Spirit of Erau

 

LAHIRNYA AJI BATARA AGUNG DEWA SAKTI dan PUTERI KARANG MELENU

Syahdan Petinggi Jahitan Layard an isterinya yang tinggal di gunung bertahun-tahun berharap memiliki keturunan dan mereka bertapa pada Dewata agar memiliki anak. Hingga suatu malam, ada suara keras dari langit bersamaan dengan batu besar melayang dan menghempas ke tanah.

Gelap menjadi terang benderang. Petinggi Jahitan Layard an isterinya keluar rumah dan menemukan wadah emas. Saat dibuka, ada seorang bayi laki-laki berselimut kain kuning. Satu tangannya memegang telur, dan satu tangan lainnya memegang keris emas.

Betapa gembiranya Petinggi Jahitan Layar dan sang isteri. Lalu turun tujuh dewa dan menyapa pasangan suami isteri itu dengan mengatakan bahwa bayi tersebut adalah turunan Dewa-Dewa di Kahyangan. Para Dewa meminta bayi itu dirawat dengan baik dan harus dimandikan dengan air bunga. Dan jika sudah dewasa, bayi tersebut tak boleh langsung menginjak tanah sebelum diadakan Erau (pesta).  Dengan petunjuk para dewata, bayi tersebut diberi nama Aji Batara Agung Dewa Sakti.

Semetara di Kampung Melanti, Petinggi Hulu Dusun dan istrinya, Babu Jaruma juga memohon kepada Dewata untuk meminta keturunan. Lalu mereka merawat ular kecil yang ditemukan di tiang rumah.

Karena kasihan, mereka memelihara ular kecil tersebut mulai ditempat sirih hingga kesebuah kandang besar karena ular tersebut terus membesar.

Ular tersebut ternyata naga. Suatu waktu, sang naga pergi ke Sungai Mahakam dan meminta Petinggi Hulu Dusun dan isterinya mengikuti.

Petinggi pun  menurutinya hingga akhirnya sang naga turun ke sungai melalui tangga yang telah dibuat diikuti oleh Petinggi dan isterinya. Keduanya menaiki perahu mengikuti sang naga yang menghilang di tengah sungai. Lalu muncul buih putih bersih diiringi dengan suara tangisan bayi yang ternyata berasal dari dalam gong.

Perlahan gong di sungai terus meninggi karena dijunjung oleh naga. Di dalam gong terbaring bayi perempuan yang dipenuhi cahaya. Terlihat juga lembu yang menjejak di atas batu sedang menjunjung naga tersebut. Lembu itu adalah Lembu Suana yang berbelai gading seperti gajah, bertaring serupa macan, bertubuh seperti kuda, bersayap dan bertaji seolah-olah burung garuda, berekor seperti naga dan seluruh batang tubuhnya bersisik. 

Lembu Suana adalah tunggangan anak-anak para Dewata. Perlahan-lahan batu dan Lembu Suana serta naga tenggelam dan yang tertinggal bayi perempuan dalam gong yang diselimuti kain kuning dengan lampin kain beraneka warna. 

Tangan kanan bayinya memegang emas, sedangkan tangan kirinya memegang sebuah telur. Sebelum perahu tiba di tepian, telur itu pun pecah dan keluarlah seekor anak ayam betina. Bayi tersebut diberi nama Puteri Karang Melenu dan juga dipanggil Puteri Junjung Buyah. Saat tali pusar Puteri Karang Melenu lepas, Petinggi Jaitan juga mengadakan upacara serupa untuk anaknya, Aji Batara Agung Dewa Sakti. 

Keduanya tumbuh sehat dan menjadi remaja yang menjadi perhatian orang di sekitar karena parasnya yang cantik serta tampan. Kelak keduanya menjadi cikal bakal dari Kerajaan Kutai Kartanegara Ing Martadipura.

 

KESULTANAN KUTAI KARTANEGARA ING MARTADIPURA

Kabupaten Kutai Kartanegara memiliki sejarah panjang, yang dimulai dari Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura. Kerajaan Kutai Kartanegara adalah kerajaan bercorak Hindu yang didirikan pada 1300 M di Tepian Batu atau Kutai Lama. 

Pendiri Kerajaan Kutai Kartanegara adalah Aji Batara Agung Dewa Sakti, yang berkuasa antara 1300-1325 M. Kerajaan ini berubah menjadi kesultanan Islam pada 1575, ketika di bawah kekuasaan Aji Raja Mahkota Mulia Alam. Karena raja telah memeluk Islam, sebuah masjid dibangun dan dibuka juga tempat pengajaran Islam. Kerajaan ini berdekatan dengan Kerajaan Kutai Martadipura, yang lebih dulu berdiri kawasan Sungai Mahakam, Kalimantan Timur. Akibatnya, sering terjadi perselisihan yang akhirnya memuncak pada abad ke-17 dan kedua kerajaan terlibat perang. 

Pada 1635, di bawah kepemimpinan Raja Pangeran Sinum Panji Mendapa, Kutai Kartanegara berhasil menaklukkan Kerajaan Kutai Martadipura yang kala itu diperintah oleh Maharaja Dharma Setia. 

Sejak saat itu, raja mengubah nama kerajaannya menjadi Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura. Dipengaruhi ajaran Islam, sebutan raja pun diganti dengan sultan, dan penguasa Kerajaan Kutai Kartanegara pertama yang menggunakan nama Islam adalah Sultan Aji Muhammad Idris (1735–1739). 

Sultan Aji Muhammad Idris kemudian memindahkan ibu kota kerajaan dari Kutai Lama ke Pemarangan. Selain itu, Sultan Idris dikenal sebagai penguasa yang sangat gigih melawan penjajahan Belanda. 

