HORAS KUKAR – BATU telah beberapa kali dipindahkan. Kini lokasinya berada di kawasan cagar
budaya di Muara Kaman, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.
Berdasarkan
fungsinya sebagai peringatan atas kebajikan dan kedermawanan Maharaja Murawaman
pada awal abad ke-5 Masehi, seharisnya didirikan. Perbedaan warna pada ujung
saputangan giok yang lebih gelap menunjukkan bahwa batu itu didirikan. Ini
karena bagian-bagiannya terkubur di bawah permukaan. Menurut ahli geologi,
warna gelap itu karena belum teroksidasi menjadi singkapan yang terekspose
sinar matahari.
Sementara itu, nama
Lesong Batu sebenarnya kurang tepat. Kemiripan dengan lesung hanya terletak
pada bentuknya yang memanjang. Namun, tidak ada rongga untuk penggilingan padi.
Sekarang kita telah
mengetahui bahwa benda itu adalah yupa. Jika ingin terekpos beda dengan
prasasti yupa, maka bisa saja disebut yupa niraksara.
Upacara di padang
yang disebut waprakeswara itu berjalan menurut ajaran kitab Weda. Selepas
ritual selesai, para brahmana mengabadikannya. Mereka membangun tujuh tugu
bertuliskan aksara Pallawa dalam bahasa Sanskerta. Tugu-tugu tersebut dikenal
sebagai prasasti yupa yang kini disimpan di museum Nasional Jakarta. Dari tujuh
buah Prasasti Yupa yang ditemukan, empat diantaranya ditemukan pada 1879,
sedangkan tiga lainnya pada 1940. Prasasti Mulawarman yang beraksara Pallawa
menandai awal zaman keberaksaraan di Indonesia. Aksara Pallawa berasal dari
India selatan yang sangat mungkin merupakan aksara semi silabik yang berakar
dari aksara Brahmi. Meskipun tidak memuat angka tahun, prasasti-prasasti
Mulawarman dapat diperkirakan berasal dari abad ke-4 – 5 Masehi berdasarkan
gaya penulisannya. DeCasparis berpendapat bahwa aksara pada prasasti-prasasti
Mulawarman tergolong Early Pallawa atau Pallawa dari masa-masa awal, dan
memiliki box-heads, yaitu bentuk segi empat kecil sebagai kepala akasa (de
Casparis 1975:14-20).
Dalam sejarah
penemuannya, ketujuh yupa tersebut tidak ditemukan secara bersamaan. Awalnya
hanya ditemukan 4 buah yupa. Penemuan ini pertama kali dilaporkan oleh Asisten
Residen Kutei kepada pimpinan Bataviaasch Genootschap van Kusten en
Wetenschappen tanggal 9 September 1879. Setahun kemudian, tahun 1880, keempat
yupa tersebut dibawa ke Batavia (Jakarta) dan disimpan dalam koleksi Arkeologi
di Museum Bataviaasch Genootschap van Kusten en Wetenschappen yang sekarang
menjadi Museum Nasional, dengan nomor inventaris D 2a-d. Pada akhir tahun 1940
ditemukan lagi 3 yupa di daerah yang sama. Ketiga yupa ini pun dibawa ke
Jakarta untuk disimpan di Mesum Nasional Indonesia (MNI) dan diberi nomor
inventaris D 175-D 177.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar