Persidangan Sinode Tahunan (PST) GPIB 2024

Persidangan Sinode Tahunan (PST) GPIB 2024 akan dilaksanakan di Musyawarah Pelayanan Kalimantan Timur II sebagai tuan rumah

Rabu, Januari 12, 2011

PERISTIWA MERAH PUTIH

Kerukunan Umat Beragama Terjalin sebelum Kemerdekaan
PERISTIWA MERAH PUTIH
Sangasanga, 27 Januari 1947
Setelah menjelaskan secara singkat mengenai Peristia Merah Putih Sangasanga 27 Januari 1947, Ketua Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) Sangasanga H Paiman mengajak tim liputan Humas dan Protokol Kukar melihat beberapa lokasi bukti sejarah Peristiwa Merah Putih.

Yang pertama dikunjungi adalah monumen batu Kedaulatan Republik Indonesia Serikat (RIS) di jl. Mesjid, Kecamatan Sangasanga, Kukar. Selanjutnya ke tugu Kerukunan Umat Beragama yang terletak disebuah bukit di jl.Abdul Muthalib. Selain tugu, dibukit yang ditumbuhi pohon pisang tersebut juga terdapat beberapa petak kuburan. Jika tak jeli, tugu ini nyaris tak terlihat.

Pasalnya, selain dikelilingi rumput dan pohon pisang, tinggi tugu hanya sekitar satu meter yang terbuat dari cor beton dilapisi keramik berwarna gelap. Tidak ada huruf apalagi tulisan yang menjelaskan tentang keberadaan tugu tersebut.

Camat Sangasanga Abdurahman yang ikut mendampingi tim liputan Humas dan Protokol Pemkab Kukar menjelaskan, sejarah monumen Kerukunan Ummat Beragama itu merupakan penghormatan bagi tokoh Tionghoa bernama Lom Bo Ching. Dijelaskan bahwa sebelum masa kemerdekaan, di bukit tempat berdirinya tugu itu berdiri kelenteng di bawah pimpinan Lom Bo Ching.

"Masa itu, di Sangasanga ini sudah banyak pendatang baik dari berbagai kepulauan di Indonesia dan bangsa lain termasuk China. Karena itu keyakinan yang dianut juga beragam, "jelasnya.

Menurut Abdurahman, Lom Bo Ching kerap merangkul tokoh agama lainnya untuk bersama-sama membangun Sangasanga. "Sehingga pada waktu itu, kerukunan ummat beragama di Sangasanga terjalin dengan baik,"ujarnya.

Sedangkan bagi perjuangan rakyat Sangasanga, H Paiman menjelaskan, etnis Tionghoa di bawah arahan Lom Bo Ching membantu di bidang bahan makanan.

"Mereka (etnis Tionghoa) itu kan banyak yang berdagang, jualannya yang sembako itu. Makanya dulu pejuang mendapatkan kebutuhan sehari-hari di toko mereka. Padahal penjajah melarang, tapi mereka tetap menyalurkan kebutuhan pokok itu kepada kami secara sembunyi-sembunyi, "ujar paiman.

Paiman dan Abdurahman mengatakan pada masa itu memang diakui keberadaan etnis Tionghoa membantu dalam pembangunan dan perjuangan rakyat Sangsanga. "Kami harap tugu ini bisa dibuat lebih baik, karena dari segi historisnya sangat bermanfaat bagi pembangunan dan perjuangan Sangasanga pada waktu itu, "harap Abdurahman yang disambut dengan anggukan paiman. (2) bersambung...
Sumber: Kaltim Post

Tidak ada komentar:

Posting Komentar