Kemunduran Kerajaan Kutai Kartanegara dapat dirasakan ketika mulai menjadi bawahan Kesultanan Banjar. Sejak tahun 1787, secara de facto kerajaan ini berada di bawah kekuasaan Belanda setelah acara penyerahan kekuasaan dari Kesultanan Banjar. Kemudian pada 1825, atas inisiatif G. Muller yang menjadi residen di Banjarmasin, Kerajaan Kutai Kartanegara diikat secara resmi oleh Belanda. 

Hal ini dilakukan karena Kutai memiliki kekayaan alam yang sangat melimpah dari hasil batu bara, sarang burung walet, emas, dan hasil hutan. Keadaan kerajaan menjadi semakin terpuruk dengan kedatangan perompak yang mengganggu stabilitas perdagangan dan ekonominya. Hingga masa kependudukan Jepang, status Kerajaan Kutai Kartanegara belum berubah, yakni masih menjadi daerah vasal (negara yang berada di bawah kekuasaan negara lain secara internasional). 

Seiring pengakuan kedaulatan Indonesia dari Belanda, wilayah Kesultanan Kutai Kartanegara tergabung dalam Republik Indonesia Serikat. Pada tahun 1947, kawasan tersebut masuk dalam status Daerah Swapraja Kutai yang menjadi bagian Federasi Kalimantan Timur bersama Kesultanan Bulungan, Sambaliung, Gunung Tabur dan Pasir. 

Pada tanggal 27 Desember 1949, Daerah Swapraja Kutai ditetapkan menjadi bagian dari Republik Indonesia Serikat. Seiring perubahan bentuk Negara, Daerah Swapraja Kutai diubah menjadi Daerah Istimewa Kutai berdasarkan UU Darurat Nomor 3 tahun 1953 yang dipimpin Sultan Kutai Aji Muhammad Parikesit. 

Lalu pada tahun 1959 Pemerintah Republik Indonesia menghapus status Daerah Istimewa melalui UU nomor 27 tahun 1959 dan kawasan tersebut bernama Kabupaten Kutai dengan ibu kota di Tenggarong. 

Pada tahun 1999, melalui UU Nomor 47 Tahun 1999, Kabupaten Kutai dimekarkan menjadi 4 daerah otonom yakni Kabupaten Kutai dengan ibu kota Tenggarong, Kabupaten Kutai Barat dengan ibu kota Sendawar, Kabupaten Kutai Timur dengan ibu kota Sangatta, dan Kota Bontang dengan ibu kota Bontang. 

Kemudian pada tahun 2000, Presiden RI Abdurrahman Wahid saat mengusulkan agar Kabupaten Kutai hasil pemekaran menggunakan nama Kabupaten Kutai Kartanegara. 

Pada tahun 2002, Presiden RI Megawati Soekarnoputri menetapkan penggunaan nama Kabupaten Kutai Kartanegara melalui Peraturan Pemerintah RI No. 8 Tahun 2002 tentang "Perubahan Nama Kabupaten Kutai Menjadi Kabupaten Kutai Kartanegara".

  

MENGENAL ERAU

MACAM-MACAM ERAU 

Erau adalah tradisi yang dilakukan setahun sekali di Tenggarong, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Erau berasal dari bahasa Kutai, eroh yang artinya ramai, riuh, rebut, suasana yang penuh sukacita. Suasana yang ramai, riuh rendah suara yang artinya adalah kegiatan sekelompok orang yang mempunyai hajat yang bersifat sacral, ritual, mauoun hiburan. 

Ritual Erau awalnya dilakukan hanya untuk penobatan raja atau sultan yang berlangsung selama 40 hari 41 malam, 14 hari 15 malam dan 7 hari 8 malam tergantung kesiapan dan kondisi kemakmuran pada saat itu. Selain sebagai upacara penobatan raja, Erau juga diadakan untuk pemberian gelar dari raja kepada tokoh atau pemuka masyarakat yang dianggap berjasa terhadap kerajaan. 

Upacara Erau dilakukan oleh kerabat keratin/istana dengan mengundang seluruh tokoh pemuka masyarakat yang mengabdi kepada kerajaan. Mereka datang dari seluruh pelosok wwilayah kerajaan dengan membawa bekal bahan makanan, ternak, buah-buahan, dan juga para seniman. 

Dalam upacara Erau ini, Sultan serta kerabat keraton akan memberikan jamuan makan kepada rakyat dengan memberikan pelayanan dengan sebaik-baiknya sebagai tanda terima kasih Sultan. 

Meski pemerintahan Kesultanan Kutai Kartanegara berakhir pada tahun 1960 dan wilayahnya menjadi daerah otonom Kabupaten Kutai, tradisi Erau tetap dilestarikan sebagai pesta rakyat dan festival budaya. 

Pelaksanaan Erau yang terakhir yang menggunakan tata cara Kesultanan Kutai Kartanegara dilaksanakan pada tahun 1965, ketika diadakan upacara pengangkatan Putra Mahkota Kesultanan Kutai Kartanegara, Aji Pangeran Adipati Praboe Anoem Soerya Adiningrat. 

Sedangkan Erau sebagai upacara adat Kutai dalam usaha pelestarian budaya dari Pemda Kabupaten Kutai baru diadakan pada tahun 1971 atas prakarsa Bupati Kutai saat itu, Drs. H. Achmad Dahlan. Upacara Erau dilaksanakan dua tahun sekali dalam rangka peringatan ulang tahun Tenggarong yang berdiri sejak 29 September 1782. Atas petunjuk Sultan Kutai Kartanegara, Sultan A.M. Parikesit, maka Erau dapat dilaksanakan oleh Pemda Kutai Kartanegara. Namun ada beberapa ritual dan upacara khusus yang tak boleh digelar. Sementara kegiatan kesenian dan olahraga/ketangkasan boleh tetap dilakukan. 

Selain itu Erau diadakan secara tetap pada bulan September karena berkaitan dengan Hari Jadi Kota Tenggarong, ibu kota Kabupaten Kutai Kartanegara yang tak bisa dilepaskan dari Kesultanan Kutai Kartanegara. 

Sepanjang sejarah kerajaan kesultanan, ada beberapa Erau yang pernah digelar antara lain: 

·         Erau Batu Samban

Erau Batu Samban berlangsung selama 21 hari dan 22 malam. Pada prosesi, Sang Sultan dua kali pelas yakni pelas pertama dilakukan dengan berayun papan, dan pelas kedua di dekat Tiang Ayu atau tombak Sangko Piatu, pusaka yang dipergunakan Aji Batara Agung Dewa Sakti berburu. 

·         Erau Tepong Tawar

Erau Tepong Tawar dilaksanakan selama 14 hari 15 malam yang dikemudia dipersingkat waktunya menjadi 7 hari 8 malam. Erau ini dilaksanakan oleh kerabat kesultanan pada waktu tertentu berdasarkan hajatnya. 

·         Erau Pelas Tahun

Erau Pelas Tahun merupakan erau adat yang dilaksanakan oleh kerabat kesultanan yang bertujuan untuk membersihkan segala macam hal yang mengganggu sumber-sumber kehidupan di wilayah kerajaan. 

·         Erau Beredar di Kutai

Erau Beredar di Kutai merupakan Erau adat yang dilaksanakan oleh kerabat kesultanan dalam rangka pengukuhan, pengangkatan, penabalan dan segala hal yang berkaitan dengan tahta. Saat prosesi dilakukan, Sultan melakukan tuhing yakni tidak menginjak tanah pada waktu tertentu, kecuali di atas kain alas bumi yang dihampar ke tujuan. 

Kini, Erau masuk dalam calendar of events pariwisata nasional.

   

TAHAPAN ERAU

Kabupaten Kutai Kartanegara menawarkan berbagai wisata budaya seperti kesenian-kesenian tradisional ataupun kontemporer, upacara-upacara adat dan event-event lokal, regional maupun internasional. Salah satunya adalah Upacara Adat Erau. Dalam perkembangannya, upacara adat ini merupakan ungkapan rasa syukur atas panen hasil bumi yang dinikmati rakyat. 

Upacara Adat Erau dilaksanakan di dalam Keraton selama seminggu penuh yang terdiri dari serangkaian upacara adat yang berlangsung sore hingga malam hari. Sementara di luar Keraton, berlangsung beragam kegiatan seni budaya, olahraga dan permainan tradisional, kuliner khas Kutai serta pasar rakyat. 

Dan berikut tahapan-tahapan dari Festival Erau:

  

HAUL JAMAK

Haul Jamak adalah tradisi Islam yang memiliki rangkaian acara yakni tahlil, doa dan makan bersama dengan tamu undangan untuk mendoakan para Sultan dan juga leluhur yang telah berjasa terhadap kemajuan Kabupaten Kutai Kartanegara. Menurut ahli sastra Melayu Constantinus Alting Mees, peralihan agama di Kutai Kartanegara terjadi pada tahun 1575. 

Islam disebarkan ke Kerajaan Kutai Kartanegara oleh mubaligh dari Sumatera yakni Tuan Tunggang Parangan dan Datuk Ribandang. Pengaruh Islam mulai terasa di masa Raja Makota (1525–1600) saat kerajaan-kerajaan Islam di Jawa, Sumatera dan Melayu mulai menjalin hubungan perdagangan. Interaksi ini membawa budaya baru yakni pemberian nama bernuansa Islam pada putra-putra raja. 

Raja Mahkota pun memeluk Islam dan Islam pun menjadi agama resmi kerajaan. Penyebaran dilakukan dengan dkwah yang disesuaikan dengan kultur social masyarakat yakni melalui jalur kesenian dan kebudayaan. Tradisi masyarakat Kutai kartanegara disesuaikan dengan nilai-nilai islam, sehingga masyarakat merasa dihormati dan dihargai. Selain itu toleransi antar-umat beragama tetap terjalin baik.

  

TITI BENDE

Titi Bende memiliki makna, bila raja menginginkan upacara adat Erau, maka diumumkanlah ke masyarakat dengan melakukan Titi Bende. Saat Titi Bende diadakan, maka rombongan akan keliling kota untuk mengabarkan kepada masyarakat Erau akan segera dilakukan dengan menabuh gong kecil dengan palu. 

Titi Bende adalah kegiatan untuk memberitahukan kepada seluruh masyarakat terutama yang berada di Tenggarong bahwa Erau akan segera diselenggarakan. 

Petugas yang ditunjuk untuk melakukan Titi Bende menaiki kendaraan bak terbuka dengan membawa bendera berkeliling Tenggarong dengan membunyikan alat musik kelintangan, menyalakan pora atau perapen, serta menghambur beras kuning. Selain itu mereka juga menaburkan dupa dan wijen ke atas bara api dalam perapen saat melewati hampir seluruh jalan Tenggarong.

  

BELULUH

Terdiri dari dua kata buluh yang artinya bambu dan luluh artinya musnah. Nama ini mengacu pada balai bambu bertingkat tiga yang digunakan sebagai singasana bagi Sultan atau Putra Mahkota dalam upacara ini. 

Beluluh digunakan untuk meluluhkan segala hawa negative yang ada di diri Sultan. Dengan Beluluh, Sultan Kutai Kartanegara Ing Martadipura atau Putra Mahkota disucikan dari berbagai unsur kejahatan. Selain itu prosesi beluluh di kedaton itu digunakan untuk memberitahu alam semesta bahwa Erau akan segera dimulai. 

Karena Kerajaan Kutai dulunya begama Hindu, maka saat proses Beluluh diadakan, balai diletakkan di atas tambak karang genta dan kaki-kaki balai akan dihiasi oleh daun kelapa. Sementara setiap sudutnya akan diletakkan sejenis sesajian yang disebut peduduk. 

Tambak Karang Genta dalam kepercayaan Hindu itu diibaratkan getarannya dan dengan bunyi “aum” yang artinya permulaan. 

Tambak karang genta tersebut dari gulungan tikar yang atasnya dibentuk sedemikian rupa dengan beras berwarna-warni. Saat Beluluh dimulai, Sang Sultan akan didudukkan sejenak di atas tilam kasturi (tempat duduk sultan berwarna kuning tersusun bertingkat dua). Lalu Sang Sultan berdiri dan menaiki balai bambu dengan memijak pusaka batu pijakan. Sang Sultan kemudian duduk di bagian tertinggi balai, di bawah ikatan daun beringin dan dipayungi selembar kain kuning yang disebut kirab tuhing. 

Setelah itu dilakukan prosesi tepong tawar. Pada prosesi ini, dewa (wanita pengabdi ritual) memercikkan air kembang ke sekeliling Sultan. Lalu Sultan kemudian mengusap kepalanya dengan air tersebut dan dewa akan menaburkan beras kuning ke arah Sultan. 

Setelah tepong tawar selesai, dilakukan prosesi menarik ketikai lepas yakni anyaman dari daun kelapa yang akan terurai jika ditarik kedua ujungnya. Pada ritual ini, Sultan akan memegang salah satu ujung dari anyaman daun tersebut, sedangkan ujung lainnya akan ditarik oleh seorang tamu kehormatan. Prosesi ini menjadi penutup dari Beluluh. 

Setelah upacara selesai, tambak karang genta akan di bawa ke jalanan di depan tangga masuk Keraton oleh abdi keratin. Masyarakat akan berebut mendapatkan beras berwarna-warni tersebut karena percaya beras tersebut akan membawa keberkahan. 

Setelah Beluluh, Sultan sudah mulai betuhing artinya Sultan tidak boleh lagi menginjakkan kakinya langsung ke tanah. Setelah beluluh, diadakanlah Menjamu Benua.

  

MENJAMU BENUA

Di upacara Adat Erau, terdapat sejumlah ritual yang berfungsi sebagai pembuka komunikasi dengan “mahluk halus” yang hidup di dimensi berbeda. Salah satunya adalah Menjamu Benua, ritual yang diadakan sebelum adat Erau berlangsung. Menjamu Benua dilakukan dengan harapan mahluk gaib tidak mengganggu upacara adat Erau. 

Ritual ini melibatkan rombongan yang terdiri dari 7 orang dewa (dukun wanita), 7 orang belian (dukun pria), 7 pangkon bini, dan 7 pangkon laki. Selama ritual dilakukan akan diiringi oleh gakelan dan gendang. 

Mereka akan membawa sesajen yang diletakkan di titik-titik yakni Kepala Benua di Kelurahan Mangkurawang, Tengah Benua di depan Keraton, dan Buntut Benua di Kelurahan Timbau. 

Titik kepala benua berada di paling utara atau bagian hulu dari Tenggarong. Sementara tengah benua adalah pusat wilayah Tenggarong dan buntut benua berada disisi selatan Tenggarong atau bagian hilir. Setelah sampai di lokasi, belian dan dewa akan meletakkan jajak 41 atau 41 jenis kue di atas juhan 7 tingkat, satu ekor ayam panggang yang bulunya dan seluruh isi perutnya dimasukkan dalam tembelong atau tempat dari daun pisang. Saat ritual, pakaian Sultan dibawa sebagai pengganti kehadirannya secara fisik. 

Rombongan berangkat dari kediaman Sultan menuju tiga titik dan meletakkan sesajian di masing-masing titik. Setelah itu, dewa menghadap ke Sungai Mahakam membacakan mantra. 

Lalu dewa melakukan Besawai atau pembacaan doa sambil menebarkan beras, bunga dan lainnya. Rombongan kemudian menuju ke tengah benua dan terakhir di buntut benua untuk melakukan ritual yang sama. 

Yang berbeda, di buntut benua disediakan dua buah telasak gantung yang dipasang berlawanan arah. Lalu hiasan janur diikat simpul ebagai pertanda ritual Menjamu Benua telah selesai. 

 

MERANGIN 

Pada malam hari, diadakan merangin yakni ritual komunikasi denganh ‘alam lain’ untuk mengabarkan bahwa upacara adat Erau akan dimulai. Dalam ritual merangin, ada serapo belian yakni bangunan yang terbuat dari kayu dan beratapkan daun nipah yang didirikan khusus untuk ritual ini. Di setiap sudut serapo belian, terdapat sepasang tebu dan sebatang pisang yang berbuah serta buluh (bamboo) berisi air. Sementara di luar sudut terdapat brong, obor yang didirikan di tanah dan batangnya terbuat batang aren yang dilubangi untuk kaleng berisi minyak tanah yang diberi sumbu. 

Terdapat juga binyawan, tiang yang terbuat dari bamboo dan dibalut janur kuning sebanyak tujuh tingkat yang diletakkan di tengah serapo. Di bagian atas binyawan terdapat replica burung enggang yang terbuat dari kayu. Sementara di bagian bawahnya terdapat replica kura-kura yang juga terbuat dari kayu. Di sisi pinggiran dalam serapo belian terdapat dua ayunan kayu dengan rotan sebagai penggantungnya. Salah satu ayunan diukir dengan ornament buaya yang disebut romba, sedangkan satu ayunan lagi disebut ayun dewa. 

Merangin dilakukan oleh para belian dan dewa. Ritual tersebut diawali dengan pembacaan mantra oleh salah satu belian yang mengelilingi binyawan yang diletakkan ditengah bangunan. Sementara pimpinan dewa yang ikut dalam lingkaran tersebut membakar kemenyan dan sesekali menghamburkan beras kuning. 

Lalu para belian akan berlari keliling sambil memegangi batang binyaman yang tiangnya ikut berputar pada sumbunya. Para belian juga menaiki alat ritual yang berputar semakin cepat. 

Sementara itu, para dewa sesekali melempar beras kuning kea rah para belian yang terus berputar mengelilingi alat ritual, upacara adat merangin diakhiri dengan tarian Dewa Bini yang dibawakan dewa dengan lemah lembut mengelilingi binyawan.

  

NGATUR DAHAR 

Ngatur Dahar adalah ritual adat jamuan makan yang dilakukan oleh kerabat Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura sebelum pelaksanaan upacara adat Erau. Ritual ini memeliki beberapa tujuan yakni sebagai bentuk pensucian diri, memberkati orang yang memiliki hajatan dan melestarikan adat istiadat Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura 

Dalam Ngatur Dahar terdapat makanan daratan berupa buah-buahan, biji-bijian dan umbi-umbian, yang dibuat dalam bentuk kue 41 macam. Serta ada makanan dari sungai seperti ikan gabus dan disediakan ayam panggang dalam prosesi ini. 

Sementara tujuh orang dewa dan tujuh orang belian duduk dibelakang sultan. Sedangkan para kerabat dan tamu akan duduk menyamping di depan Sultan, menghadap kea rah sajian yang dihidangkan. 

Sebelum acara dimulai, dilakukan besawai oleh seorang dewa. Lalu dilakukan ritual tepong tawar pada Sultan dan dilanjutkan pembacaan doa agar upacara Adat Erau berjalan lancar. Setelah itu makanan bisa dinikmati oleh tamu undangan. 

Empat puluh satu makanan yang disajikan terdiri dari aneka jajak kampong (jajanan pasar) seperti tumpi, elat sapi, apam, golongan ayam, kelepon, pepik, outu soko, keminting, tole-tole, sangga kacang, dan madu kasirat. 

Selain itu juga disediakan makanan untuk para penghuni alam gaib yakni nasi tambakan berwarna merah, hitam dan putih. Waktu pelaksanaan ritual ini adalah malam hari setelah ritual merangin malam ke-3 dijalankan oleh para dewa dan belian. 

Para dewa dan belian akan memasuki ruang tengah keratin kemudian Sultan duduk di atas tilam kasturi untuk memimpin jamuan ini. Di hadapan sultan, disajikan aneka jenis hidangan dan kelengkapan ritual yang ditata memanjang. 

 

MENDIRIKAN TIANG AYU 

Sultan kemudian membuka pesta rakyat yang sudah berusia ratusan tahun ini dengan ritual Mendirikan Tiang Ayu yakni Tombak Pusaka yang bernama Sangkoh Piatu senjata milik Aji Batara Agung Dewa Sakti yang diikat dengan kain cinde (sehelai kain berwarna kuning) dan tali juwita (sutas ta;I yang terdiri dari tujuh lapis benang emas dan mengikat beberapa cincin). 

Dalam Tiang Ayu juga terdapat beberapa ringgitan (janur yang diukir), pinggan dan gong galuh. Tiang Ayu sendiri adalah senjata keramat Kerajaan Kutai. Awalnya Tiang Ayu direbahkan menghadap senggasana Sultan dengan alas kasur kuning yang dilapisi kain kuning bermotif merah yang disebut tapak liman. 

Dibawah kasur terdapat lukisan tambak karang dengan empat naga serta seluang mas warna warni. Di keempat sudut tampak karang diletakkan pelengkap ritual yakni lilin, peduduk, pakaian Sultan yang diletakkan di atas piring, dan jalinan daun kelapa yang disebut jambak. 

Sementara di sisi kanan dan kiri Tiang Ayu terdapat pusaka Gong Raden Galuh dan Batu Tijakan. Di balai sebelah kanan penyangga Tiang Ayu diletakkan peduduk, pakaian Sultan seta jabangan mayang siur. Sementara di sisi kiri penyangga, ada guci berisi air Kutai Lama dan jabangan berisi mayang pinang. 

Pelaksanaan mendirikan Tiang Ayu dilakukan setelah Sang Sultan memasuki ruangan. Saat para dewa melakukan besawai dan Tiang Ayu diangkat oleh beberapa keluarga keratin dan diletakkan dalam penyangganya. Setelah Tiang Ayu berdiri, seluruh hadirin berdoa. Upacara Adat Erau pun siap dilaksanakan.

  

PEMBUKAAN ERAU 

Pembukaan upacara adat Erau pun dilakukan. Pembukaan Erau adalah manunggal raja dan rakyatnya yang artinya kebersamaan raja dengan rakyatnya. Dalam tradisi tersebut yang di-erau-kan adalah raja, yang meng-erau-kan adalah rakyat. 

Pembukaan upacara adat Erau melibatkan seluruh komponen dari semua lapisan masyarakat. Biasanya pangkon-pangkon atau yang membawa keperluan sultan berasal dari Kampung Panji, Kampung Melayu dan lain-lain. 

Dimasa lalu, saat pembukaan upacara adat Erau, seluruh lapisan rakyat yang ada di daerah taklukkan Kerajaan Kutai berkumpul dan membawa hasil bumi mereka untuk disantap bersama-sama. Setelah bergabung dengan Pemerintah Republik Indonesia, maka sesembahan diberikan oleh kecamatan-kecamatan yang ada di Kutai Kartanegara. 

BEPELAS 

Ritual Bepelas menjadi bagian penting dalam serangkaian upacara adat Erau. Bepelas dilakukan untuk pembersihan serta keamanan di area Kerajaan Kutai Kartanegara Ing Martadipura. Selain itu ritual ini dilakukan untuk memuja sukma dan raga sultan dari ujung kaki hingga ujung rambut agar bisa melaksanakan tugas pemerintahan serta melaksanakan adat. 

Bepelas diawali dengan beberapa tarian antara lain tari Dewa. Tari Dewa Memanah, tari Ganjur, tari Ganjar, tari Kanjar Bini, tari Kanjar Laki dan beberapa tarian lainnya. Tarian sacral dilakukan agar melindungi acara bepelas Sultan dari perbuatan roh-roh jahat yang mengganggu. 

Diringi dengan gamelan yang memainkan lagu Serseh, sang Sultan masuk ke ruang singgasana. Di saat bersamaan kepala adat akan membacakan mantera, lalu tali juwita dan kain cinde direntangkan kea rah barat yang ujungnya dipegang oleh anggota keluarga sultan. 

Gamelan kemudian memainkan lagu ireng-ireng dan ketika gong besar dibunyikan, Sultan meniti tapak leman (kain kuning bermotif merah) yang didahuli dengan batu pijakan. Tangan kanan Sultan memegang rentangan tali juwita dan tangan kiri memegang rentangan kain cinde. Kaki kanan Sultan kemudian berhenti di gong untuk di-pelas dewa dan belian. 

Saat itulah terdengar gelegar suara meriam dari arah dermaga yang terletak di depan keratin. Diiringi dengan mantra yang dibacakan, Sultan berbalik ke belakang dengan posisi tangan kanan memegang kain cinde dan tanga kiri memegang tali juwita. Prosesi diulang hingga tiga kali dan dentuman meriam pun dibunyikan sebanyak tiga kali. 

Setelah selesai, sang Sultan memasuki ruang dalam istana dan tari-tarian kembali digelar. Tak lama, sang Sultan kembali memasuki ruangan singgasana untuk menyaksikan tari-tarian bersama tamu undangan. 

Acara berakhir dengan penyerahan tanda mata dari kerabat wanita kepada sang Sultan.

  

BESEPRAH 

Beseperah adalah tradisi makan bersama yang dilakukan masyarakat Kutai, Kalimantan Timur. Beseperah berasal dari kata seprah yang artinya kain putih yang dihamparkan di bawah. Maknanya adalah dalam menikmati rejeki dari Yang Maha Kuasa, manusia duduk sama rendah baik bangsawan ataupun masyarakat. 

Duduk bersila, melantai bersama adalah simbolis doa yang dipanjatkan Sultan agar selalu mengayomi rakyat yang dipimpinnya. Acara Beseperah dihadiri oleh berbagai lapisan masyarakat, mulai dari kerabat kesultanan, pejabat daerah, hingga masyarakat umum. 

Meski tidak ada catatan yang menjelaskan kapan tepatnya tradisi Beseperah dimulai, namun Beseperah selalu berhubungan erat dengan Erau yang telah dilaksanakan secara turun-temurun sejak abad ke-12 Masehi. Tepatnya saat Aji Batara Agung Dewa Sakti diangkat menjadi sultan pertama Kutai Kartanegara Ing Martadipura. 

Tradisi Beseperah bukan hanya tentang makanan, tapi juga tentang berbagi cerita, kesulitan yang dihadapi, saling mendengarkan, memberi solusi, dan menguatkan. 

Jamuan Beseprah digelar saat sarapan dan sajian yang disediakan sangat beragam mulai dari nasi kebuli, nasi kuning, nasi putih lengkap dengan sambal, gence ruan (ikan gabus goreng dengan sambal), semur, bubur, ubi goreng, dan aneka kue khas Kutai seperti serabai, putu labu, roti gembong, untuk-untuk, serta ragam buah-buahan. 

Makanan akan disusun di atas seperah, kain putih yang dihamparkan untuk alas makanan yang disajikan. Acara diawali dengan berdoa, kemudian Sultan akan memukul gong tanda Beseprah dimulai. Setelah itu, undangan diperbolehkan untuk menyantap makanan sembari mengobrol dengan orang-orang di sampingnya, meski datang dari berbagai status sosial yang berbeda. 

 

ZIARAH MAKAM 

Setelah Beprah, diadakan Ziarah Makam salah satunya di makam Aji Imbut yang bergelar Aji Muhammad Muslihuddin, Raja Kutai Kartanegara Ing Martadipura yang ke-15 yang telah meletakkan fondasi Tenggarong sebagai Ibu Kota Kesultanan Kutai Kartanegara yang didirikan pada 28 September 1782. 

Awalnya Tenggarong bernama Tepian Pandan ketika Aji Imbut memindahkan ibu kota kerajaan dari Pemarangan. Oleh Sultan Kutai, nama Tepian Pandan diubah menjadi Tangga Arung yang berarti rumah raja. Wilayahnya meliputi hulu sampai mangkurawang. Tepian pandan daratan sampai ke pondok labu. Ke hilir sampai ke Muara Kian. Menyebrang ke jongkang, mudik ke hulu Kampung landak. Tanjung Pagar Loa Durian, Loa Raya sampai ke Kampung Tiwau dan ke daratan bagian Durian kuburan dan Pasopang Sriwangsa. 

Munculnya pemakaman keluarga kerajaan ini diduga hampir bersamaan dengan berdirinya Tangga Arung di Tepian Pandan pada 28 September 1782 Masehi. Kala itu Aji Imbut berhasil merebut tahta Kesultanan Kutai dari Aji Kado yang berkuasa di ibukota lama (Pemarangan) dan Aji Imbut secara resmi dinobatkan menjadi Sultan Kutai dengan gelar Sultan Aji Muhammad Muslihuddin. 

Sementara itu Tangga Arung yang kemudian dikenal dengan nama Tenggarong menjadi pusat pemerintahan bagi Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura sejak masa pemerintahan Sultan Aji Muhammad Muslihuddin (1780–1816 M) hingga berakhirnya Kesultanan Kutai pada tahun 1960. Aji Imbut (Sultan Aji Muhammad Muslihuddin) menjadi sultan pertama yang dimakamkan di kompleks pemakaman ini pada tahun 1838 Masehi. 

Beberapa sultan lain yang dimakamkan di kompleks Makam Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura adalah Aji Muhammad Salehuddin (1816–1845 M), Aji Muhammad Sulaiman (1850–1899 M), dan Aji Muhammad Parikesit (1920–1960 M). Di komplek tersebut juga dimakamkan para istri dan putra-putri mereka serta sejumlah ulama Kesultanan. Saat ini ada sekitar 140 makam anggota keluarga Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura yang ada di makam tersebut. 

Namun ada beberapa situs makam bersejarah yang berada di luar kompleks seperti makam Sultan Muhammad Alimuddin (1899–1910 M) yang ada di perbukitan Kampung Melayu Tenggarong. Ada pula makam Panglima Legendaris Kesultanan Kutai, Awang Lor, yang gugur dalam perang melawan Belanda dan dimakamkan di Kelurahan Sukarame. Serta Pangeran Notonegoro, pemangku jabatan sultan semasa Aji Muhammad Parikesit masih kecil, yang dimakamkan di belakang Markas Tentara Kutai Kartanegara. 

 

PENGAMBILAN AIR TULI 

Pengambilan Air Tuli adalah bagian dari upacara adat Erau yang dilakukan di daerah di hulu sungai Mahakam yakni di kawasan Jahitan Layar atau Tepian Batu. 

Di kawasan yang sering disebut “Kutai Lama” lahir legenda dua bayi yang kelak menjadi kisah Aji Batara Agung Dewa Sakti dan sang permaisuri, Putri Karang Melenu. Keduanga menjadi pasangan Raja dan Permaisuri Kutai pertama yang menjadi cikal bakal keluarga besar bengsawan Keraton Kutai Kartenagara Ing Martadipura. 

Meski sudah pindah ke Tenggarong, Tepian Pandan tetap menjadi kampong asal muasal leluhur mereka. Karena itu, setiap Erau di gelar, dilakukan ritual mengambil air di Kutai Lama yang kemudian dibawa ke Keraton Kutai Kartanegara Ing Martadipura untuk digunakan sebagai bagian ritual upacara. 

 

SELUANG MUDIK 

Seluang Mudik digelar di penghujung Erau yakni dengan saling lempar butiran beras. Awalnya sang Sultan akan melakukan upacara menyisik lembu sauna yakni dengan menaruh uang koin di antara lukisan naga yang terbuat dari butiran beras berwarna tujuh macam yang ditata di atas tikar depan Tiang Ayu yang disebut Tambak Karang Genta. 

Usai sang Sultan menyisik lembu sauna, para tamu undangn pun melakukan hal yang sama yakni meletakkan uang diatas tambak karang genta. Lalu dilanjutkan dengan acara dewa menjala yakni dewa berjalan menyeret kain kuning seperti menyeret jala dan diiringi dengan belian yang menyeret gubang atau perahu kecil. 

Mereka melewati sultan dan para kerabat serta undangan yang meletakkan uang kertas atau logam ke ‘jala’ kain kuning atau ke gubang. Uang yang terkumpul diperuntukkan kepada para dewa dan belian sebagai jerih payah mereka selama upacara Erau berlangsung. 

Puncak Seluang Mudik adalah perebutan buah buwal yang digantungkan pada tali yang dibentangkan di ruang Stinggil. Buah bawal berisi tujuh makanan di antaranya telur, pisang ambon, jajak cincin, elat sapi, dodol kertap dan tole-tole. Perebutan buah bawal dilakukan setelah Sang Sultan menghamburkan beras kuning. 

Di setiap sudut ruang, pihak keratin telah menyediakan wadah-wadah berisi beras bagi para undangan dan semua yang hadir di ruang Stinggil akan terlibat dalam prosesi tersebut, baik sebagai pelaku maupun target. Tak terkecuali Sultan, sesepuh kesultanan, bahkan Bupati Kutai Kartanegara serta tamu kehormatan lainnya juga ikut dalam kemeriahan seluang mudik. 

 

BEUMBAN, BEGOROK, DAN RANGGA TITI 

Ritua lain yang dilakukan adalah Beumban, Begorok dan Rangga Titi yang diselenggarakan di ruang Stinggil. Saat Beumban, Sultan dibaringkan di atas sebuah kasur tertutup kain kuning. Sementara tubuhnya diselimuti dengan kain kuning. Di atas kasur tersebut diletakkan bantal, guling, peduduk (sesajian) dan lilin yang menyala di masing-masing sudut. 

Ketika berbaring, kepala Sultan menghadap ke utara dan kakinya di selatan. Lalu sesepuh memimpin ritual dengan mengambil bunga pinang dan mengusapnya di atas kain kuning yang dibentangkan oleh empat kerabat. 

Bunga pinang tersebut juga diusapkan dari kepala ke lutut dan diulangi sebanyak dua kali dengan posisi Sultan menghadap ke barat dank e timur. Setelah itu Sultan dalam posisi telentang, lalu duduk menghadap ke timur. 

Untuk ritual begorok, Sang Sultan akan duduk di atas balai mambu kuning yang memiliki 41 tiang menghadap ke timur. Di atas kepala Sultan, dibentangkan kain kuning yang dibolak-balikan sebanyak dua kali oleh pangkon. Lalu dewa dan belian mengucapkan mantra dilanjutkan dengan ritual tepong tawar dengan memercikkan air ke tubuh Sultan. 

Setelah itu, Sultan akan mengerik kening dan alisnya dengan uang logam. Sultan kemudian menjalani proses rangga titi yakni berjalan kaki ke dermaga diiringi oleh rombongan. Seperti begorok, Sultan duduk di atas balai bamboo dan dilakukan tepong tawar oleh dewa dan belian. Setelah itu Sultan memasukkan bunga pinang ke dalam guci berisi air Kutai Lama. 

Dengan bunga pinang, air dipercikkan ke empat penjuru mata angina yang dilanjutkan dengan memercikkan air menggunakan tangannya kea rah tamu undangan. Dengan itu, ritual belimbur pun dimulai. 

 

BELIMBUR 

Setelah Rangga Titi, tradisi Belimbur pun dilaksanakan yakni tradisi saling menyiram air kepada sesame anggota masyarakat. 

Belimbur adalah puncak rangkaian dari adat Erau sebagai wujud rasa syukur maysrakat atas kelancaran pelaksanaan adat Erau. Bagi masyarakat, air dipercaya sebagai media untuk melunturkan sifat buruk manusia. 

Belimbur juga dilakukan agar Sultan Kutai Kartanegara Ing Martidupra, rakyat Kutai Kartanegara, dan orang-orang disekitarnya untuk mendapatkan keselamatan, keberkahan, dan terhindar dari malapetaka. 

 

MEGULUR NAGA 

Ritual Mengulur Naga adalah ritual yang diadakan di rangkaian adat Erau. Dalam ritual ini, ada dua replica naga yakni naga bini dan naga laki yang dibawa dari Keraton Kutai Kartanegara Ing Martadipura menuju ke Kutai Lama untuk di larung ke sungai. Ritual ini tak bisa dilepaskan dari legenda permaisuri Aji Batara Agung Dewa Sakti yang dikenal dengan nama Putri Karang Melenu. Pasangan suami isteri ini menjadi cikal bakal Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura. Diyakini, keduanya adalah keturunan dari para Dewa yang menjadi legenda masyarakat Kutai. 

Diceritakan Aji Batar Agung Dewa Sakti yang masih bayi muncul di rumah pembesar Jaitan Layar dengan tangan kanan menggenggam sebutir telur dan tangan kirinya menggenggam keris emas. Sementara sang permaisuri, diceritakan muncul secara misterius dari dasar sungai Mahakam. Bayi Putri Karang Melenu terbaring di atas gong yang dijunjung naga yang muncul dari pusaran air. 

Sang naga juga yang mengantarkan bayi perempuan itu ke petinggi Hulu Dusun yang telah membesarkan sang naga. Bayi kecil itu kelak dikenal sebagai Putri Karang Melenu. Saat dewasa, Sang Putri menikah dengan Aji Batara Agung Dewa Sakti. 

Replika naga berukuran 31,5 meter dengan kepala dan ekor yang terbuat dari kayu. Sementara badannya terbuat dari rotan dan bamboo yang dibungkus kain kuning dengan hiasan kain perca warna-warni sebagai sisik. 

Replika itu dibuat sebelum Festival Erau dan disemayamkan di kedua sayap bangunan Keraton Kutai. Dua replica tersebut dibawa dari Keraton Kutai menuju Kutai Lama menggunakan kapal yang akan singgah di sejumlah tempat agar dewa dan belian berkomunikasi dengan dunia gaib. 

Saat tiba di Jaitan Layar, Kutai Lama, kapal akan berputar sebanyak tujuh kali lalu merapat ke tepian. Setela itu kepala dan ekor naga dipisahkan. Badan naga akan dilabuhkan ke sungai dari atas kapal. Sementara bagian kepala dan ekor dibawa ke keratin untuk Festival Erau di tahun berikutnya. 

Saat badan naga diturunkan ke sungai, masyarakat pun berebut mendapatkan sisik dari naga yang dipercaya bisa mewujudkan harapan pemiliknya. 

 

MEREBAHKAN TIANG AYU 

Setelah tujuh hari didirikan, saatnya Tiang Ayu direbahkan di hari terakhir adat Erau. Tiang Ayu adalah tombak pusaka sepanjang 2 meter yang bernama Sangkok Piatu milik raja pertama Kutai, Aji Batara Agung Dewa Sakti. Seperti prosesi mendirikan Tiang Ayu, Sultan dan kerabat kesultanan menghadap ke Sangkok Piatu. Lalu empat orang kerabat kesultanan berjajar di sisi Sangkoh Piatu lalu menggoyangkan tombak pusaka itu sebanyak tiga kali lalu direbahkan ke atas kasur. 

Setelah itu dewa melakukan ritual tepong tawar di sekililing Sangkoh Piatu lalu besawai dan membawa tepong tawar di hadapan Sultan. Tepong tawar diusapkan pada punggung tangan, dahi, kepala, lutut dan betis Sultan. 

Kemudian Sultan mengusapkan air kembang ke kedua kelopak matanya, serta menyapu wajah dan kepala. 

Ritual ini juga dilakukan kepada putra mahkota, kerabat-kerabat kesultanan, serta tamu kehormatan yang hadir. 

Setelah posisi Tiang Ayu direbahkan ke posisi semula, maka semua adat akan kembali kepada Sultan sebagai pemegang adat tertinggi di kerajaan Kutai Kartanegara Ing Martadipura. 

Ritual ini menjadi symbol penutupan Erau.

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar