Persidangan Sinode Tahunan (PST) GPIB 2024

Persidangan Sinode Tahunan (PST) GPIB 2024 akan dilaksanakan di Musyawarah Pelayanan Kalimantan Timur II sebagai tuan rumah

Gunung Kombeng


Asal-usul terjadinya
GUNUNG KOMBENG
 menurut cerita rakyat


         Alkisah pada zaman dahulu kala, pada dataran rendah ditepi sebuah danau besar , berdirilah sebuah lamin megah yang didiami oleh seorang raja. Pada suatu hari dilamin itu diadakan upacara adat besar (erau) selama empat puluh hari empatpuluh malam. Suara gong dan tabuh panjang tiada henti-hentinya setiap hari dipalu dan pada waktu itu pula dikerjakan bermacam-macam upacara adat menurut kepercayaan yang mereka anut.

         Tersebutlah dalam ceritera seorang yang sangat miskin, hidup dua laki isteri disebuah kampung suku Pantun. Dari pada miskinnya kehidupan orang tadi, hingga hanya memiliki selembar kain yang sudah usang. Dengan demikian, kedua suami-isteri itu tidak dapat pergi bersama-sama menghadiri upacara adat yang sedang berlangsung tadi, karena kain yang satu-satunya mereka miliki terpaksa dipakai secara bergiliran.

         Pada waktu sang suami pergi kehutan untuk berburu, maka isterinya pergi menebang batang bambu muda. Batang-batang bambu itu dibelah kecil-kecil sehingga merupakan tali, kemudian dianyam dijadikan sebagai pengganti kain untuk sekedar menutupi kemaluannya saja, setelah itu bersama-sama dengan tetangganya pergilah ia ketempat upacara adat berlangsung.

         Sekembalinya dari berburu, suaminya terkejut karena isterinya tidak berada dipondok. Dia yakin isterinya pergi ketempat diadakannya erau itu, iapun menyusul isterinya dan dilihatnya isterinya itu menjadi buah tertawaan orang banyak, karena kain yang dipakainya. Melihat keadaan demikian ia menjadi malu dan kembali lagi kepondoknya. Diambilnya sumpitan dan terus pergi berburu mencari binatang bekantan (kera yang berbulu merah dan berhidung panjang). Setelah binatang itu ditemukan dan mati disumpitnya, maka buntut kera itu dipotongnya lalu dibawa ketempat upacara erau. Pada waktu itu, semua penduduk baik lelaki maupun perempuan datang  menghadiri. Isterinya masih berada disitu turut serta menari riang gembira bersama-sama dengan tamu-tamu lain, meskipun menjadi buah tertawaan orang banyak. Waktu menjelang fajar para tamu sudah letih dan sebagaian duduk tertidur.

         Pada kesempatan inilah dipergunakan oleh sang suami untuk membalas dendam. Dihampirinya sebuah tabuh panjang yang berada disitu dan ditabuhnya dengan buntut kera bekatan yang dibawahnya itu. Dengan serta merta fajar pagi menghilang, langit menjadi gelap gulita kilat sabung-menyambung, suara halilintar laksana membelah bumi. Turunlah angin ribut yang sangat keras menggoncang-goncang lamin tempat upacara adat erau dilaksanakan. Orang-orang berlari keluar lamin dengan berdesak-desakan. Tiba-tiba lamin itu berubah menjadi batu, demikian pula orang-orang yang tidak sempat keluar. Lamin yang menjadi batu itu ialah Gunung Kombeng, sedang orang-orang yang didalamnya ialah arca-arca yang banyak terdapat didalam goha gunung itu.

         Adapun danau disekitar lamin itu, sekarang menjadi rawa besar dan luas karena hujan turun tidak henti-hentinya. Rawa ini berhubungan dengan anak sungai yang muaranya terletak di Muara Kaman. Di suatu tempat yang bernama Puan Cepak ditepi sungai itu, pernah diketemukan oleh beberapa orang nelayan, beratus-ratus keramik tua, berukuran besar dan kecil serta banyak dalam keadaan pecah.

2.   Disuatu tempat lain yang bernama Berubus, Seberang Muara Kaman, terletak sebuah bukit yang menurut kepercayaan penduduk setempat, dahulunya adalah bekas istana. Kerajaan mulawarman dengan perbentengannya yang telah tenggelam. Mungkin ditempat itu atau disekitarnya ditemukannya 4 (empat) buah tiang batu bertuliskan huruf  Pallawa, yang disebut dengan prasasti yupa. Pada salah satu prasasti Yupa itu tertera pemberitaan bahwa sang Mulawarman, Raja yang mulia dan terkemuka, telah memberi hadiah 20.000 ekor sapi kepada Brahmana yang seperti api, (bertempat) didalam tanah yang sangat suci bernama Waprakecavara. Buat peringatan akan kebaikan budi sang raja itu, tugu pemujaan ini telah dibikin oleh para Brahmana yang datang ditempat ini.

      Pada Prasasti lainnya diberikan bahwa raja tersohor kudungga berputera Acwawarman yang termansyur, penegak keturunan raja dan seorang puteranya yaitu raja Mulawarman memberikan pujaan berupa emas yang banyak sekali, serta untuk itu didirikan tugu pemujaan oleh orang-orang yang terpenting dari mereka yang lahir dua kali.

      Empat prasasti Yupa atau prasasti Mulawarman itu juga sudah dibawa untuk koleksi Museum Jakarta.

      Akhir-akhir ini diketemukan pula oleh penduduk yang menggali sumur disekitar berubus itu 77 buah patung perunggu. Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi daerah Tingkat I Kalimantan Timur merencanakan untuk mengadakan penggalian didaerah bekas Kerajaan Mulawarman itu untuk mencari bekas-bekas candi ataupun sisa-sisa dari tempat kediamamn Raja.



CAGAR BUDAYA GUNUNG KOMBENG 
Gunung Kombeng terdapat dikecamatan Muara Wahau, di sungai Pantun anak
sungai Kedang Kepala  (disebut juga sungai Telen)

Gunung ini terletak hampir perbatasan Kecamatan Muara Wahau dengan
Kecamatan Bontang. Letaknya didaratan, dimana tidak ada lagi gunung atau  
pegunungan lain yang mengelilinginya.
Untuk berjalan kaki mengelilingi gunung Kombeng diperlukan waktu lebih 
kurang 2 (dua) jam.
Goha-Goha yang terdapat dalam gunung Kombeng ini banyak sekali.   
Pintu-pintu Goha ini ada yang terletak dikaki gunung dan ada pula yang
terletak agak tinggi keatas, seperti pintu Goha dimana terdapat 7 (tujuh)
buah Arca (patung) sekarang ini.

Tinggi gunung Kombeng diperkirakan 150 m. Disekitarnya ditumbuhi hutan
lebat.Didalam Goha-Goha dihiasi dengan batu-batu Stalektit dan Stalekmit.

Batu-batu ini ada yang berupa lampu, karena bergantung dilangit-langit goha
dan ada pula yang merupakan menahan langit-langit goha, agar jangan runtuh.

Arca-arca didalam gunung Kombeng dapat dibagi didalam 2 golongan yaitu:
a.       Arca dari kelompok Ciwa seperti misalnya Maha Dewa Guru, Ganeca, Kertikeva, Mahakala, Nandicwara, Nandin, dan kepala Brahma.
b.      Arca Budha

Dua dari Arca yang menghiasi Museum Mulawarman di Tenggarong merupakan
contoh bentuk Arca yang masih ada digunung Kombeng itu.

Kemungkinan Arca-Arca ini berasal dari kerajaan Mulawarman yang dibawakan
oleh sisa-sisa penganut Agama Hindu kegoha-goha gunung Kombeng untuk
diamankan, akibat masuknya dan menyebarnya agama Islam dalam kerajaan
ini pada kira-kira tahun 1600.

Pada ke abad ke-18 datang ekspidisi yang dipimpin oleh seorang bangsawan
Cina, bernama Lou Kong Beng. Ekspidisi ini gagal, karena perahu Wangkang
yang dipergunakan olehnya pecah dan tenggelam disekitar gunung itu,
disebabkan gempa bumi yang terjadi pada waktu itu. Sebagian dari dari
pengikut Ekspidisi ini tewas, sedang yang masih hidup meneruskan perjalanan
kedaerah itu. Kemungkinan berasal dari nama pimpinan ekspidisi itulah
gunung yang terdapat di Kecamatan Muara Wahau itu mulai nama Kong Beng 
yang kini berubah dengan sebutan kombeng.
Begitu pula nam-nama penduduk suku bahau yang mendiami daerah sekitar
gunung itu, hampir menyerupai nama-nama cina umpama saja: Wang pek,
Wang li, Ding Li, Biang, Koek, Ja Lung dan lain-lain, Karena peserta ekspedisi
yang tidak kembali lagi ketanah leluhurnya, diperlukan menetap disana dan
hidup bercampur-baurdengan penduduk setempat.

Cara mereka menahan mayatpun hampir menyerupai apa yang dilakukan oleh
orang Cina. Mereka menyediakan bermacam-macam makanan diatas
perkuburan menurut kegemaran si mati semasa hidupnya.

Untuk itu si mati itu mereka juga membuat rumah-rumhan kecil lengkap
dengan segala peralatannya yang serba kecil pula. Untuk si mati dibekali juga
beras , padi, dimasukkan dalam karung-karungan kecil yang mereka taruh
begitu saja diatas kuburan si mati itu. Hanya saja bedanya, Kalau orang cina,
rumah-rumahan beserta segala perlengkapannya dibakar, maka pada suku
Bahau ini barang-barang digantungkan pada sebuah tonggak dari akar kayu
yang ditancapakan miring diatas perkuburan itu . tentang maksud dan
tujuannya tidak berbeda yaitu untuk keperluan si mati dialam baqa.

Berita pertama tentang arca-arca di Gunung Kombeng itu berasal dari Letnan
Laut klas 2 J.A van der Star dalam suratnya kepada direksi dari Bataviaasch
Genootschap.
Dalam kunjungannya pada Sultan Kutai tahun 1895, tertarik perhatiannya pada
tiga buah patung-patung budha yang diperlihatkan sultan kepadanya. Menurut
Sultan, Patung-patung tersebut berasal dari sebuah goha, yang didalamnya
mungkin terdapat kamar-kamar. Sebahagian dari ruangan itu diukir dan
dihiasi dengan banyak patung patung budha serta terdapat beberapa
perlengkapan dari batu, misalnya meja-meja batu.

Patung-patung tersebut atas permintaan Direksi Bataviaasch Genootschap
diserahkan untuk disimpan di Museum Jakarta. Salah satu dari arca tersebut
menurut Dr.Krom adalah Wajrapani.

Seorang insinyur pertambangan bernama H. Witkamp adalah orang eropa yang
pertama yang mengadakan perjalanan ke Kombeng  dalam bulan november
1912. Dia membuat laporan yang lengkap disertai lampiran denah goha arca
itu dan membuat belasan sketsa mengenai arca-arca yang terdapat
didalamnya. Dikatakannya dalam laporan itu antara lain, Bahwa bukan tidak
mungkin didalam Gunung Kombeng masih terdapat ruangan-ruangan lain yang
berisikan arca-arca, akan tetapi oleh orang-orang Dayak dirahasiakan. Tidak
seorang Dayakpun, dapat memberikan penjelasan kepada Ir.Witkamp
mengenai asal usul arca-arca itu. Mereka hanya mengatakan, Bahwa arca-arca
itu sejak dahulu kala sudah berada disana.
Patung lain yang berada di museum jakarta ialah yng berasal dari daerah Kota
Bangun, Patung ini pertama kali diketahui dari Buku Harian Tahun 1846-1847
kepunyaan Von Dewall. Dia menyebutkan patung tersebut sebagai arca batu
yang bernama Gendawa-Gie, Dimiliki oleh seorang keluarga islam yang tinggal
ditepi anak sungai keham, sebuah sungai yang mengalir ke danau Uwis,
terletak ditepi kanan Mahakam antara muara muntai dan kota bangun.

Carl Bock mengunjungi juga tempat dalam perjalanan diKalimantan selatan
dan timur pada tahun 1879-1880. Ia kemudian mengetahui, bahwa patung
tersebut tidak sebagaimana yang diceritakan oleh Von Dewall. Pemilik patung
itu adalah  seorang Dayak dan mengatakan, Bahwa patung bukan terbuat dari
batu, melainkan dari perunggu.

2 komentar:

  1. salam hormat,
    saya ingin menanyakan apakah legenda gunung kongbeng yang ditulis valid? karena saya pernah membaca legenda terbentuknya danau Aco dan Danau Beluq di Kutai Barat, legendanya sangat mirip, hanya berbeda bagian subjeknya. terima kasih.

    BalasHapus
  2. Halo Edelweis, info ini saya kutip dari buku

    BalasHapus