalam mengatur rumah tangga serta dalam mendidik kedua orang anaknya, yang pada waktu itu telah berumur masing-masing lelaki 12 tahun dan perempuan 8 tahun. Demikianlah keadaannya hingga sanga suami hampir lupa apa kewajiban yang harus dilaksanakan saat itu. Terlebih-lebih bila ia melihat kedua anaknya yang tak henti-hentinya menangisi sang ibu, yang telah sampai hati meninggalkan serta memutuskan kasih sayang terhadap mereka berdua.

            Mendengar keadaan demikian itu, berdatanganlah para tetangga untuk mengetahui apa gerangan yang telah terjadi. Setelah masuk rumah barulah mereka mengetahui,  bahwa ibu dari kedua anak itu telah meninggal dunia. Akhirnya oleh para warga dusun, diatur dan dirawatlah jenazah itu, untuk selanjutnya dimakamkan secara adat. Selama hampir sehari penuh, selesailah upacara pemakaman itu dan para warga dusun pun kembalilah kerumahnya masing-masing. Tinggallah sang ayah bersama kedua anaknya di pondok itu dengan perasaan sedih, berbeda sekali dengan keadaan sebelum peristiwa kematian itu.

            Akhirnya sang ayah menjadi pemurung dan pendiam, sedangkan kedua anaknya selalu diliputi oleh rasa bingung, tak tahu apa yang harus mereka lakukan sepeninggal sang ibu. Keadaan rumah tangga tak terurus lagi, sejadi-jadinya. Terkadang makan hanya sekali sehari, terlebih-lebih pekerjaan di ladang dan dikebun sudah tidak terpikirkan lagi. Ungtunglah sekali-sekali para tetangga terutama tetua-tetua dusun datang memberikan nasehat seperlunya kepada sang ayah yang kelihatannya hampir putus asa. Namun nampaknya cara ini tidak dapat mengobati dan menghilangkan perasaan duka cita yang telah menimpa keluarga itu. Keadaan ini jadi berlarut-larut sampai berbulan-bulan sampai bertahun-tahun lamanya.

            Suatu ketika di dusun itu diadakan keramaian dengan berbagai pertunjukan dan hiburan, yang sengaja diundang dari dusun lain, untuk selama dua minggu sebagai petanda, bahwa dalam tahun ini usaha perladangan dan perkebunan mereka mendapat hasil yang berlebih-lebihan.

            Diantara rombongan kesenian yang diundang itu, terdapatlah seorang pemain gadis yang mempesona. Agaknya dia mempunyai kelebihan dan keistimewaan dari pada teman-teman gadis lainnya. Terbukti apabila tiba saatnya pertunjukan dimana si gadis bergaya dihadapan para pengunjung, maka ramailah sorak sorai anak muda yang menyaksikan permainan itu. Para orang tuapun terpukau dibuatnya. Tidak sedikit diantara pengunjung mencoba menggodanya atau mengadu nasib kalau-kalau beruntung dapat mempersunting gadisa itu.

            Mendengar berita yang demikian itu, tergugah jua hati sang ayah hendak turut menyaksikan, bagaimana kehebatan pertunjukan yang telah dibangga-banggakan oleh para warga dusun, hingga banyak pemuda yang tergila-gila dibuatnya.

            Malam itu adalah malam ketujuh dari acara keramaian yang dilangsungkan. Nampak samar-samar dari jauh sang ayah berjalan mendekati tempat pertunjukan dimana gadis itu akan bermain. Sengaja dipilhnya tempat yang lebih dekat, agar dapat menyaksikan sejelas-jelasnya bagaimana kehebatan permaianan serta rupa sang gadis itu.

            Saat yang dinanti-nantikan itupun tibalah. Masing-masing penonton berusaha memilih tempat yang lebih tepat agar dapat menyaksikan lebih jelas. Berbeda dengan penonton lainnya sang ayah tidak banyak turut tertaw3a geli atau memuji-muji gadis yang beraksi iru meskipun sekali-sekali ada jua ia tersenyum kecil. Kadang kala karena kelincahan dan kecelian mata gadis itu membuang senyum kesana kemari kepada para penonton, bertemu jua pandangan si gadis dengan sang ayah. Kejadian ini berulang beberapa kali. Tidaklah diperkirakan sama sekali, kiranya terjalin rasa cinta antara si gadis dengan sang ayah, yakni ayah dari dua orang anak yang telah ditinggalkan ibu kandungnya beberapa waktu yang lalu. Demikianlah keadaannya, hingga dengan persetujuan kedua belah pihak serta direstui oleh warga dusun, berlangsunglah perkawinan dan jadilah mereka suami istri. Rupanya telah menjadi suratan, dengan berakhirnya upacara adat itu, berakhir pulalah kemurungan serta kemuraman kehidupan keluarga yang ditimpa duka nestapa itu. Mulailah mereka menyusun kehidupan baru.

            Penari yang telah menjadi ibu tiri dari dua orang anak itu sangat mengharapkan agar tidak seorangpun berniat mencari-cari asal-usul dan keturunannya. Ketua rombongan yang membawanyapun pernah menerangkan, bahwa penari itu dijumpai dan diterima menjadi anggota rombongan ketika sedang berada ditengah rantauan yang sunyi, tatkala rombongan melihat ia melambaikan tangannya. Pada waktu itu diperkirakan ia sedang mendapat bahaya, namun setelah didekati ternyata ia memohon agar diterima dan  diturut-sertakan dalam rombongan serta bersedia disuruh mengerjakan apa saja. Mendengar permohonannya itu ketua rombongan pun merasa iba hatinya, lalu menerimanya untuk turut bersama yang lain mengadakan pertunjukan. Siapa nyana bila si gadis penari itu, kini telah menjadi istri seorang lelaki yang telah mempunyai dua orang anak. Dan kini ia telah menjadi seorang ibu tiri.

            Demikianlah mereka pun mulai mengerjakan segala pekerjaan yang dahulunya tidak mereka usahakan lagi. Sang ayah setiap pagi setelah serapan, pergi ke hutan membuat perladangan baru. Kedua orang anaknya turut pula bekerja, membantu mana yang dapat mereka kerjakan. Sang ibu tinggal di rumah menyiapkan makanan bagi si suami dan kedua anak tirinya sepulangnya dari bekerja di hutan. Begitulah seterusnya sampai berbulan-bulan lamanya, hingga kehidupan mereka menjadi cerah kembali.

            Dalam keadaan yang demikian tidaklah diduga samasekali, bila sang ibu lama kelamaan mempunyai sifat yang kurang baik terhadap kedua anak tirinya. Mereka baru diberi makan setelah ada sisa makanan dari ayahnya. Sang ayah maklum akan hal ini. Namun apa daya, sedih dihati baru mulai sembuh, karena itu perlu dipupuk dengan mencurahkan kasih sayang kepada istri yang baru.

            Lama kelamaan timbullah sifat serakah sang ibu, sedangkan sang ayah tidak dapat menguasai keadaan ini. Seluruh rumah tangga diatur dan berada ditangan istrinya yang muda lagi serakah itu. Kedua orang anaknya senantiasa disuruh bekerja setiap hari tanpa mengenal lelah bahkan kadang-kadang tidak wajar dikerjakan oleh mereka.

            Suatu Ketika, kedua anaknya disuruh mencari kayu api sebanyak-banyaknya dan harus yang kering. Untuk memenuhi itu terpaksa kedua anak tersebut berhari-hari. Setibanya dirumah, bukanlah makanan yang didapat, melainkan hanya amarah dari sang ibu tiri, karena dituduh terlalu lama mencari kayu. Kedua anak itu terdiam tak dapat bersuara memikirkan bagaimana kesudahannya nasib mereka. Anak yang paling tua sudah berpikir nekad hendak menjawab dan lalu kemudian lari dari rumah itu, namun anak yang muda, perempuan mempunyai jiwa dan perasaan lebih halus, segera memberi saran-saran antara lain katanya: “Kak kita harus indat! Kita bukanlah diperintah oleh ibu tiri, tapi diperintah oleh ayah kita sendiri. Kemana lagi kita harus berpegang, ibu sudah tiada, satu-satunya tinggal ayah yang dapat kita harapkan untuk membimbing kita”.

            Kakaknya menyahut agak penasaran: “Tapi dik, ayah kelihatannya sudah terpengaruh ibu tiri kita yang serakah. Segala barang peninggalan ibu habis diwarisinya”.

            “Biarlah kak semua itu, apabila kita masih hidup dan sehat-sehat saja dapat bekerja dan berusaha, kitapun akhirnya dapat memiliki barang-barang seperti itu”, bujuk sanga adik kepada kakaknya.

            Dilain pihak, ibu tiri mereka rupanya sudah menyusun suatu rencana yang cukup matang . Pada suatu hari sang ibu menyuruh kedua orang anak tirinya itu mencari kayu api lagi : “ kalian berdua hari ini harus pergi mencari kayu api lagi , jumlahnya tiga kali lebih banyak dari kayu yang sudah kalian dapat  kemarin .  Dan ………. Ingatlah ! kalau tidak cukup banyak kayu seperti yang ku minta , biar beberapa hari , janganlah kalian pulang dulu.  Apa bila kalian pulang dengan kayu yang tidak cukup , kalian akan menerima pukulan . Berangkatlah pagi ini juga .”

            Mendengar perintah ini , anak lelaki segera menjawab : “ untuk apa kayu sebanyak itu ? kayu yang ini saja masih banyak . Nanti setelah hampir habis barulah kami carikan lagi!”

            Mendengar jawaban anak tirinya  yang tertua demikian itu, ibunya segera berkata : “Apa ? kalian membantah ? Nanti kuberitahukan kepada ayahmu bahwa kalian pemalas ! Ayo, kalian harus berangkat hari ini  juga ! Bisa kembali , tetapi harus membawa kayu sebanyak yang kuperlukan!”

            Anak tirinya yang perempuan sadar akan hal ini , lalu ia menarik kakaknya untuk pergi . Ia tahu ,bahwa ayahnya sudah di pengaruhi oleh ibu tirinya itu. Sia-sia saja bertahan membela diri , karena tetap akan dipersalahkan jua.

            Demikianlah setelah menyiapkan alat-lat untuk mencari kayu , berangkatlah mereka menuju hutan. Hingga lewat tengah hari banyaklah kayu yang telah terkumpul bertumpuk-tumpuk disana sini , namunlah belum cukup memenuhi permintaan sang ibu tiri .Ketika itu mereka sudah merasa lapar , karena mereka berdua tidak sarapan sedikit juapun dan tidak dibekali makanan seperti biasanya. Guna menghilangkan rasa  lapar terpaksa mereka memasuki semak belukar , mencari buah-buahan pap saja yang dapat di makan. Untunglah mereka menemui pohon jambu biji yang berbuah lebat sekali dan segera meraka makan dengan lahapnya.

            Setelah terasa agak kenyang mereka pun mulai mengumpulkan kayu api lagi untuk menambah yang sudah ada. Sampai senja barulah mereka berhenti, namun untuk pulang mereka tidak berani, karena kayu –kayu itu belumlah mencukupi . Terpaksalah mereka bemalam di tengah belukar dalam sebuah tempat bekas pondok huma seseorang. Mereka berdua hampir tak dapat tidur , karena  diganggu perasaan sedih bercampur takut . Yang lebih hebat lagi adalah gangguan dari perut yang sampai saat itu belum diisi dengan nasi, sedangkan besok harus bekerja lebih giat lagi untuk mengumpulkan dan mengansur kayu-kayu itu sampai ke rumah. Larut malam barulah mereka dapat tidur , kemudian hanyut di bawa oleh mimpi tak menentu.

             Esoknya pagi-pagi benar, mereka mulai mengumpulkan kayu. Menjelang tengah hari rasa lapar pun  tak tertahan lagi. Hingga akhirnya mereka tergeletak di tanah beberapa saat. Diluar dugaan sementara hendak duduk, berdirilah di sisi mereka seorang kakek seraya bertanya : “ Mengapa kalian sampai berada di sini ? Apa kerja kalian di tengah hutan yang jauh dari manusia ini ?”

            Adiknya yang perempuan segera menceritakan mengapa mereka sampai berada di situ. Diceritakan pula tentang tingkah laku ibu tiri mereka serta tugas berat yang harus mereka laksanakan. Ditambahkan , bahwa mereka sejak kemarin belum makan nasi , hingga rasanya sudah tidak sanggup lagi melanjutkan pekerjaan.

            Mendegar tuturan itu sang kakek merasa iba hatinya lalu berkata : “Kalian memerlukan pertolongan  dan akan kutolong supaya kalian dapat melanjutkan tugas hingga selesai. Cobalah kalian pergi berjalan kesana tidak jauh dari sini. Disana akan kalian jumpai beberapa pohon yang sedang berbuah. Petik dan makanlah buah-buah itu sepuas-puasnya hingga kenyang.Hanya harus diingat,janganlah dicari lagi pada esok harinya karena pekerjaan itu akan sia-sia saja. Pergilah ke tempat itu saat ini juga”.

            Sambil mengucapkan terima kasih,segeralah kakak beradik itu berjalan menuju tempat termaksud. Setelah tiba, ternyata apa yang diucapkan kakek tadi adalah benar Diaitu diketemukan bermacam-macam pohon buah-buahan. Buahnya sangat lebat, Pisang dan Pepaya masak berjatuhan demikian pula buah-buah yang lainnya. Karena lapar, merekapun segera memetik buah-buah itu lalu dimakan sepuas-puasnya ditempat itu juga sesuai pesan sang kakek. Dengan memakan buah-buah itu perut mereka terasa kenyang sedangkan badan teras segar kembali hingga mampu melanjutkan pekerjaan.

            Menjelang sore hari, kayu pun telah selesai diangsur kerumah, kemudian langsung disusun sesuai permintaan sang ibu tiri, tanpa memperhatikan keadaan rumah mereka. Sampai senja barulah mereka selesai menyusun kayu-kayu itu. Mereka ingin naik kerumah hendak melapor kepada ibu tiri mereka, tetapi alangkah terkejut mereka setelah menyaksikan keadaan didalam rumah itu sudah kosomg sama sekali.
            Ternyata ayahnya sudah pergi bersama ibu tirinya meninggalkan rumah itu. Segala isi rumah habis dibawa serta, merupakan tanda mereka tidak akan kembali lagi. Kedua saudara itupun kebingungan, tak tahu apa yang harus dilakukan, lalu menangis sejadi-jadinya mengenangkan nsib diri. Mereka terkenang pada ibu tercinta telah tiada,  kemudian teringat pula ibu tiri yang sedemikian kejam. Akhirnya teringat pada ayah tanpa tahu kemana arah tujuannya.

            Ini sudah tentu adalah kekejaman sang ibu tiri yang amat serakah itu. Bersama suaminya ia berpindah ke lain tempat secara sembunyi-sembunyi supaya tidak diketahui dan tidak dapat disusul oleh kedua anaknya.

            Mendengar tangis kedua saudara itu,berdatanglah tetangga sekitarnya ingin mengetahui apa gerangan yang terjadi, Mereka terkejut setelah mengetahui bahwa ayah dan ibu tiri anak itu telah pindah secara diam-diam. Meskipun tangis belum reda dan sedih masih terasa, namun pada malamnya makan hasil pemberian tetangga, kedua anak itu tertidurlah.

            Esok harinya kedua anak itu berusaha hendak menyusul orang tuanya. Rencana itu mereka ceritakan kepada ketetangga terdekat. Bagaimanapun juga mereka harus mengetahui keadaan ayah mereka, apakah masih hidup ataukah sudah mati akibat kekejaman ibu tirinya. Sekedar untuk sangu dan bekal makanan dalam perjalanan, warga dusun sepakat untuk menukari kayu hasil carian mereka dengan bahan makanan yang dapat mereka bawa. Sudah dua hari dalam perjalanan dan perbekalan sudah habis, namun orang tua mereka belum dijumpai.

            Pada hari ketiga setelah seharian penuh tidak makan, sampailah mereka disuatu daerah ketinggian dan dari situ terlihatlah asap api mengepul dikejauhan. Segeralah mereka menuju ketempat itu, setidak-tidaknya agar dapat bertanya kepada penghuninya barangkali mengetahui atu melihat orang tuanya. Setibanya di tempat itu , mereka segera memberi hormat kepada penghuni seorang kakek yang sedang duduk acuh tak acuh. Kakek itu tenang-tenang saja mndapat penghormatan , lama baru ia membalasnya.

            Sambil terkekeh dan batuk-batuk kecil si kakek bertanya : “Kalian dari mana ? Apa maksud kalian datang ketempat saya jauh terpencil ini ?”

            Segeralah keua anak itu menjelaskan sebab-sebab mereka sampai ke tempat itu, sedang si kakek mengangguk-angguk seolah-olah sudah maklum keadaan anak itu.  Kemudian orang tua itu berkata : “Beberapa hari yang lalu memang ada lewat disini seorang lelaki dengan seorang  perempuan . Kelihatanya  sangat banyak membawa barang-barang. Mereka meminjam perahuku untuk menyebrangi sungai. Menurut pengakuannya, mereka hendak tinggal menetap disebrang sana dengan membuat pondok dan perkebunan baru. Mungkin mereka itulah yang kalian cari”.

            Si kakek tak sabar lagi lalu bertanya : “ Kalau demikian kisahnya memang tidak salah lagi, itu adalah orang tua yang kami cari-cari sampai kini. Bisakah kakek membantu kami mengantarkan ke sebrang ?”

             Kakek itu tersenyum seraya berkata: “ Kakek ini sudah tua benar,tak kuat lagi mendayung.Kalau kalian ingin jua menyusul, pakailah perahu kakek yang ada di sungai itu .”

            Kakak-beradik itupun memberanikan diri untuk membawa perahu itu . Setelah mengucapkan terima kasih mereka pun pergi hendak menyebrangi sungai.

            Di tengah sungai  yang deras arusnya, beberapa kali perahu mereka terputar-putar, karena tak tahu bagaimana harus mengemudikannya. Setelah larut beberapa rantauan akhirnya sampai jualah mereka ke sebrang. Perahu segera ditambatkan di dalam sebuah anak sungai. Kemudian mulai lah mereka mencari  sambil mengingat petunjuk yang telah di berikan oleh kakek tadi. Kira-kira  dua hari lamanya berjalan dengan perut kosong , barulah mereka menemui ujung dari sebuah dusun yang penduduknya amat jarang sekali .

            Di tempat yang agak terpencil pasda bagian ujung dusun itu terlihatlah sebuah pondok yang baru di bangun. Perlahan-lahan mereka mendekati pondok itu sambil memperhatikan keadaan kalau-kalau terlihat tanda yang yang menunjukan bahwa pondok itu adalah tempat orang tua mereka. Dengan perasaan cemas dan ragu si kakak mulai menaiki tangga pondok sambil memanggil-manggil kalau-kalau ada penghuninya.  Mereka sudah memutuskan seandainya pomdok itu bukan kepunyaan orang tuanya, mereka akan memohon bermalam di situ di samping minta dikasihi kiranya dapat diberi sia-sia makanan untuk pengisi perut mereka.

            Sementara si kakak menaiki tangga, maka adiknya memperhatikan keadaan di sekitar pondok itu di antaranya pakaian yang sedang berjemur.

            Iapun teringat pada baju ayahnya yang pernah di jahitnya karena robek terkait diri. Untuk mendapatkan kepastiaan di dekatinya lah jemuran baju itu dan akhirnya ia pun yakin , bahwa itu memang baju ayahnya yang dulu juga. Segeralah hal itu di beritaukan kepada kakaknya yang sedang kebingungan karena tidak mendapat jawaban dari penghuni pondok.  Mendengar suara adiknya itu tanpa berpikir panjang lagi ia segera menyerbu pintu langsung masuk ke dalam. Kemudian disusul oleh adiknya sambil membawa baju jemuran tadi. Mereka menjadi lebih yakin seelah menyaksikan alat-alat kerja , perkakas tidur serta alat-alat lainnya yang terdapat didalam pondok itu. Karena didorong oleh rasa lapar yang tak terhingga  di kakakpun memberanikan diri mencari sisa-sisa makanan di pondok itu .

            Rupanya orang tua mereka terburu-buru pergi, sehingga yang tinggal di pondok itu hanyalah sebuah periuk tembaga kecil ( periuk lepo ) diatas pedapuran , sedang apinya terus menyala. Airnya kelihatan sengaja di perbanyak dari ukuran biasa, guna dapat di tinggalkan pergi. Namun isinya tidak lagi berbentuk nasi biasa tetapi sudah menjadi bubur . Tanpa pikir panajng lagi ia segera melahap nsi bubur yang panas sepuas-puasnya .Adiknya didalam agak curiga kepada si kakak lalun segera menyusul ke ruang dapur. Melihat itu rasa laparpun tak tertahankan lagi maka tanpa komentar ia mendekat. Melihat isi periuk hampir habis dan takut kalau-kalau tidak kebagian , nasi bubur itupun di sambarnya lalu dengan periuknya sekaligus , disaksikan kakaknya sambil ternganga keheranan-heranan tak dapat marah. Apa hendak dikata kini, karena bubur yang panas itu menyebabkan panas seluruh badan mereka naik tak terhingga. Dalam keadaan tak karuan demikian , keduanya egera lari kesana-kemari hendak mencari sungai. Setiap pohon pisang yang mereka temui dikiri kanan jalan menuju sungai, berganti-ganti di peluk mereka. Pohon-pohon pisang itu pun menjadi layu . Ketika mereka dapat menemukan sungai , maka mereka pun terjun ke dalamnya . Hampir bersamaan dengan itu, penghuni pondok yang ternyata memang benar orang tua mereka sendiri , datang dan terkejut melihat pohon – pohon pisang didepan pondok menjadi hangus dan layu .

            Sebenarnya orang tua mereka itu baru pulang dari tempat tetangga yang saat itu mendapat kecelakaan, sehingga kepergiannya sangat tergesah-gesah. Sang istri lupa pada periuk tembaga yang masih di atas pedapuran berisi nai bubur permintaan suaminya. Orang tua mereka karena itu,  terperanjat tatkala naik ke pondok di mana terdapat bungkusan dan dua buah mandau, yang setelah diteliti ternyata adalah milik kedua anaknya sendiri . Sang istri terus memeriksa keadaan pondok hingga pedapuran . Di lihatnya periuk lepo yang di tinggalkan  diatas api sudah hilang, lalu di beritahukan kepada suaminya. Karena itu mereka segera turun dari pondok terus mengikuti jalan menuju sungai. Tanaman pisang dikiri kanan jalan pun pada hangus dan layu.

            Setelah sampai di tepi sungai terlihatlah oleh mereka dua benda bergerak kesana kemari sambil menyemburkan air dan di atas penahan batang tertinggal kumpulan rambut manusia. Pikiran sang suami teringat pada rentetan kejadian yang mungkin sekali ada hubungannya dengan keluarga. Ia lebih terperanjat karena tiba-tiba istrinya sudah tidak berada di sisinya lagi. Rupanya menghilang secara menggaib.

            Kini sadarlah sang suami bahwa istrinya bukanlah ketururan manusia biasa. Semenjak perkawinan mereka dahulu,memang istrinya tidak mau diketahui asal usul keturunannya.

            Tak lama berselang orang-orang pun berdatangan hendak menyaksikan benda hidup yang bergerak kian kemari ditengah sungai sambil sekali-sekali muncul menyemburkan air keatas. Semenjak itulah masyarakat yang berada disekitar tempat itu memperkirakan, Bahwa air semburan itu panas, Sehingga ikan yang terkena akan mati dibuatnya.Demikianlah akhirnya benda yang menyembur-nyemburkan itu disebut dewasa ini oleh banyak orang ikan pasut dan ikan pesut oleh suku kutai atau ikan bawoi oleh suku pedalaman Mahakam.

            Ikan ini menpunyai pernapasan melalui paru-paru, mengembangkan keturunan dengan cara beranak (melahirkan) mempunyai mulut lengkap dengan gigi , lidah , lobang hidung , lobang telinga dan mata , kemudian mempunyai alat kelamin seperti manusia , baik yang jantan maupun yang betina.Sebagai kaki adalah sirip ekor yang bentuknya sedemikian rupa, sedang sebagai pengganti tangan adalah sirip dadanya.

            Adapun manfaat yang dapat diambil oleh penduduk dewasa ini khususnya para nelayan ialah antara lain :
1.  Dibeberapa daerah pedalaman Mahakam,daging ikan pasut ini dapat dimanfaatkan untuk dijadikan umpan dari sejenis alat penangkap ikan, yaitu alat sodok. Biasanya ikan yang didapat dengan menggunakan daging ini akan lebih banyak dari pada menggunakan bahan lainnya;
2. Sebagai petunjuk, Bahwa apabila disuatu perairan banyak terdapat ikan pasur, menandakan disitu banyak ikannya. Perairan itu sendiri pasti agak dalam, Sehingga ikan yang berada disitu menjadi liar dan sulit ditangkap.
Justru itu para nelayan dapat dicegah mengalihkan arah perahunya berusaha kelain tempat;
3. Sebagai petunjuk apabila ikan pesut di sungai mahakam mudik sambil sekali-kali menyemburkan air keatas, itu menandakan air akan naik pasang dan menjadi dalam
4.  Ada pula yang memanfaatkan hati ikan pasut sebagai obat penyakit kusta.

            Disamping manfaat seperti tersebut diatas , maka berdasarkan kepercayaan terdapat pula akibat-akibat antara lian :
1. Bila terkena semburan ikan pesut dapat menyebabkan penyakit kulit terkelupas, Misalnya penyakit kurap;
2.  Barang siapa membunuh ataupun mengganggu ikan pasut, orang itu akan mendapat sial dalam beberapa tahun lamanya;
3. Ikan pasut umumnya menjadi penghuni daerah muara sungai atau tempat bertulak (pusaran air).Hal ini disebabkan,Sewaktu belum menjadi pasut, ketika meminjam perahu, Sang kakek telah berpesan, bahwa perahunya harus dikembalikan jangan sampi hilang. Namun dengan tidak disengaja perahu itu telah hanyut dibawa arus entah kemana. Itulah sebabnya setelah menjadi pasut ia sering mendiami daerah muara atau tempat pusaran air dengan maksud mencari perahu tersebut kalau-kalau berada disitu.
4.  Kepala ikan pasut itu licin, tidak berambut seperti manusia , ini disebabkan karena sewaktu dahulu akan tejun keair rambut-rambut mereka yang panjang tertinggal dipenahan (Baji) batang yang ada disitu.

            Demikianlah hingga saat ini pasut yang sering timbul disungai mahakam itu, oleh masyarakat daerah kabupaten kutai dikenal berasal dari dua orang bersaudara lelaki dan perempuan yang setelah memeluk batang pisang kemudian terjun keair akibat makan nasi bubur yang panas sekali didalam priuk llepo.

****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar